Kesahajaan dan Husnudzan di Bulan Ramadhan

Kamis, 16 Mei 2019 - 04:00 WIB
Kesahajaan dan Husnudzan di Bulan Ramadhan
Ahmad Zainul Hamdi.Foto/ist
A A A
Ahmad Zainul Hamdi
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Dia menerbitkan puisinya kali pertama saat usianya 19 tahun di sebuah harian nasional. Sejak saat itu, puisi-puisinya lahir mengiringi pengembaraan jiwanya. Di tahun 2008, dia diundang panitia festival sastra internasional yang sangat bergengsi, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) untuk membacakan puisi-puisinya. Di 2011, dia juga diundang panitia Jakarta Berlin Arts Festival, di Berlin, Jerman.

Memang dia tidak sepiawai Tohpati dalam memetik gitar, tapi jemarinya sangat lincah memainkan dawai alat musik yang biasa dimainkan Carlos Santana ini. Beberapa lagu bahkan pernah digubahnya. Saya menyukai salah satu lagu bossanova ciptaannya yang saya dengar saat dimainkan adiknya. Adiknya sendiri lebih akrab dengan grunge, genre musik yang pernah dipopulerkan oleh Kurt Cobain bersama Nirvana-nya.

Jika Anda membayangkan orang yang sedang saya gambarkan ini adalah sosok seperti Andrea Hirata atau Emha Ainun Najid, Anda sepenuhnya salah. Dia adalah M. Faizi, seorang Lora dari Madura. Lora adalah panggilan untuk putra seorang kiai pada masyarakat Madura, seperti panggilan “Gus” di Jawa. Memang, M. Faizi adalah putra seorang kiai dari pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.

Pesantren Annuqayah sama sekali bukan pesantren modern ala Gontor, bukan pula lembaga pendidikan Islam yang berlokasi di wilayah perkotaan ala sekolah-sekolah Islam terpadu yang sedang menjamur saat ini. Annuqayah adalah sebuah pesantren tradisional-tua yang berada di Desa Guluk Guluk, kurang lebih 23 km dari Kota Sumenep. Bangunan pesantrennya berjajar dengan rumah-rumah penduduk yang sederhana dan dikelilingi oleh sawah atau perladangan khas alam Madura.

Semenjak ayahnya wafat, M. Faizi menggantikan posisi sang ayah mengajar ngaji para santri yang ada di pesantrennya. Tidak heran jika saat ini dia lebih sering dipanggil “kiai” daripada “lora”.

Sekalipun saya bukan penikmat fanatik puisi-puisinya, namun saya sering menikmati rangkaian kalimat-kalimatnya di wall FB-nya, yang seringkali menggabungkan antara keindahan dan “kenakalan”. Salah satu status FB-nya yang membuat saya tercenung adalah ketika dia menarasikan tentang kesahajaan, keikhlasan dan husnudzon (perasangka baik) di Bulan Puasa. Saya kutipkan di bawah ini:

Gigihlah seperti anak remaja menunggu buka: mengumpulkan segala jenis makanan dan minuman, padahal setelah azan, seteguk air melupakan semuanya.

Ikhlaslah seperti musafir di warung terminal: asal muka tidak tampak, betis tak apa-apa kelihatan; dikira mokel padahal sedang mengambil rukhsoh safar.

Bait pertama mengajarkan kepada kita agar kegigihan tidak jatuh ke dalam kerakusan. Puasa mengingatkan kita bahwa perut memiliki kapasitas objektifnya. Ketika seseorang tidak makan dan minum sejak pagi, bukan berarti perut sanggup menampung volume makanan dan minuman sehari dalam sekali santap. Ketika ada orang yang terjebak dalam sebuah bencana sehingga tidak makan minum selama dua hari dua malam pun perutnya tidak akan sanggup melahap volume makanan dan minuman dua hari dalam sekali jamuan makan.

Ketika orang tidak bisa membedakan antara kegigihan dan kerakusan, puasa menyadarkan batas-batas kewajaran dalam memenuhi kebutuhan. Saat ini, kita telah berhasil menciptakan sistem penyimpanan yang canggih hingga kita bisa menyimpan kerakusan sebesar gunung dan seluas hutan hanya dalam catatan-catatan angka. Puasa menfasilitasi kita mengenali kewajaran dalam memenuhi kebutuhan. “Mengumpulkan segala jenis makanan dan minuman, padahal setelah azan, seteguk air melupakan semuanya,” kata sang Lora.

Puasa menyediakan kesempatan bagi kita untuk memiliki kesantunan dalam kehidupan bersama. Namun, tidak jarang pelaku puasa justru dihinggapi kesombongan karena merasa diri sebagai orang suci. Orang seperti ini tidak jarang jatuh ke dalam sikap su’udzon (berprasangka buruk) kepada siapa saja yang makan di siang hari di Bulan Puasa.

Orang seperti ini lupa bahwa Tuhan tidak memerintah manusia berpuasa dalam rangka membunuhnya. Karena itu Allah mengizinkan orang-orang yang tidak sanggup menjalankan puasa karena kepayahan yang sangat, misalnya orang dalam perjalanan (safar), sakit, atau orang tua, untuk tidak berpuasa.

Puasa yang seharusnya membuat orang menjadi andap asor (sopan santun), justru memupuk kesombongan pelakunya hingga membubung tinggi melabihi Tuhannya. Kesombongan itu menuntunnya untuk melihat siapa saja dengan prasangka buruk karena menganggap diri tidak memiliki cela. Ah, mungkin inilah yang dimaksud sang Lora ketika dia menulis, “Ikhlaslah seperti musafir di warung terminal: asal muka tidak tampak, betis tak apa-apa kelihatan; dikira mokel padahal sedang mengambil rukhsoh safar”
(msd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1549 seconds (0.1#10.140)