Menengok Kaum Difabel Blitar Terus Berkarya Lewat Batik Ciprat

Selasa, 01 Oktober 2019 - 19:35 WIB
Menengok Kaum Difabel Blitar Terus Berkarya Lewat Batik Ciprat
Kaum difabel di bawah binaan Yayasan Rumah Kinasih, Desa Siraman, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, saat memproduksi Batik Ciprat. Foto/SINDOnews/Solichan Arif
A A A
BLITAR - Kalau sudah menyendiri dengan mata menerawang, Suparno alamat tidak bisa lagi bekerja. Kain batik didepannya tidak diindahkannya. Begitu juga botol berisi warna.

Jika tidak mondar-mandir, warga Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar itu biasanya akan duduk berjam-jam dengan wajah ndomblong seperti memendam duka.

Jika sudah demikian Dwi Mawadati (42), pembina Yayasan Rumah Kinasih, Desa Siraman, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, akan membiarkan.

Sebelum pulih dengan sendirinya, Suparno tidak akan diminta membantu rekan-rekanya sesama tuna grahita yang sibuk memproduksi kerajinan Batik Ciprat.

"Kalau sudah begitu biasanya kami menyuruhnya beristirahat. Tidur," tutur perempuan alumni Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta kepada Sindonews.com.

Menengok Kaum Difabel Blitar Terus Berkarya Lewat Batik Ciprat


Sesuai kalender, Suparno berusia 45 tahun. Namun umumnya penderita tuna grahita, usia mental Suparno setara bocah taman kanak kanak 5-6 tahun.

Karenanya pola komunikasi yang dibangun Dwi dan rekan rekanya, yakni mulai membahasakan ibu atau bapak, cium tangan ketika datang dan pamitan, berdoa ketika hendak makan, layaknya orang tua terhadap anak anak.

"Kami membahasakan mereka sebagai anak, dan para pembina sebagai ibu bapaknya," papar Dwi.

Sebelum bergabung dengan yayasan Rumah Kinasih, Suparno yang juga menderita epilepsi, hidup seorang diri. Rumah yang dia diami tidak ada aliran listrik. Kondisi itu diperparah tidak ada kerabat yang mengunjungi.

Ayah Suparno sudah lama tiada. Begitu juga ibunya, tewas mengenaskan setelah pengendara di jalan raya Kota Malang, menabrak dan meninggalkannya. Kematian ibunya yang tragis itu membuat Suparno sering meratapi kesedihan.

Menengok Kaum Difabel Blitar Terus Berkarya Lewat Batik Ciprat


"Dulu dia (Suparno) masih sering mengenakan seragam hansip dan membawa borgol-borgolan. Katanya ingin menghukum penabrak ibunya," terang Dwi

Lain Suparno, lain juga Hari yang juga sesama penderita tuna grahita. Tidak seperti Suparno yang terus berduka. Hari, warga Desa Siraman, lebih ceria. Kepada siapa saja yang ditemui, Hari selalu tersenyum sumringah.

Sebelum bergabung di Yayasan Rumah Kinasih, Hari juga hidup dengan perundungan. Di lingkungan para pembuat batu bata, tenaga Hari yang kuat kerap dimanfaatkan.

Untuk sebuah pekerjaan kasar yang memeras keringat, pemuda abnormal itu hanya dibayar dengan sepiring nasi. "Kalau Hari percaya dirinya kelewat besar. Namun sejauh ini sopan santunnya masih terkendali," kata Dwi.

Beda lagi dengan Budi. Sebelumnya dikenal sebagai pengidap tuna grahita yang mudah mengamuk. Bully di lingkungan terdekatnya membuat para penderita tuna grahita temperamental.

Jika sudah marah, Budi biasanya akan mematung sendirian sambil menggigit lidahnya sendiri. "Selama di sini kebiasaan yang menggigit lidahnya sendiri itu sudah berkurang jauh," terang Dwi.

