Usia 70 Tahun, Maria Harus Naik Turun Angkot Demi Pendidikan

Rabu, 11 September 2019 - 17:41 WIB
Usia 70 Tahun, Maria Harus Naik Turun Angkot Demi Pendidikan
Maria Lidwina Endang Suwarni, sebagai wisudawan tertua Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa). Foto/Ist.
A A A
SURABAYA - Usianya menginjak 70 tahun, bahkan sang cucu juga akan diwisuda pada November 2019 mendatang, tapi semangat Maria Lidwina Endang Suwarni masih terus membara.

Umur dan keterbatasan fasilitas bukan kendala untuknya meraih gelar sarjana. Wanita lanjut usia ini, menjadi wisudawan tertua di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) dalam Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Segala keterbatasan harus dihadapinya dalam menyelesaikan jenjang pendidikan sarjananya. Setiap kuliah, Maria yang mangaku tidak mahir berkendara, selalu diantar anak sulungnya. Jika anaknya berhalangan, maka tidak ada cara lain selain naik turun angkutan kota (Angkot) minimal dua kali untuk menuju kampus.

"Kadang-kadang memang ada teman yang mengajak untuk bersama-sama," kata perempuan kelahiran Semarang, 14 Maret 1950 ini.

Karena itu ia bersyukur setelah dirinya akan diwisuda, sang anak dipindah bekerja ke luar kota. "Saya tidak bisa membayangkan seandainya saya belum selesai kuliah, maka naik-turun angkota akan lebih sering lagi dalam usia yang sudah tak muda lagi," kata ibu dari tiga anak dan lima cucu ini.

Apa yang mendorong Maria untuk kuliah? "Kalau dari usia memang tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Lah wong insentif dari Pemkot Surabaya, untuk guru-guru PAUD diperuntukkan bagi mereka yang usia muda, itu pun ada yang tidak dapat. Tapi saya ingin memberi contoh bahwa tidak ada halangan untuk bisa mencapai gelar sarjana," kata Maria yang mengaku menerima insentif tiap bulan hanya Rp50 ribu dari pengelola PAUD di daerahnya, Manukan Kulon, Tandes, Kota Surabaya.

Bagi Maria, apa yang telah dicapainya ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri, tapi katanya, dirinya tetap harus rendah diri dan tidak boleh sombong. Ia berharap dapat menjadi contoh untuk cucunya yang kini berjumlah lima orang.

"Cucu pertama saya juga akan diwisuda pada November mendatang. Usia dan fasilitas bukan halangan buat saya, apalagi anak-anak mendorong agar saya bisa menyelesaikan kuliah," kata anggota tim Penggerak PKK Kelurahan Manukan.

Bukti dari sang anak mendorong kuliah adalah, uang kuliah yang dibayarkan merupakan bantuan dari ketiga anaknya. "Beruntung SPP yang kami bayar memperoleh subsidi dari Unusa terkait program Bunda PAUD, jadi kami tidak terlalu berat dalam membayar," katanya.

Mengharap bantuan dari PAUD dimana Maria beraktivitas, rasanya juga tidak mungkin. "Saya bersama teman-teman di PAUD lebih menekankan pada kegiatan sosial, membantu sesama. Saya tetap berkomitmen untuk memajukan dan tetap setia di PAUD sebagai ladang amalan di dunia," kata Maria yang juga aktif pada kegiatan sosial di gereja.

Apa kesannya kuliah di tengah mahasiswa yang dominan muslim? "Bagi saya tidak masalah, saya terbiasa berada dalam lingkungan yang berbeda-beda. Saya harus dapat menyesuaikan penampilan kebanyakan warga kampus," kata Maria yang sebelum mengajar di PAUD bekerja sebagai karyawan ekspedisi bersama almarhum suaminya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.9664 seconds (0.1#10.140)