Andai Barack Obama Menjadi Penasehat Politik Prabowo-Sandi

Sabtu, 06 Juli 2019 - 05:36 WIB
Andai Barack Obama Menjadi Penasehat Politik Prabowo-Sandi
Andai Barack Obama Menjadi Penasehat Politik Prabowo-Sandi
A A A
Ahmad Zainul Hamdi
Dosen UINSA Surabaya

Jarum jam menunjukkan angka 21.15 WIB, saat Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Anwar Usman, membacakan kesimpulan sidang gugatan hasil pemilu presiden. Sekalipun beberapa politisi dari Koalisi Adil Makmur telah menyuarakan kemungkinan penolakan gugatan Prabowo-Sandi oleh MK, namun saat keputusan itu dibacakan, suasana tetap terasa begitu tegang.

Prabowo sendiri seakan tak percaya. Selama kampanye, dia beserta timnya sangat yakin akan memenangkan pilihan presiden kali ini. Ribuan orang yang menghadiri kampanye-kampanyenya dan dukungan tokoh-tokoh yang selama ini diakui memiliki pengaruh kuat di masyarakat semakin meyakinkannya bahwa dia tidak mungkin gagal menghadapi lawan dulu diorbitkannya sendiri. Kuatnya dukungan tokoh-tokoh agama membuat keyakinan ini nyaris menyerupai iman: tidak mungkin untuk diingkari. Sedemikian yakinnya, hingga satu-satunya kemungkinan jika dia kalah adalah karena kecurangan.

Baginya, lawan sesungguhnya bukanlah Jokowi-Ma’ruf, tapi kecurangan. Lawannya adalah seorang petahana yang secara teoretis bisa memainkan institusi-institusi yang seharusnya bersikap netral dalam politik elektoral, misalnya, kepolisian, untuk berpihak kepadanya. Bahkan KPU dan Bawaslu yang seharusnya menjadi penyelenggaran dan wasit imparsial pun ada kemungkinan untuk dimainkan menjadi bagian dari instrumen kecurangan.

Untuk menghentikan kemungkinan kecurangan ini, dia dan timnya jauh-jauh hari telah menyuarakan hal itu. Suara itu ibarat alarm yang telah dinyalakan sejak dini. Untuk memastikannya, tim politiknya telah menyiapkan saksi-saksi yang berjaga di seluruh TPS dan mengumpulkan bukti C1. Rasanya, seluruh langkah telah diambil. Tinggal tersisa satu langkah akhir: mengumumkan kemenangan. Bagi Prabowo dan timnya, pencoblosan itu hanyalah formalitas demokrasi, karena mau menggunakan pilihan dengan cara apapun, dia pasti menang.

Hari pencoblosan akhirnya tiba. Waktu merangkak semakin siang, matahari terus bergerak mendekati ufuk barat. Running text di beberapa TV nasional meampilkan hasil qick count dari berbagai lembaga survey. Hasilnya: pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul di kisaran sepuluh persen.

Prabowo dan timnya tak peduli. Dia tetap dengan keyakinannya, dialah pemenangnya. Bahkan keyakinan itu kali ini berdasarkan data-data yang dipasok tim lapangannya. Tak ada keraguan, bersama pendukungnya, dia mendeklarasikan kemenangannya. Tak tanggung-tanggung, tiga kali deklarasi. Sebuah langkah yang mengindikasikan betapa kuat keyakinan itu di dadanya. Tak mengherankan, saat KPU mengumumkan kekalahannya berdasarkan hitung manual, responnya sangat text book: KPU curang.

Pilihan yang tersedia di depannya hanya dua: membiarkan atau mengajukan tuntutan ke MK. Kedua pilihan sama-sama menyiapkan keuntungan dan jebakan. Memilih yang pertama akan tetap bisa menjaga keyakinan timnya sekalipun itu berarti dia secara otomatis menyerahkan tiket presiden ke lawan yang dituduhnya berlaku curang, karena begitulah aturan mainnya. Memilih yang kedua berarti dia dituntut untuk membuktikan tuduhan-tuduhannya, yang jika menang, dia ada kemungkina menjadi presiden, namun jika kalah, dia tak lagi memiliki klaim moral apapun atas tuduhan-tuduhannya.

Malam itu, di Kertanegara, tak ada yang bisa menutupi, semuanya tegang. Kemarahan, kesedihan, dan kejengkelan tumpah ruah jadi satu. Di tengah situasi yang penuh ketegangan dan kemarahan itu, tiba-tiba telepon berdering. Suara di ujung sana terdengar sangat jelas: Barack Obama. Beberapa kalimat simpati dia sampaikan sebelum mengucapkan satu kalimat dengan sangat tegas: “You need to concede” (“Kamu harus mengakuinya”).

Obama tahu, tentu tak semudah itu bagi Prabowo. Betapa sulitnya bagi Prabowo mengakui kemenangan lawan yang diyakininya jelas-jelas berbuat curang. Tapi Prabowo sadar, bahwa inilah demokrasi. Demokrasi telah memungkinkan dirinya untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Demokrasi juga telah menyediakan mekanisme penyelesaian perselisihan jika ada pihak-pihak yang keberatan, baik dalam proses maupun hasil.

Dia kemudian meraih telpon dan menekan nomor telepon sambungan langsung ke Jokowi. Ketika orang yang di ujung sana mengangkat teleponnya, Prabowo memberi ucapan kemenangan dengan suara yang datar dan dingin: “Pak Jokowi, selamat!”. Apakah semua selesai? Jelas tidak. Tapi semua orang yang menyaksikan adegan itu tahu, itulah sikap Prabowo, sang negarawan, dalam menghadapi pilpres.

Tentu saja, kisah di atas rekaan saya semata. Saya membayangkan apa yang dilakukan oleh Hillary Clinton kepada Donald Trump juga dilakukan oleh Prabowo ke Jokowi. Sebagaimana yang ditulis Allen dan Parne dalam buku Shattered: Inside Hillary Clinton’s Doomed Campaign, malam hari pemilihan, saat Hillary Clinton dan para penasehat politiknya masih meyakini bahwa dia akan memenangkan pertarungan melawan Donald Trump, kabar buruk datang Florida, tambang suara penting Partai Demokrat, bahwa dia kalah. Seketika, Bill Clinton meledak kemarahannya. Hillary termangu tak percaya bahwa mimpinya menjadi presiden perempuan pertama Amerika Serikat harus pupus bahkan oleh orang yang hidupnya dipenuhi skandal.

Di tengah situasi yang menegangkan sekaligus mengharukan itu, masuk telepon dari Gedung Putih yang menyatakan bahwa Presiden Barack Obama meminta Hillary mengakui kekalahannya. Kisah itu sampailah pada episode, ketika Obama menelepon Hillary langsung dan mengatakan: “You need to concede”. Hillary Clinton kemudian minta telepon kepada stafnya untuk menelpon rivalnya saat itu juga dan mengucapkan dua kata yang tak pernah diharapkannya: “Congratulations, Donald”.

Sebagaimana yang kita tahu, hingga saat ini, ucapan selamat dari Prabowo ke Jokowi belum ada. Bahkan Sandiaga Uno yang menjadi pendampingnya pun mengatakan bahwa ucapan selamat itu adalah budaya Barat. Andai Barack Obama menjadi penasehat politik Prabowo-Sandi, tentu mereka akan dididik budaya Barat untuk mengucapkan selamat kepada lawan yang telah mengalahkannya. Sayangnya, para penasehatnya berbudaya Timur.[]
(msd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1575 seconds (0.1#10.140)