Menengok Kaum Difabel Blitar Terus Berkarya Lewat Batik Ciprat


Batik Ciprat

Seperti metodenya yang diciprat-cipratkan, batik yang dihasilkan Yayasan Rumah Kinasih bermotif seperti cipratan bernama Batik Ciprat.

Yang membedakan dengan batik lainnya, karya seni itu dibuat oleh tangan para penyandang tuna grahita. Meski tidak lepas dari pendampingan, para tuna grahita yang berjumlah 25 orang itu terlibat mulai proses awal, hingga finishing.

"Setiap lembar kain dikerjakan oleh dua orang," tutur Edy Cahyono selaku Ketua sekaligus pendiri Yayasan Rumah Kinasih.

Dulu di awal-awal, setiap lembar kain dikerjakan lima orang yang satu sama lain berkemampuan berbeda. Dalam perjalanannya, satu lembar kain akhirnya bisa digarap dua orang.

Untuk pekerjaan yang dimulai pukul 07.00 WIB, pukul 13.00 WIB, dengan dua kali makan gratis, yakni pagi dan sebelum pulang, setiap lembar kain dihargai Rp30 ribu. "Kalau dua orang, nilai yang diterima setiap orang bisa lebih besar," Edy.

Uang hasil keringat mereka yang rata-rata Rp300 ribu-500 ribu/ bulan, oleh para pembina tidak diserahkan seluruhnya. Sebagian ditabung ke dalam rekening bank.

Nilai ekonomi itu diakui memang belum besar. Namun kata Edy setidaknya mengantarkan penderita tuna grahita memiliki kemandirian hidup. "Kita tidak menyerahkan seluruhnya, karena kita ingin mereka memiliki tabungan. Selain itu masih banyak yang belum mengerti uang," katanya.

Dalam sebulan, para penderita tuna grahita binaan Yayasan Rumah Kinasih mampu menghasilkan karya 200 potong kain batik. Setiap lembarnya dijual Rp150 ribu-190 ribu yang sebagian besar dipasarkan melalui jaringan media sosial. "Pemesannya alhamdulillah banyak dari luar kota," kata Edy.

Menengok Kaum Difabel Blitar Terus Berkarya Lewat Batik Ciprat


Selain penderita tuna grahita, Rumah Kinasih juga membina tuna wicara, tuna daksa, dan tuna netra yang berasal dari berbagai usia.

Total keseluruhan kaum difabel atau disabilitas ada sebanyak 50 orang, dengan 25 di antaranya warga setempat. Karenanya tidak hanya berupa kain batik. Oleh penyandang tuna rungu, kain batik yang dihasilkan penderita tuna grahita dibuat baju dengan desain tertentu.

Ada juga kerajinan sling bag, tas laptop, dompet, gantungan kunci dan berbagai merchandise lainnya. Mereka yang menyandang tuna netra mendapat pendidikan ketrampilan pijat.

Ada juga tuna wicara atau rungu yang dilatih membuat kue dan ketrampilan bengkel. Menurut Edy, seluruh biaya operasional, termasuk makan gratis dua kali (pagi dan siang) berasal dari urunan para pembina.

Berdirinya Rumah Kinasih diharapkan bisa memberi kemandirian sekaligus perlindungan bagi para penyandang cacat, terutama di wilayah Kabupaten Blitar.

Karenanya begitu dianggap sudah bisa mandiri, para penyandang cacat, termasuk tuna grahita bisa menjalankan ketrampilannya di rumah masing-masing. "Cita-cita kami ke depan, di setiap kecamatan ada shelter khusus untuk para peyandang cacat," harap Edy.

Menurut Bupati Blitar Rijanto, Pemkab Blitar melalui dinas terkait memberi perhatian terhadap kehidupan kaum difabel. Sejauh ini pembinaan di Kabupaten Blitar, terus dilakukan. "Melalui dinas terkait kita melakukan pembinaan seperti kursus dan pelatihan," ujarnya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.6588 seconds (0.1#10.140)