Ketahanan Mayarakat Terus Didorong untuk Pembangunan Desa

Kamis, 20 Juni 2019 - 22:43 WIB
Ketahanan Mayarakat Terus Didorong untuk Pembangunan Desa
Rakor penguatan ketahanan masyarakat dalam pembangunan desa, Kemendes PDTT di Hotel Grand Kemang, Jakarta, Kamis (20/06/2019). Foto/Ist.
A A A
JAKARTA - Ketahanan masyarakat pedesaan terus didorong untuk mendukung pembangunan desa yang berkelanjutan, agar desa mampu terus berkembang dan memberdayakan masyarakat.

Upaya mendorong ketahaan masyarakat desa ini, ditegaskan oleh Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD), Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDTT), Taufik Madjid.

Dia mengajak semua pihak untuk memperkuat komitmen dalam meningkatkan ketahanan masyarakat dan mengelola pembangunan desa. Sebab, kedua isu tersebut menjadi penting dalam rangka memasuki era keterbukaan informasi dan kompetisi global.

Upaya penguatan masyarakat desa ini, dibahas dalam rapat koordinasi bertajuk "Penguatan Ketahanan Masyarakat dalam Pembangunan Desa", Kemendes PDTT yang dihadiri oleh Kementerian Dalam Negeri (kemendagri), dan Kementerian Keuangan (kemenkeu) yang berlangsung di Hotel Grand Kemang, Jakarta, Kamis (20/6/2019).

Dalam paparannya, M. Rahayuningsih dari Kemendagri mengakui, bahwa dalam pengelolaan keuangan desa, pemerintah desa tidak hanya fokus mengelola dana desa saja, tetapi lebih mengelola secara menyeluruh yakni APBDes. Saat ini, keuangan desa berasal dari 7-9 sumber.

Untuk pengelolaan keuangan desa (mulai perencanaan sampai pertanggung jawaban) diatur dalam Permendagri No. 20/2018. Sebelumnya, pengelolaan keuangan desa diatur dalam Permendagri No. 113/2014.

"Perbedaan Permendagri 113 dengan Permendagri 20, terletak pada permasalahan pengelolaan keuangan pada area risiko implementasi keuangan desa. Sehingga kita mampu melakukan evaluasi secara mandiri, untuk melihat tingkat masalah dana desa maupun sumber keuangan desa lainnya masing-masing desa di Indonesia," katanya.

Rahayuningsih mengakui, area risiko pengelolaan keuangan desa terletak pada tidak konsistennya antara RPJMDes, RKPDes, sampai APBDes. Kenapa sampai tidak konsisten, ini dipengaruhi tingkat partisipasi masyarakat yang masih rendah dalam perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan pembangunan di desa.

"Mestinya, partisipasi masyarakat dari tahun ke tahun semakin tinggi. Di lapangan, berbagai macam alasan dikemukakan desa ketika ditanya tentang hal tersebut," ujarnya.

Dikatakan, kepala desa dan perangkat desa, masih perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam mengelola keuangan desa. Apalagi kurun lima tahun terakhir, setelah desa menerima dana desa, pihak pemeriksa masih banyak menemukan pelanggaran terkait belanja barang dan jasa. Seperti tidak mematuhi standar biaya umum, harga barang dan jasa melebihi dariu perencanaan anggaran.

"Prinsip swakelola pengadaan barang dan jasa, acapkali dilewatkan oleh pemerintah desa. Justru masih banyak desa yang mempihakketigakan. Yang lebih mirisnya lagi, desa juga lalai membayar pajak," ungkapnya.

Ke depan, menurutnya, sanksi terhadap desa dan kepala desa yang tidak melakukan pelaporan atau pertanggung jawaban akhir tahun anggaran atau akhir masa jabatan, harus diatur. Ini dilakukan oleh kepala daerah melalui camat. Sanksinya diatur dalam Perda yang mengacu pada Permendagri.

Sedangkan narasumber dari Kemenkeu, Kresnadi Prabowo Mukti mengungkapkan, uang belanja negara kurun lima tahun terakhir sebesar Rp1.600 triliun. Jumlah itu sebanyak Rp800 triliun menjadi transfer daerah, dimana Rp70 triliun di antaranya untuk dana desa. Sampai tahun 2018, dana desa yang telah disalurkan sebesar Rp257 triliun.

Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di tingkat desa, lanjutnya, harus ada kebutuhan perencanaan anggaran yang baik, terutama kegiatan infrastruktur, harus ada targetnya sesuai juknis dan juklak yang telah ditentukan.

Untuk Dana Desa (by law) kata dia, berbeda dengan konsep PNPM. Dana desa tidak bisa dipastikan secara akurat dalam penggunaan. Penggunaannya dapat dilihat setelah adanya musyawarah desa dalam penyusunan kegiatan yang akan dibiayai.

Sementara keberhasilan dana desa, ujarnya, dapat dilihat dari desa penerima dana desa tersebut. Apakah anggaran dana desa setiap tahun yang diterima semakin besar atau justru bertambah. Kalau hanya bertambah, berarti desa tersebut justru belum ada kemajuan.

"Indikator pembagian dana desa kan jelas. Bukan justru dana desa bertambah menunjukkan kemajuan atau perkembangan desa tersebut," katanya.

Disinggung soal keterlambatan pencairan dana desa, menurut Kresnadi, karena penggunaan kewenangan yang diluar otoritas Dinas Keuangan dan Pendapatan Daerah. Sisa dana desa di RKUDes tidak kunjung memenuhi syarat sampai dengan batas waktu pelaporan. Akibatnya tidak bisa dicairkan.

Masih kata Kresnadi, dana desa sejak 2018 lalu, telah diperkenalkan sebuah sistem alokasi afirmasi alokasi afirmasi 3% dari pagu atau Rp 1,8 Miliar dibagi secara proporsional kepada desa tertinggal dan desa sangat tertinggal, dengan junlah penduduk miskin tinggi.

"Peningkatan dana desa tahun 2019, dari Rp60 trliun menjadi Rp70 triliun, digunakan untuk percepatan pengentasan kemiskinan, melanjutkan skema padat karya tunai, meningkatkan porsi penggunaan untuk pemberdayaan masyarakat dan penguatan kapsitas SDM desa dan tenaga pendamping desa. Tahun ini, setiap desa mendapatkan rata-rata Rp934 juta dari Rp800 juta pada tahun 2018 lalu," jelas Kresnadi.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.7143 seconds (0.1#10.140)