Sepenggal Cerita Guru Besar UMM Berlebaran di Australia

Selasa, 11 Juni 2019 - 17:02 WIB
Sepenggal Cerita Guru Besar UMM Berlebaran di Australia
Guru besar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Syamsul Arifin saat berada di Australia. Foto/Ist.
A A A
MALANG - Guru besar yang menjabat sebagai Wakil Rektor 1 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Syamsul Arifin menjalani perayaan hari kemenangan Idul Fitri di Australia.

Dia menjadi khatib pelaksanaan shalat Iedul Fitri bagi komunitas muslim Indonesia, di Perth, Australia. Dalam kesempatan itu, Syamsul membawakan khutbah Id yang bertajuk, "Merawat Momentum Manusia Ramadhan".

Dalam khutbah yang disampaikan Syamsul di Leisurerelief Center itu, disampaikan tema seputar "Unity in Devirsity" atau Persatuan dalam Keberagaman dalam Islam.

Tema persatuan dan keberagaman dalam Islam ini disampaikan, guna melengkapi ulasan Syamsul tentang pengalaman rohani puasa Ramadhan yang berujung pada ketaqwaan sebagai profil dari "Manusia Ramadhan".

"Dalam kasus penetapan 1 Syawal, entah hingga kapan "modus vivendi" antar umat Islam bisa diperjumpakan? Karena penetapan ini menjadi bagian dari "ikhtilaf", mudah-mudahan saja tidak berakibat terjadinya "iftiraq", perpecahan dan pertentangan, seperti ulasan Umar Shihab dalam buku, Beda Mazhab Satu Islam, yang terbit pada 2017," kata Syamsul.

Dikisahkan Syamsul, Nabi Muhammad diliputi kekhawatiran level tinggi terkait dengan "ikhtilaf", dan "iftiraq" ini. Di sebuah masjid yang sekarang terletak ke arah kiri Kuburan Baqi' Madinah, namanya Masjid al Ijabah, permintaan Nabi diurutan ketiga tidak terkabulkan. Sementara dua permintaan pertama dikabulkan.

Nabi memohon kepada Allah agar umat Islam terhindar dari perpecahan akibat perbedaan di dalamnya. Ini permintaan ketiga yang tidak terkabulkan.

Dalam khutbah di Victoria Park itu, Syamsul juga menyinggung ancaman merenggangnya "ikatan kebangsaan" antara warga negara yang juga menggejala di kalangan Muslim sebagai efek dari politik elektoral.

"Manusia Ramadhan", tegas Syamsul dalam khutbahnya, adalah manusia yang memiliki etos kebaikan, yang antara lain dicirikan dengan kemampuannya menahan amarah dan mau memberi maaf.

"Pada Pemilu kemarin, alih-alih malah mudah marah dan cenderung negativistik kepada pihak lain. Alih-alih didasarkan pada alasan rasional dan obyektif, justru karena memang kita tidak menyukainya. Tanpa disadari, kita sedemikian dalam terjatuh pada 'post-truth'," ungkap Syamsul.

Menjadi minoritas tidak selamanya diliputi drama yang menguras air mata seperti suku Uighur, minoritas Muslim di Tiongkok, atau komunitas Rohingnya di Myanmar, meskipun tidak bisa dikatakan tidak ada ketegangan, tension, yang dialami oleh Muslim di Australia.

Dari forum diskusi yang digelar oleh CIMSCA (Curtin Indonesian Muslim Student Association) pada Kamis (6/6/2019), dimana Syamsul diminta membentangkan riset KLN-nya itu—CIMSCA adalah perkumpulan kedua yang menyediakan forum kepada Syamsul.

Sebelumnya pada Selasa (4/6/2019), Association of Indonesian Postgraduate Students and Scholars in Australia (AIPSSA) juga mengundang Syamsul mengulas topik Masyarakat Sipil, Pemilu 2019 dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia.

Seorang peserta bertukar cerita ihwal pengunjung berjilbab yang tidak dilayani oleh kasir, dan kurang artikulatifnya suara umat Islam apabila dibandingkan dengan suara dari kalangan Katolik yang menolak pernikahan sejenis yang diusung oleh kaum LGBT. "Mungkin karena Muslim itu minoritas," kata peserta dalam forum itu.

Namun, fenomena secara umum, Muslim di Australia, setidaknya kalau menyimak ungkapan testimonial mahasiswa yang bicara ketika itu, baik di Curtin maupun di UWA, masyarakat dan pemerintah memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama termasuk kepada Muslim.

Khayruddin Kiramang, asal Bone, Sulawesi, ketua CIMSA yang juga mahasiswa doktoral Curtin University atas sponsor MORA, mengajak Syamsul ke sebuah mushala yang terletak di Curtin University.

"Mushalla? Di kampus plat merah? Di negara sekuler pula! Sewaktu mengikuti konferensi di University of Salerno, Italia, Maret yang lalu, alih-alih sekedar ruang kecil untuk salat, tidak tersedia," gumamnya.

Tetapi di kampus yang namanya dinisbahkan kepada John Curtin, Perdana Menteri Australia, 1941-1945 dan pentolan Partai Buruh, 1935-1945, dan kampus ini "ditubuhkan" pada 1966, alih-alih ruang kecil, tetapi justru mushala dengan ukuran yang lumayan luas dengan kapasitas sekitar 200 orang, serta dengan arsitektur yang unik.

Seharusnya bukan mushala, bolehlah disebut masjid karena juga digunakan untuk salat Jumat. Bahkan, Syamsul pada Jumat (8/6/2019) juga sempat mengikuti kegiatan salat Jumat di tempat itu.

"Pada bulan Ramadhan kemarin, di mushalla ini selalu ada takjil," cerita Khyaruddin Kiramang, yang akrab disapa Pak Din, dan kini sedang studi bidang kepustakaan. Ada pula cerita tambahan dari Yuni, selama Ramadhan di gelar semacam bazar di salah satu koridor di kampus Curtin.

"Menjadi muslim Minoritas, memang ada minusnya. Sebagaimana juga menjadi mayoritas, ada minus, juga plus. Tetapi dari kunjungan beberapa kali ke Australia, saya belajar banyak kepada mereka. Di tengah keterbatasan sebagai minoritas, mereka bermental mayoritas. Apakah mungkin karena juga pemerintah Australia menjaga jarak dengan agama sebagai wilayah privat? Masih perlu dikaji lagi," pungkas Syamsul.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 4.8168 seconds (0.1#10.140)