Bir Temulawak, Portrait Keberanian Perupa Kota Pahlawan

Rabu, 17 Juli 2019 - 10:36 WIB
Bir Temulawak, Portrait Keberanian Perupa Kota Pahlawan
Pengunjung mengamati karya bertajuk Bir Temulawak, di Art Prapen, At Hotel Zenna, Raya Prapen, Kota Surabaya. Foto/SINDOnews/Ali Masduki
A A A
SURABAYA - Ragam karya lukisan tanpa pengait dibiarkan bigitu saja berjejer dilantai. Peralatan studio atau bengkel masih berserakan disebuah sudut beranda Studio Art Show.

Studio itu berada di Art Prapen, At Hotel Zenna, Raya Prapen, Kota Surabaya. Sekilas, ruang tersebut adalah gudang penyimpanan atau ruang produksi pelaku industri kreatif.

Itulah salah satu ruang kreatif yang disajikan oleh tiga perupa asal kota Surabaya, yakni Albert Wenas, Ananto Setiawan dan Beny Dewo. Ketiga seniman ini sengaja menyajikan sebuah proses kreatif yang tidak terbatas oleh sekat-sekat aturan dalam berkarya.

Bahkan, mereka membebaskan siapa saja untuk masuk dan bermain-main dengan peralatan yang ada pada studio. Untuk melihat karya lukis, pengunjung juga bebas memilah-milah karya mana yang ingin dilihat layaknya berada disebuah pasar.

Studio Art Show memang menjadi salah satu point utama dalam pameran bertajuk "Bir Temulawak" yang dipamerkan hingga 22 Juli 2019. Studio Art Show, merupakan deklarasi dan bukti rekam jejak proses kreatif yang menampilkan berbagai kondisi dan peralatan yang ada pada studio atau bengkel Albert Wenas, Ananto, dan Beny Dewo.

Bir Temulawak, Portrait Keberanian Perupa Kota Pahlawan


Sedangkan karya-karya yang lahir dari bengkel tersebut terpajang rapi diruang Art Prapen. Perbedaan karakter tiga perupa ini ternyata mampu menyajikan karya kolaborasi spektakuler. Kolaborasi tersebut melahirkan karya sentuhan gaya seni kontemporer yang menampilkan keindahan instalasi dalam versinya masing-masing.

Material seni instalasi yang digunakanpun beragam, mulai dari bambu, kayu, batu, besi dan perabot studio atau bengkelnya masing-masing. Albert Wenas misalnya, ia sangat fokus pada material bambu dan besi. Ananto Setiawan pada besi dan peralatan mekanik, sedangkan Beny Dewo bermaterialkan kayu, batu dan bambu.

Beny Dewo mengungkapkan, meskipun para perupa hadir dengan versinya masing-masing, tapi masih dalam koridor proses aksioma befikir menuju konsep "Bir Temulawak".

Tema "Bir Temulawak" sendiri berangkat dari filosofi kearifan sanepan Jawa, dalam menjalani kehidupan. Isu ini dirasa penting untuk disampaikan pada masyarakat era teknologi 4.0 yang sibuk dengan persaingan.

"Bir Temulawak yang berarti 'Yen Dipikir Nglarakne Awak', memiliki makna legowo, nriman dari segala hasil yang sebelumnya telah di lalui dengan kerja keras. Bukan konsepsi orang-orang kalah, tapi orang-orang tangguh yang siap menghadapi tantangan baru dalam berkarya," tuturnya.

Melalui gagasan Bir Temulawak ini, Beny Dewo, Albert Wenas dan Ananto ingin mengajak pada masyarakat khususnya pelaku seni untuk berani menampilkan sebuah karya, apapun bentuknya.

"Kita kerjakanlah dulu semua, nanti untuk teori atau yang lainnya dibelakangnya gak masalah. Yang penting kita membuktikan bahwa kita sudah berkarya," tegasnya.

Bir Temulawak, Portrait Keberanian Perupa Kota Pahlawan


Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Gajayana Malang, sekaligus penulis karya Bir Temulawak, Agung Purnomo, mengatakan karya hasil kolaborasi Albert Wenas, Ananto dan Beny Dewo ini dapat menjadi ruang diskusi yang akan menambah khazanah kekayaan seni rupa Indonesia.

Menurutnya, konsepsi ini memiliki efek samping dapat mengerjakan sesuatu dengan ringan saja, riang gembira karena berpandangan segala sesuatu bisa diselesaikan dengan mudah tanpa menguras banyak energy untuk berfikir setelahnya.

"Jadi, 'Bir Temulawak' merupakan akhir dari perjalanan proses aksioma berfikir selama mencari kebenaran dalam pemecahan masalah," ucap Agung.

Secara bentuk, seni instalasinya mencoba mengingatkan pada kehidupan sederhana sehari-hari yang seringkali dilupakan karena dianggap hal yang biasa. "Misalnya adalah susunan bambu, disini bambu disusun menjulang dengan gerak ritmik vertical spiral sebagai bentuk proses susunan berfikir," tuturnya.

Bir Temulawak, Portrait Keberanian Perupa Kota Pahlawan


Sumur, yang digambarkan dengan tiga susunan batu coklat emas menjulang vertical dengan tiang sumur bermakna menimba emas dari banyak pengalaman. Jam matahari, bermakna hilangnya waktu malam hari. Kaktus besi menjadi gambaran paranoid proteksi diri berlebihan.

"Tentu ada makna-makna lain bagi para penikmat, silahkan dan bebas," ujar Agung.

Alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Unitomo ini menilai, Albert Wenas, Ananto Setiawan dan Beny Dewo memiliki benang merah dalam urusan seni, tentunya pada konteks profesi yang berdeda.

"Albert Wenas memiliki talenta seni dengan latar belakang pendidikan teknik di Rochester Institute of Technology USA, berpandangan bahwa seni merupakan mockup teknologi masa depan," katanya

Sedangkan Ananto Setiawan yang merupakan pe-Slalom mobil Nasional lulusan Institut Teknologi Sepuluh November(ITS), berdalil bahwa seni merupakan perpaduan kontemplasi dan aplikasi teknis yang real untuk mengelola andrenalin.

Sisi lain seniman Beni Dewo beranggapan bahwa seni merupakan pucak ekspresi diri untuk menyampaikan pesan tanggung jawab moral yang dimiliki oleh semua orang. "Setidaknya hanya satu kata benang merahnya, yaitu “Enlightenment” (Pencerahan)," tandasnya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.3351 seconds (0.1#10.140)