KontraS Kecam Penghargaan Jatim Provinsi Terbaik Penanganan Konflik Sosial

Jum'at, 17 Mei 2019 - 11:40 WIB
KontraS Kecam Penghargaan Jatim Provinsi Terbaik Penanganan Konflik Sosial
KontraS mengecam pemberian penghargaan Jatim sebagai provinsi terbaik Tim Terpadu (Timdu) tingkat Nasional dalam penanganan konflik sosial tahun 2019. Foto/Ilustrasi
A A A
SURABAYA - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam pemberian penghargaan Jatim sebagai provinsi terbaik Tim Terpadu (Timdu) tingkat Nasional dalam penanganan konflik sosial tahun 2019.

Penghargaan itu diserahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto kepada Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, di Jakarta, Kamis (16/5/2019).

Koordinator KontraS Surabaya Fatkhul Khoir mengatakan, penghargaan tersebut bertentangan dengan fakta di lapangan.

Jatim, kata dia, menjadi salah satu wilayah yang menyimpan potensi konflik. Baik konflik berlatar belakang agama, agraria dan sumber daya alam, kebebasan berekspresi dan berpendapat.

“Penghargaan yang diterima Khofifah itu prematur. Dia menjabat sebagai gubernur baru empat bulan. Program Nawa Bhakti Satya Khofifah juga tidak menunjukan komitmen yang jelas terkait upaya penanganan konflik sosial,” kata Fatkhul, Jum’at (17/5/2019).

Berdasarkankan catatan KontraS Surabaya, sejak peristiwa penyerangan dan pengusiran paksa komunitas Syiah Sampang pada 12 Agustus 2012, hingga hari ini tidak ada upaya penyelesaian yang dilakukan Pemprov Jatim.

Selain konflik berlatar belakang agama dan berkeyakinan, konflik agaria dan sumber daya alam masih menempati urutan tertinggi konflik di Jatim. “Setidaknya ada 19 kasus konflik berlatar belakang agraria di Jatim dengan luas lahan 6.726 hektare,” ungkap Khoir.

Dari lahan seluas itu, melibatkan warga 331.395 kepala keluarga (KK), militer 15 kasus, perusahaan swasta 4 kasus dan PTPN 3 kasus. Sedangkan wilayah berkonflik antara lain Blitar 2 kasus, Banyuwangi 1 kasus, Jember 4 kasus, Situbondo 1 kasus, Pasuruan 8 kasus, Lumajang 1 kasus, dan Surabaya 2 kasus. “Sepanjang 2018 juga telah terjadi pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi dan berependapat di muka umum,” ujar Khoir.

Setidaknya, ada 16 peristiwa pembubaran paksa kegiatan aksi maupun kegiatan diskusi yang dilakukan oleh mahasiswa Papua, Aksi Kamisan dan diskusi sejarah yang dilakukan di kampus Universitas Negeri Malang serta pembubaran acara bedah buku yang dilakukan oleh pegiat literasi di Blitar. Ditegaskan dalam UU Nomor 7 tahun 2012, pemerintah daerah berkewajiban untuk meredam potensi konflik, membangun sistem peringatan dini, penghentian konflik, Tindakan Darurat Penyelamatan dan Pelindungan Korban, Pemulihan Pascakonflik (Rekonsiliasi, Rehabilitasi, Rekonstruksi).

Khoir mengatakan, pihaknya mendesak Gubernur Khofifah segera membuktikan komitmennya terhadap penyelesaian konflik sosial di Jatim sebagaimana dimandatkan dalam UU Penanganan Konflik Sosial. Utamanya, konflik yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan (Syiah Sampang) serta konflik agraria dan sumber daya Alam.

“Kami juga minta agar gubernur mencabut regulasi yang bersifat diskriminatif. Yaitu Pergub 55 tahun 2013 dan SK Gub 188 terkait Ahmadiyah),” pungkas dia.
(nth)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.8143 seconds (0.1#10.140)