Pemohon Dispensasi Menikah di Mojokerto Masih Tinggi

Jum'at, 23 Agustus 2019 - 11:11 WIB
Pemohon Dispensasi Menikah di Mojokerto Masih Tinggi
Kepala DP2KBP2 Mojokerto Joedha Hadi.Foto/SINDONews/Tritus Julan
A A A
MOJOKERTO - Angka pernikahan usia dini, di Kabupaten Mojokerto, perlahan mengalami penurunan.

Hal ini seiring dengan upaya pendekatan dor to dor yang digalakan Dinas Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (DP2KBP2) Mojokerto.

Data yang dihimpun dari Pengadilan Agama (PA) Mojokerto, hingga Agustus 2019, tercatat ada 90 anak di bawah umur yang mengajukan surat permohonan dispensasi menikah. Dari jumlah itu, 81 orang diantaranya yang sudah mendapatkan persetujuan.

"Tiap tahun angkanya turun. Kalau penyebab dampak dari pergaulan bebas yakni melakukan hubungan seksual serta hamil di luar nikah," kata Panitera Muda Gugatan (Panmut) PA Mojokerto, Achmad Romli, Jumat (23/8/2019).

Dari jumlah tersebut, kata Achmad mayoritas usia pemohon dispensasi menikah pasangan wanita masih dibawah 16 tahun. Sedangkan pasangan pria, berusia dibawah 19 tahun.

"Sebenarnya kami sangat selektif untuk memberikan dispensasi menikah ini. Kalau tidak karena hamil, harus dilihat psikologisnya, maupun fisiknya sudah mampu atau siap berumah tangga atau belum," kata dia.

Sementara itu, dikonfirmasi terpisah Kepala DP2KBP2 Mojokerto Joedha Hadi menyatakan, jika hingga saat ini jumlah pemohon dispensasi menikah masih tergolong tinggi. Meski dia tak memungkiri bahwa tiap tahun, jumlah pemohon dispensasi menikah mengalami penurunan.

Sementara itu, Kepala DP2KBP2 Mojokerto Joedha Hadi menyatakan, hingga saat ini jumlah pemohon dispensasi menikah masih tergolong tinggi. Meski dia tak memungkiri bahwa tiap tahun, jumlah pemohon dispensasi menikah mengalami penurunan.

"Memang tren-nya turun dari tahun ke tahun. Tahun 2017 di Mojokerto ada 111 pasangan yang mengajukan dispensasi menikah. Kemudian 2018 103 pasangan. Tahun ini sudah 81 pasangan," kata dia.

Meski mengalami penurunan, Joedha menyatakan akan terus menggalakan upaya pendekatan dor to dor yang menjadi program DP2KBP2 Mojokerto. Yakni upaya pencegahan dengan memberikan pemahaman kepada orang tua dan remaja mulai ditingkat rukun tetangga (RT).

"Selain itu, setiap Kepala KUA kami jadikan tokoh agama. Fungsinya memediasi agar pernikahan itu tidak dibawah umur. Meski dalam undang-undang boleh, menikah usia 16 tahun tapi secara organ reproduksi belum siap," kata dia.

Menurut Joedha, pasangan yang menikah dibawah umur rentan terkena resiko. Mulai resiko gangguan kesehatan bagi si pasangan wanita maupun bayi serta gangguan psikologis ibu bayi. Kesiapan kesehatan baik organ reproduksi maupun psikologis seorang wanita harus lebih matang sebelum menikah.

"Dari sisi kesehatan, secara biologis kesehatan reproduksi si ibu belum siap. Dan itu rawan 18 penyakit. Di antaranya stunting dan gizi buruk. Dari segi sosial, kesiapan mental sebagai seorang ibu belum siap. Bagaimana merawat bayi, menjadi pendidik, itu masih minim sekali," jelas dia.

Selain itu, pasangan yang menikah dibawah umur juga terjadi keretakan dalam membina rumah tangga. Mantan Kepala Dinas Sosial (Dinsos) ini menyebut, mayoritas pasangan yang mengajukan perceraian, saat usia perkawinan masih sangat muda, antara satu sampai dua tahun.

Joedha berharap semua pihak turun tangan dalam menekan angka pernikahan anak di bawah umur. Sebab, tugas itu tak bisa hanya dilakukan pihaknya, maupun kader-kader DP2KBP2 Mojokerto yang ada di desa. Melain dibutuhkan peran semua pihak, termasuk pemerintah pusat.

"Pemerintah harus merevisi UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena hanya di Indonesia batas pernikahan itu dibawah 16 tahun. Sedangkan di negara-negara lain sudah 18 tahun. Tapi idealnya, batas bawah perkawinan wanita itu 21 tahun. Karena secara psikologis dan kesehatan reproduksi sudah matang," pungkas Joedha.
(nth)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.0068 seconds (0.1#10.140)