Harga Cabai Meroket, Kemarau Membuat Petani Tak Menikmati

Minggu, 21 Juli 2019 - 18:23 WIB
Harga Cabai Meroket, Kemarau Membuat Petani Tak Menikmati
Petani mengambil sisa buah cabai rawit yang masih bisa digunakan untuk masak. Foto/SINDOnews/Tritus Julan
A A A
MOJOKERTO - Mahalnya harga cabai rawit tak serta merta membuat para petani cabai di Desa Pucuk, Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto, bisa tersenyum sumringah.

Itu lantaran rata-rata dari mereka mengalami gagal panen. Kemarau ekstrem menjadi penyebabnya. Tanaman cabai petani layu saat buah cabai belum masak sempurna.

Tak sedikit tanaman cabai mereka yang mati akibat kekurangan air. Para petani pun hanya bisa gigit jari lantaran merugi.

Sugeng (63), salah satu petani cabai, mengatakan, pada musim panen kali ini, tanaman cabai milik mereka banyak yang mati. Lantaran hujan tak turun sejan beberapa bulan lalu. Padahal, saat ini harga cabai tengah melambung tinggi.

"Karena memang kekurangan air. Ini kan sudah kemarau panjang, jadi air sangat sulit. Sehingga banyak yang mati," kata Sugeng, petani Dusun Brejel Kidul, Desa Pucuk.

Harga Cabai Meroket, Kemarau Membuat Petani Tak Menikmati


Menurut Sugeng, sejak bulan April 2019 lalu, hujan sudah begitu jarang mengguyur wilayah di Dusun Brejel Kidul, Desa Pucuk. Padahal, di desa ini, mayoritas petani di desa ini menggunakan sistem tanam tadah hujan.

"Karena tidak ada hujan, ya akhirnya mati. Padahal saat ini, harga cabai begitu mahal. Tapi kami petani tidak bisa merasakan mahalnya harga cabai. Karena gagal panen," imbuhnya seraya mencabuti tanaman cabainya yang mengering.

Pria yang semasa umurnya mengabdikan diri sebagai petani ini mengaku, sebelumnya harga cabai rawit hanya mencapai Rp6.000 perkilogramnya. Sejumlah petani di Desa Pucuk akhirnya memilih mengganti tanaman cabai menjadi kangkung.

Menurut Sugeng, akibat gagal panen tahun ini, ia pun mengaku merugi hingga jutaan rupiah. Untuk satu hektar lahan, biaya tanam yang dibutuhkan berkisar antara Rp5 juta hingga Rp6 juta.

"Ya rugi. Sudah beli pupuk, obat perangsang buah, pembasmi hama. Belum lagi untuk upah buruh tani yang membantu merawat tanaman cabai. Jadi lumayan banyak ruginya," terangnya.

Sugeng pun kini hanya bisa pasrah. Ia berharap, ada bantuan dari pemerintah daerah untuk mengurangi kerugian dampak kemarau panjang kali ini. Baik itu berupa pupuk maupun obat-obatan untuk musim tanam kedepan.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.6285 seconds (0.1#10.140)