Pakar Berpendapat Penguasaan Negara Atas Air Bukan Berarti Mengelola

Senin, 06 Mei 2019 - 18:53 WIB
Pakar Berpendapat Penguasaan Negara Atas Air Bukan Berarti Mengelola
Suasana diskusi air yang dihadiri berbagai pakar di bidang air dan lingkungan yang digelar di Jakarta, baru-baru ini. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Sejumlah pakar menafsirkan, penguasaan negara atas air u bukan berarti negara juga harus ikut mengelolanya dalam artian berbisnis air.

Pernyataan para pakar itu mengkaji keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dalam keputusannya MK menyatakan sebagai unsur yang menguasai hajat hidup orang banyak, air sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) harus dikuasai negara.

Demikian benang merah dari Diskusi Pakar bertema “Menafsirkan Hak Penguasaan Negara Dalam Sektor Air” yang digelar di Jakarta, baru-baru ini.

Hadir dalam acara itu Pakar Sumber Daya Air dari Universitas Ibnu Khaldun yang juga Direktur Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) Mohamad Mova Al’Afghani, Pakar Hukum UGM Ricardo Simarmata, Pakar Hukum Unpad Amiruddin Ahmad Dajaan Imami, Pakar Hukum Unika Soegijapranata Semarang Benekdiktus Danang Setianto, Peneliti Lingkungan Universitas Merdeka Malang Gunawan Wibisono, Nurkholis Hidayat dari KONTRAS, Peneliti Limnologi LIPI Arianto Budi Santoso, dan Pakar Hidrogeologi ITB sekaligus Sekjen Perhimpunan Ahli Air Tanah (PAAI) Irwan Iskandar.

Pakar Hukum UGM Ricardo melihat hingga kini MK belum membut penjelasan lebih lanjut terhadap tafsir itu. Ada pun yang banyak tafsirnya justru keluar dari kalangan akademisi melalui tulisan-tulisan ilmiahnya.

Dia curiga jangan-jangan MK mengeluarkan tafsir tersebut tanpa mengetahui karakteristik air. Artinya tanpa melihat dulu UU Pokok Agraria, di mana di sana bukan hanya mengatur soal tanah saja melainkan juga air.

“Karena objek air ini penting untuk membayangkan konsep hubungan negara dengan sumber daya itu,” ujar dia.

Ricardo juga mempertanyakan wewenang negara yang sudah masuk hingga ke wilayah hukum privat melalui BUMN/BUMD. Padahal, seharusnya sesuai Pasal 33 UUD NRI 1945, kewenangan negara itu tidak sampai ke sana.

Pakar Hukum Unika Soegijapranata Semarang Benekdiktus Danang Setianto juga melihat adanya ketidakjelasan rezim water right (sebagai pemilik) dan right to water (pembuat regulasi) dari kelima mandat MK terkait UU SDA.

“Artinya, ketika negara mau membuat beleid, itu kan harus bersinggungan juga saat dia mau masuk ke water right sebagai pemiliknya atau sebenarnya dia mau masuk hanya sebagai bagian dari regulasinya. Dalam lima mandat MK itu sendiri kan benturan keduanya tidak jelas. Resikonya, prinsip-prinsip mengenai sumber daya air sudah pasti kacau,” kata dia.

Sementara itu, Pakar Sumber Daya Air dari Universitas Ibnu Khaldun yang juga Direktur Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) Mohamad Mova Al’Afghani malah mempertanyakan kemampuan BUMN/BUMD jika nantinya diberikan kekuasaan untuk mengelola sumber daya air.

Mova merasakan aneh kenapa harus BUMN/BUMD yang diperbolehkan mengusahakan air dalam putusan MK itu. “Pada prinsipnya semua orang bisa mengusahakan air, beda dengan Pertamina yang dengan susah mengusahakan minyak,” ujar dia.

Pakar Hukum Unpad Amiruddin Ahmad Dajaan Imami mengatakan, seharusnya negara itu hanya menguasai saja dan tidak ikut berdagang secara komersial. “Ini harus didudukkan dulu supaya jelas. Apalagi ada kata-kata prioritas BUMN/BUMD itu sangat mengacaukan,” kata dia.

Pakar Hidrogeologi ITB sekaligus Sekjen Perhimpunan Ahli Air Tanah (PAAI) Irwan Iskandar menafsirkan prinsip MK itu mengandung arti negara harus bertanggung jawab atas ketersediaan air di masyarakat. “Artinya, kalau tidak mampu seharusnya negara menunjuk swasta untuk mengelolanya,” kata dia.

Dia mencontohkan di Bandung di mana pengambilan air tanah dominan oleh hotel. Itu terjadi karena negara tidak bias menyediakannya lewat PDAM. Jadi meski hotel itu sebenarnya bukan pengusahaan air, tapi karena negara tidak sanggup, mereka terpaksa melakukannya.

Sedangkan Nurcholis Hidayat dari KONTRAS melihat masalah penguasaan air ini sangat tergantung pada bagaimana kapasitas negara untuk melakukan pemetaan yang konprehensif terhadap ketersediaan air. “Karena di situ lah negara bisa melakukan fungsi kontrolnya untuk mencegah monopoli,” ujar dia.

Peneliti Lingkungan Universitas Merdeka Malang Gunawan Wibisono menegaskan sebetulnya tidak perlu ada penegasan secara eksplisit soal prioritas BUMN/BUMD.
Sebab menurut dia, penguasaan air ini sasarannya adalah kelestarian dan keberlanjutan. “Jadi sebaiknya jangan lagi menggunakan kata prioritas BUMN/BUMD, karena ini sangat mengganjal di semua pihak terkait,” pungkas dia.
(nth)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.8945 seconds (0.1#10.140)