Sekjen KONI Dituntut 4 Tahun Penjara

Jum'at, 10 Mei 2019 - 05:06 WIB
Sekjen KONI Dituntut 4 Tahun Penjara
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK, menuntut terdakwa Sekretaris Jenderal KONI Pusat Ending Fuad Hamidy dengan pidana penjara selama empat tahun. Foto/SINDOphoto/Dok
A A A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa Sekretaris Jenderal KONI Pusat Ending Fuad Hamidy dengan pidana penjara selama empat tahun.

Kemudian terhadap terdakwa Bendahara Umum KONI Pusat Jhony E Awuy, jaksa KPK menuntutnya dengan hukuman pidana selama dua tahun.

Surat tuntutan atas Ending Fuad Hamidy dan Jhony E Awuy dibacakan dalam dua persidangan terpisah, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/5/2019). Sidang Hamidy lebih dulu digelar. Meski terpisah, JPU yang menangani perkara Hamidy dan Jhony terdiri dengan komposisi yang sama.

JPU yang dipimpin Budi Nugraha dan Ronald Ferdinand Worotikan dengan anggota Muhammad Riduan, Titto Jailani, Mungki Hadipratikto, Agus Prasetya, dan Budhi Sarumpaet menilai, Ending Fuad Hamidy dan Jhony E Awuy terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam delik pemberian suap secara bersama-sama dan berlanjut.

Perbuatan tersebut terbukti berdasarkan fakta-fakta persidangan mulai dari keterangan saksi-saksi, ahli, keterangan terdakwa, hingga lebih 200 barang bukti termasuk surat, dokumen, dan petunjuk di antaranya sadapan percakapan via telepon seluler maupun pesan singkat.

Hamidy dan Jhony terbukti memberikan suap berupa barang maupun uang dengan total mencapai Rp12,604 miliar kepada lima orang pejabat di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Angka suap dan penerimanya bertambah dari yang tercantum sebelumnya dalam surat dakwaan Hamidy dan Jhony. Pertama, Rp11,5 miliar kepada Asisten Pribadi Menpora Imam Nahrawi bernama Miftahul Ulum dan staf Protokoler Menpora bernama Arief Susanto.

Kedua, terdakwa penerima Mulyana selaku Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Kemenpora berupa 1 unit mobil Fortuner VRZ TRD warna hitam metalik nomor polisi B-1749-ZJB seharga Rp489,8 juta, uang sejumlah Rp300 juta, satu kartu anjungan tunai mandiri (ATM)) debit BRI dengan saldo Rp100 juta, dan 1 buah handphone merek Samsung Galaxy Note 9.

Ketiga, uang Rp215 juta kepada dua terdakwa penerima suap yakni Adhi Purnomo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sekaligus Asisten Olahraga Prestasi pada Kedeputian IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga merangkap Ketua Tim Verifikasi dan Eko Triyanta selaku Staf pada Kedeputian IV Olahraga Prestasi Kemenpora yang biasa menjadi penghubung antara KONI Pusat dengan Kemenpora.

Uang suap dengan total Rp12,604 miliar terbukti untuk pengurusan dua proposal hibah yang diajukan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat hingga mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah Kemenpora ke KONI Pusat pada tahun kegiatan 2018.

Pertama, dana hibah dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan (wasping) Program Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional pada Multi Event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018 dengan usulah Rp51.529.854.500 yang disetujui dan dicairkan Rp30 miliar.

Kedua, dana hibah dalam rangka wasping Seleksi Calon Atlet dan Pelatih Atlet Berprestasi Tahun Kegiatan 2018 dengan usulan awal Rp27.506.610.000 dan berubah Rp21.062.670.000. Setelah melalui proses yang sama dengan proposal awal, Kemenpora menyetujui dan mencairkan dana hibah Rp17.971.192.000.

"Menuntut, supaya majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara a quo menjatuhkan putusan dengan amar, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ending Fuad Hamidy dengan pidana penjara selama 4 tahun dan pidana denda sebesar Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan," tegas JPU Ronald saat membacakan amar tuntutan atas nama Hamidy, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/5).

