KNPK Indonesia, Dorong Perlindungan Pertanian Keluarga

Rabu, 11 September 2019 - 18:02 WIB
KNPK Indonesia, Dorong Perlindungan Pertanian Keluarga
Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) Indonesia, mendorong adanya perlindungan untuk pertanian keluarga. Foto/Ist.
A A A
JAKARTA - Tahun Internasional Pertanian Keluarga telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 2014, dinilai berhasil menorehkan berbagai capaian.

Selanjutnya, dengan didukung berbagai organisasi masyarakat dan badan-badan PBB seperti FAO dan IFAD, pada Desember 2017, PBB menetapkan tahun 2019-2028 sebagai "Dasawarsa Internasional Pertanian Keluarga" (International Decade on Family Farming), disebut UNDFF 2019-2028.

"Deklarasi UNDFF 2019-2028 juga telah "memandatkan" negara-negara anggota PBB untuk mewujudkan dasawarsa tersebut melalui Rencana Aksi Nasional di tiap negara," terang Koordinator Organizing Committee Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) Indonesia, Muhammad Nurrudin.

Lebih lanjut dia menjelaskan, dasawarsa ini ditujukan sebagai sarana untuk melanjutkan upaya-upaya pemajuan kebijakan publik yang terkait dengan pertanian keluarga, sekaligus menjadi peluang bagi bangsa-bangsa di dunia untuk menyumbang kepada tercapainya tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan tersebut, khususnya pengentasan kemiskinan, penghentian kelaparan, pemajuan ketahanan pangan, peningkatan gizi dan pertanian berkelanjutan, yang melibatkan peran penting generasi muda dan perempuan di dalamnya.

KNPK Indonesia, yang merupakan aliansi nasional beranggotakan 14 organisasi, turutn mendorong peningkatkan partisipasi organisasi-organisasi petani-nelayan dalam kegiatan-kegiatan pemerintah, dan peningkatan pelayanan publik terkait pertanian keluarga di berbagai level.

"Selain itu, KNPK Indonesia, juga memperkuat kapasitas platform dalam partisipasinya memajukan dialog atau konsultasi publik untuk pembangunan berkelanjutan dari sistem-sistem pertanian-peternakan-perikanan yang berbasis pertanian keluarga. Kami juga mendorong peningkatkan keterlibatan KNPK dalam proses-proses dialog kebijakan di berbagai level," imbuhnya.

Pasca Tahun Internasional Pertanian Keluarga 2014, yaitu dalam kurun waktu 2015-2018. Menurutnya KNPK Indonesia telah melakukan berbagai kegiatan berupa, sosialisasi dan konsultasi tentang pertanian keluarga, dan studi tentang pentingnya peran pertanian keluarga dalam matapencaharian yang berkelanjutan di perdesaan.

Bukan hanya itu, KNPK Indonesia juga menyusun panduan advokasi; menyelenggarakan lokakarya tentang kebijakan publik yang mendukung pertanian keluarga; monitoring kebijakan-kebijakan yang terkait pertanian keluarga, serta mendokumentasikan inisiatif-inisiatif lokal dan praktik-praktik yang baik mengenai pertanian keluarga; dan berpartisipasi dalam kegiatan internasional terkait pertanian keluarga

Pria yang akrab disapa Gus Udin ini menyebutkan, berdasarkan data FAO, pertanian keluarga menghasilkan lebih dari 80% pangan di dunia dengan mengolah sekitar 70%-80% lahan pertanian, dan lebih dari 90% pertanian dilakukan oleh individu atau keluarga.

"Di Indonesia, pertanian keluarga atau rumah tangga pertanian sebanyak 26,2 juta pada tahun 2013 (ST BPS, 2019), dan sebanyak 27,6 juta pada tahun 2018 (SUTAS BPS, 2018)," ungkapnya.

