Idul Fitri Sebagai Festival Kemanusiaan

Rabu, 05 Juni 2019 - 05:00 WIB
Idul Fitri Sebagai Festival Kemanusiaan
Idul Fitri Sebagai Festival Kemanusiaan
A A A
Ahmad Zainul Hamdi
Ketua Departemen Studi Agama-agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Idul Fitri biasanya diartikan dengan kembali kepada kesucian. Saya tidak hendak menafikan makna seperti itu. Saya hanya ingin mengambil makna lainnya.

Istilah “id” sesungguhnya bersinonim dengan istilah “walimah” yang berarti perayaan atau festival atau pesta. Perayaan ulang tahun, misalnya, biasanya dibahasakan dengan istilah “idul milad”. Karena itu pula Idul Fitri sering disebut dengan istilah “id mubarak, yang artinya “peryaan yang penuh berkah”.

Secara kasat mata, fenomena Idul Fitri memang tampak sebagai sebuah festival atau perayaan komunal, yang di dalamnya ada unsur kegembiraan dan kemeriahan. Sisi festivalnya, misalnya, terlihat dari berbagai event komunal, seperti pertemuan (gathering) antarkeluarga, teman, kolega, yang dipadu dengan suguhan makanan dan keindahan pakaian.

Adakah yang salah dengan perayaan Idul Fitri atau biasa kita menyebutnya dengan istilah Lebaran? Tidak. Perayaan itu sendiri tidak dilarang. Kita biasa melakukan perayaan, mulai perayaan kelahiran hingga kemerdekaan nasional. Yang dilarang adalah sikap berlebihan sehingga lupa diri dan melupakan pesan puasa yang telah dijalani selama sebulan penuh.

Puasa memiliki dua pesan moral, ke dalam dan keluar. Ke dalam, puasa mengajari kejujuran dan pengendalian diri. Puasa diperintahkan agar manusia punya kesempatan mendidik dirinya berlaku jujur dan tidak meliarkan nafsu. Ke luar, puasa mendidik seseorang agar memiliki kepekaan sosial. Memandangi kemiskinan berbeda dengan merasakannya.

Puasa diwajibkan agar manusia tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang ingin makan-minum, sebuah kebutuhan dasar bagi manusia untuk hidup, tapi tidak bisa dilakukan. Cara ini adalah sebuah metode canggih untuk menumbuhkan kepekaan sosial.

Metode “merasakan sendiri” itu saat ini marak digunakan untuk membangun kepekaan sosial. Misalnya, dalam memeringati hari disabilitas, kita diminta berperan sebagai penyandang disabilitas selama waktu tertentu.

Cara ini mampu melahirkan kepekaan yang mendalam. Begitu kita berperan sebagai penyandang disabilitas, kita tahu betapa banyak fasilitas publik yang tidak ramah terhadap kaum difabel. Hal ini bukan semata-mata karena orang “normal” tidak memiliki simpati kepada kelompok difable, namun “jarak sosial” seringkali membuat si orang “normal” kehilangan kepekaan sehingga gagal memahami dan merasakan apa yang dirasakan dan dibutuhkan mereka yang selama hidup dirundung kemalangan.

Inilah mengapa zakat menjadi perintah wajib yang harus ditunaikan menjelang Lebaran. Ketika Tuhan menjanjikan bahwa Lebaran adalah salah satu kebahagiaan atau kesenangan yang dimiliki setiap Muslim yang menjalankan puasa, Tuhan tidak menginginkan ada sebagian orang yang tidak turut ambil bagian dalam pesta komunal tersebut hanya karena tidak memiliki bahan makanan yang bisa dimasak di hari saat semua orang bersenang-senang.

Adalah tidak bermoral secara sosial jika ada seorang Muslim yang telah menggenapi puasanya selama sebulan penuh, kemudian bersenang-senang di hari Lebaran, tapi dia mengabaikan kemiskinan di sekitarnya. Lebih tidak bermoral jika dia merayakan Lebaran dengan penuh kemewahan, tapi mengabaikan yatim piatu yang bahkan tidak bisa memakai pakaian yang layak di hari itu.

Ada sebuah hadits yang artinya: “Sesungguhnya [pahala] puasa tergantung antara langit dan bumi, dan tidak akan sampai kepada Allah kecuali dengan zakat fitra.” Tentu saja, hadits ini adalah sebuah kiasan. Hadits ini mengingatkan kita bahwa orang yang melaksanakan puasa hanya akan sampai kepada hakikat tujuannya jika dia sanggup mewujudkan makna puasa dalam perjuangan menegakkan keadilan sosial.

Zakat adalah ibadah yang sepenuhnya berdimensi sosial. Zakat diperintahkan oleh Allah untuk memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang-orang berada. Pesan inti dari perintah zakat adalah keadilan sosial.

Jika Idul fitri adalah sebuah festival komunal umat Islam setelah sebulan penuh menahan lapar dan dahaga, maka kegembiraan perayaan itu harus tetap berada dalam semangat kemanusiaaan. Tidak ada perayaan lebaran yang dilakukan dengan bermewah-mewahan sambil mengabaikan kaum pinggiran.

Ada sebuah kata mutiara Arab yang sangat indah: “Laisa al-id liman labisa al-jadid; lakin al-id liman tha’ata yazid.” Arti bebasnya adalah sebagai berikut: “Hakikat Lebaran itu bukanlah tentang busana baru yang mewah, tapi Lebaran sesungguhnya tentang ketaatan yang seharusnya semakin bertambah.” Jadi, marilah kita merayakan Idul Fitri dengan riang bahagia, namun jangan lupa untuk membasuh air mata si kaum papa.
(msd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.6317 seconds (0.1#10.140)