Amar tuntutan atas nama Jhony, dibacakan JPU Budi Nugraha. Terhadap Jhony, JPU menuntut agar majelis hakim menjatuhkan putusan pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.

Meski masa pidana dan denda berbeda, JPU meyakini perbuatan keduanya melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. "Sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama," tegas JPU Budi.

JPU Ronald melanjutkan, uang sebesar Rp11,5 miliar diberikan Hamidy dan Jhony ke Miftahul Ulum diterima secara sendiri oleh Ulum maupun melalui Arief Susanto. Uang diberikan dan diterima dalam lima tahap.

Masing-masing Rp500 juta pada Februari 2018, Rp2 miliar pada Maret 2018, Rp3 miliar pada Mei 2018, Rp3 miliar pada Juni 2018, dan beberapa hari sebelum lebaran 2018 sebesar Rp3 miliar dalam bentuk mata uang asing. Empat kali penerimaan terjadi di Gedung KONI Pusat.

"Pemberian jatah komitmen fee secara bertahap yang diterima Miftahul Ulum dan Arief Susanto guna kepentingan Menpora RI (Imam Nahrawi) yang seluruhnya sejumlah total Rp11,5 miliar," tegas JPU Ronald.

Dia memaparkan, dalam persidangan memang Ulum dan Arief membantah pernah datang ke kantor KONI Pusat dan menerima total uang tersebut. Selain Menpora Imam Nahrawi juga membantah tentang adanya memerintahkan dan mengetahui penerimaan uang tersebut. Padahal kesaksian Ulum, Arief, dan Nahrawi bertentangan sejumlah kesaksian dan sejumlah alat bukti termasuk rekaman percakapan.

Keterangan saksi yang mendukung pemberian dan penerimaan uang tersebut di antaranya yakni Atam (sopir Hamidy), Staf Bagian Keuangan Sekretariat Kemenpora yang ditugaskan sebagai BPP Bendahara Pengeluaran Indonesia Asian Games 2018 Organizing Committee (INASGOC) dan Wakil Bendahara KONI Pusat Lina Nurhasanah, Kepala Bagian Keuangan KONI Pusat Eny Purnawati, dan ditambah keterangan Hamidy dan Jhony baik sebagai saksi maupun terdakwa.

Karenanya Ronald menggariskan, bantahan Ulum, Arief Susanto, dan Nahrawi menjadi tidak relevan dan patut dikesampingkan. Pasalnya keterangan hanya berdiri sendiri, tidak didukung alat bukti, dan hanya sebagai upaya untuk melepaskan diri sendiri agar tidak ikut terjerat dalam perkara ini.

"Bahkan menurut pandangan kami, dari adanya keterkaitan antara bukti satu dengan bukti lainnya menunjukkan bukti dan fakta hukum tentang adanya keikutsertaan para saksi tersebut (Ulum, Arief, dan Nahrawi) dalam suatu kejahatan yang termasuk ke dalam pemufakatan jahat yang dilakukan secara diam-diam atau yang dikenal dengan istilah sukzessive mittaterschaft," ucapnya.

JPU melanjutkan, selain itu Ulum juga menerima kartu ATM BNI gold debit disertai PIN dari Jhony. Sedangkan buku tabungannya dipegang Jhony. Setelah kartu ATM diterima Ulum, Jhony atas sepengetahuan dan perintah Hamidy kemudian mengirimkan uang dengan total Rp100 juta ke nomor rekening kartu ATM tersebut.

Sebagain besar atau Rp80 juta ditransfer akhir November-awal Desember 2018 saat Ulum mendampingi Nahrawi menghadiri undangan federasi paralayang di Jeddah, Arab Saudi dan dirangkaian dengan umroh.

Ending Fuad Hamidy dan Jhony E Awuy mengaku mengerti atas isi tuntutan. Hamidy dan Jhony bersama tim penasihat hukum masing-masing memastikan akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi).
(nth)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.0794 seconds (0.1#10.140)