Industri Alas Kaki di Jawa Timur Babak Belur

Rabu, 11 September 2019 - 16:21 WIB
Industri Alas Kaki di Jawa Timur Babak Belur
Selama triwulan IV, industri alas kaki di Jatim masih mampu mencatat pertumbuhan sebesar 1,55%. Namun pada triwulan I 2019, merosot tajam menjadi -16,48%. Foto/Ilustrasi
A A A
SURABAYA - Industri alas kaki di Jawa Timur (Jatim) babak belur. Selama triwulan IV masih mampu mencatat pertumbuhan sebesar 1,55%. Namun pada triwulan I 2019, merosot tajam menjadi -16,48%.

Pada tahun 2017, kinerja industri alas kaki Jatim sempat melejit dengan mencatat pertumbuhan sebesar 13,82%. Angka itu jauh melebihi pertumbuhan industri manufaktur yang hanya 5,69%.

Mengutip data Laporan Perekonomian Provinsi Jatim yang dirilis Bank Indonesia, kontribusi industri alas kaki di Jatim terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) terbilang rendah.

Selama kurun 2012-2017, industri ini hanya berkontribusi sebesar 1%. Bahkan di 2017, kontribusinya hanya 0,42% atau sebesar Rp8,4%. “Meski kontribusinya rendah terhadap PDRB, tapi industri ini bersifat padat karya yang mampu menyerap 6% tenaga kerja,” kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPBI) Jatim, Difi Ahmad Johansyah, Rabu (11/9/2019).

Kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) menjadi hambatan utama industri alas kaki di Jatim. Kenaikan UMK yang terjadi setiap tahun dengan presentase yang cukup tinggi, menjadi salah satu tantangan industri ini.

Tingginya kenaikan UMK tidak sejalan dengan pertumbuhan industry, sehingga dapat mempengaruhi konsistensi lapangan usaha. Ditambah lagi sebaglan besar industri alas kaki berada di ring I. Yakni Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan Pasuruan yang UMK-nya cukup tinggi.

Kebijakan pemerintah dalam penetapan upah yang konsisten berpengaruh dalam industri ini. "Sebab peningkatan upah akan mendorong meningkatnya biaya produksi,” kata Difi.

Di sisi lain, bahan baku impor masih mendominasi industri alas kaki yang mencapai 70%. Kulit merupakan salah satu bahan bahan baku yang pasokannya terkendala. Baik oleh tidak tersedianya bahan baku secara domestik maupun regulasi sanitory yang tidak mendukung kemudahan impor bahan baku alas kaki. Bahan baku lokal baru hanya 36% dan total kebutuhan.

Sementara itu, pengusaha alas kaki di Jatim berharap Pemprov Jatim memberikan insetif bagi industri pendukung. Ini guna menggenjot pasar ekspor sekaligus meningkatkan daya saing.

“Kondisi industri alas kaki di Jatim, terutama sepatu kini semakin tertekan. Hal itu akibat banyak faktor. Mulai dari tingkat produktivitas yang rendah dengan upah yang tinggi, persaingan di pasar global, hingga industri pendukungnya. Ketergantungan bahan baku impor juga mengakibatkan kurangnya daya saing industri alas kaki,” kata Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jatim, Winyoto Gunawan.

Dia mengungkapkan, industri komponen bahan baku dan bahan penolong seperti aksesoris dan penyamakan kulit juga tidak berkembang. Sehingga skala ekonomi dan jumlah industri penyedia bahan baku belum cukup mampu mendukung keberlanjuan produksi alas kaki.

Di Jatim, terdapat 50 perusahaan alas kaki skala menengah dengan tenaga kerja 100.000. “Kami berharap pemerintah dan dinas membantu memajukan industri alas kaki. Misalnya mempermudah izin agar menarik investor bahan baku, atau kemudahan izin saat melakukan relokasi dari ring 1 yang UMK nya tinggi ke ring 2,” kata dia berharap.
(nth)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.7285 seconds (0.1#10.140)