Dari Rahim Tanah Ini, Lahir Para Raja Pemimpin Nusantara…

Jum'at, 07 Juni 2019 - 08:45 WIB
Dari Rahim Tanah Ini, Lahir Para Raja Pemimpin Nusantara…
Situs Ken Dedes, yang ada di Kelurahan Polowijen, merupakan tempat Mpu Purwa melaksanakan pendidikan, termasuk puterinya sendiri Ken Dedes. Foto/SINDOnews/Yuswantoro
A A A
MALANG - Hamparan sawah yang tidak begitu luas, padinya mulai menguning. Ujung daunnya bergoyang pelan, saat angin sore di kota pegunungan ini mulai menyapa lembut.

Sinar matahari senja yang mulai redup berwarna keemasan, menerobos di antara pendopo kecil yang berdiri di bawah rindang pohon di tepian aliran irigasi persawahan.

Pendopo setinggi tidak lebih dari 60 sentimeter tersebut, melindungi batu andesit tua berbentuk bulat. Di sekitar pendopo, juga nampak batu andesit yang berserakan.

Pendopo mungil itu, nyaris tak terlihat dari jalan kampung, karena berada jauh di belakang tempat pemakaman umum Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang.

Lokasi yang nyaris tenggelam oleh peradaban milenial ini, ternyata menyimpan sejarah panjang tentang cikal bakal kerajaan besar yang menguasai tanah Nusantara, di mana wilayah kekuasaannya membentang di wilayah Asia Tenggara.

Ya, batu-batu kuno itulah menurut sejarawan Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono merupakan bagian dari situs Ken Dedes yang masih tersisa dari gerusan zaman.

Bagi generasi milenial, nama Ken Dedes tidak akan sepopuler grup musik Black Pink, maupun maupun penyanyi Raisa atau Syahrini. Tetapi, dari rahim Ken Dedes inilah lahir para raja di tanah Nusantara.

Ken Dedes. Sosok wanita hebat di masanya. Wanita berpendidikan, yang sempat dinikahi secara paksa oleh Tunggul Ametung, dan kemudian direbut oleh Ken Arok. Merupakan, anak dari Mpu Purwa.

Dia merupakan wanita terpelajar di masanya, atas bimbingan ayahnya sendiri Mpu Purwa, yang mendirikan tempat pendidikan di wilayah Polowijen, dahulu dikenal dengan Panawijen.

Dwi Cahyono menyebutkan, sebelum dikenal sebagai situs Ken Dedes, masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai Sendang Dedes, atau Sumur Windu.

"Kawasan ini, dikenal sebagai permukiman kuno. Letaknya di sisi utara Kota Malang, yang berdekatan dengan wilayah Kabupaten Malang," tuturnya.

Situs yang ada saat ini, pada awalnya merupakan sumber air yang sangat besar. Tetapi, di era tahun 1900-an, kondisinya telah mengering. Sebelumnya, sumber air tersebut digunakan masyarakat kuno untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Di kawasan tersebut, juga ditemukan banyak peninggalan arkeologi. Menurut Dwi, di areal makam, banyak ditemukan struktur bata kuno, fragmen gerabah dan keramik kuno, dan bahkan mata uang kuno.

"Dari hasil eskavasi Pusat Peneliti Arkeologi Nasional, pada tahun 1998. Ditemukan fondasi rumah tinggal dari bata, dan sebuah umpak," terangnya.

Masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut, juga sering menemukan adanya arung. Yaitu, saluran air bawah tanah kuno, yang dibuat masyarakat pada masa lalu sebagai saluran untuk mengairi area persawahan yang banyak ditanami padi gaga. Hal ini, juga termuat pada prasasti Kanjuruhan B, yang dibuat tahun 943 Masehi.

Pada prasasti Wurandungan, yang juga terbit pada tahun 943 Masehi. Menurut Dwi, desa ini masuk dalam desa pertanian yang maju. Yakni, sebagai desa swasembada pangan.

"Kondisi tersebut, dapat dilihat dari statusnya dalam prasasti Wurandungan, yang menyatakan Panawijen, sebagai sima sawah, atau tanah perdikan pertanian," ungkapnya.

Jauh sebelum masa Mpu Purwa, Dwi menduga, kawasan ini sudah menjadi wilayah kehidupan masa prasejarah. Hal itu dapat dilihat dari penemuan watu kenong, dan lumping batu. Watu kenong ini, diduga menjadi landasan atau pondasi untuk mendirikan rumah panggung.

Wilayah Polowijen, diakuinya merupakan kawasan yang kaya akan peninggalan sejarah. Bahkan, dikawasan ini Mpu Purwa telah mampu mendirikan tempat pendidikan yang maju, serta menjadi tanah pertanian yang subur dan penghasil pangan.

"Saya berharap, kawasan ini bisa menjadi wilayah yang dilestarikan, untuk penelitian sejarah, pendidikan, dan wisata sejarah," ungkapnya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 4.5585 seconds (0.1#10.140)