Dalam kurun waktu tahun 2003-2013, jumlah rumah tangga petani di Indonesia mengalami penurunan. Hasil pendataan Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan rumah tangga petani dari 31,2 juta pada tahun 2003 menjadi 26,1 juta rumah tangga pada tahun 2013.

Namun penurunan jumlah rumah tangga petani ini diikuti dengan makin meningkatnya jumlah perusahaan pertanian pada periode yang sama, yaitu dari 4.011 perusahaan (2003) menjadi 5.486 perusahaan (2013).

"Artinya, perusahaan pertanian semakin mendominasi ekonomi pertanian di Indonesia. Dengan kata lain, dalam waktu 10 tahun jumlah perusahaan pertanian meningkat 36,8%, sebaliknya rumah tangga pertanian gurem turun 25%, dan juga rumah tangga pertanian pengguna lahan turun sebesar 15,4%," terangnya.

Tantangan pertanian keluarga di Indonesia di antaranya terletak pada penguasaan lahan. Pada tahun 2013 terdapat rumah tangga sebesar 2,38% tunakisma (tanpa lahan), 54,80% gurem (0-0,49 ha), 30,77% kecil (0,50-1,99 ha), 6,06% menengah (2.00-2.99 ha), dan 5,98% besar (3.00->10.00 ha) (Olahan Sajogyo Institute, 2019).

Lebih lanjut dijelaskannya, tantangan lain yang harus dihadapi adalah, pertanian termasuk pertanian keluarga sangat lekat dengan kemiskinan. BPS (2018) menyebutkan bahwa dari jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 25,95 juta orang (9,82%) pada bulan Maret 2018, terdapat rumah tangga miskin yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian sebesar 49,00% (desa 64,23% dan kota 24,47%).

Secara umum, dalam persoalan yang dihadapi di perikanan dan kelautan termasuk nelayan setidaknya terdapat empat aspek penting yaitu: kemiskinan, terbatasnya akses pada sumberdaya kelautan dan perikanan, dan minimnya akses pada layanan dasar.

Pertama, perikanan dan kelautan seringkali melekat dengan kondisi kemiskinan. Kedua, keterbatasan akses nelayan pada sumber-sumber agraria diakibatkan oleh karakteristik sumberdaya perikanan dan kelautan.

Keterbatasan itu di antaranya, sumberdaya perikanan tergantung pada kondisi cuaca, rentan pada kerusakan lingkungan dan relatif bersifat terbuka bagi umum; tingkat penggunaan teknologi baik alat penangkapan atau alat bantu penangkapan menyumbang terhadap wilayah jangkauan operasional dan hasil tangkapan; dan munculnya proyek-proyek pembangunan seperti reklamasi dan konservasi yang membatasi akses nelayan.

"Persoalan-persoalan ini tidak terpisahkan dengan nelayan. Ditambah pula permasalahan ketiga, nelayan tidak memiliki atau minim akses pada layanan dasar seperti tempat tinggal, layanan pendidikan dan kesehatan. Sebagian besar daerah nelayan dan tempat tinggalnya pada umumnya dikenal sebagai kawasan kumuh," tegasnya.

Pada aspek kebijakan, pertanian keluarga di Indonesia didorong untuk dilindungi dan dimajukan melalui sejumlah peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Dalam praktiknya, petani keluarga masih menghadapi ancaman berupa kriminalisasi dan perampasan sumber agraria di tengah industri pertanian-perikanan, dan pesatnya pembangunan infrastruktur.

"Menyadari segala peluang dan tantangan tersebut, pertanian keluarga perlu dijamin pengakuan dan pemajuan keberadaan dan aktivitasnya ke depan khususnya sebagai basis produksi pangan di tingkat keluarga, nasional dan global. Sejumlah pernyataan dan aksi dilakukan baik pada level nasional hingga global untuk mendorong dan memajukan pertanian keluarga," tegasnya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.6410 seconds (0.1#10.140)