Perusahaan Transportasi Penyeberangan Laut Terancam Bangkrut

Kamis, 03 Oktober 2019 - 15:43 WIB
Perusahaan Transportasi Penyeberangan Laut Terancam Bangkrut
Bambang Haryo Soekartono. Foto/SINDOnews/Ali Masduki
A A A
SURABAYA - Bisnis jasa transportasi penyeberangan (ferry) mengalami masa suram. Sekitar 3-4 perusahaan ferry terancam bangkrut. Lalu apa penyebabnya?

Bambang Haryo Soekartono yang pernah menjadi Direktur Utama perusahaan penyeberangan PT Dharma Lautan Utama memaparkan penyebab antara lain karena iklim usaha tak kondusif, terlalu banyak regulasi dan beban pungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Ada kebijakan menteri perhubungan untuk menggenjot PNBP. Akibatnya banyak item pungutan PNBP bermunculan di pelabuhan. PNBP kementerian perhubungan naik pesat, tapi pengeluaran biaya-biaya pelabuhan kami menjadi meningkat,” kata pemilik operator pelayaran ferry, PT Dharma Lautan Utama, itu.

Regulasi lain kementerian perhubungan adalah kewajiban penggunaan kapal berkapasitas besar di Merak-Bakauheni. “Kapal besar ini butuh kru lebih banyak, BBM dan biaya perawatannya juga lebih besar, biaya-biaya pelabuhannya juga lebih mahal. Pada sisi lain, penumpang hanya ramai saat peak hours atau waktu-waktu sibuk saja. Bahkan disparitasnya cukup tinggi,” kata dia.

Bambang Haryo menyodorkan komparasi penggunaan armada terbilang fleksibel di transportasi udara. “Kalau transportasi udara, dapat menggunakan narrow body bila penumpang jauh dari load factor. Atau penggabungan dua jadwal keberangkatan. Nah kalau di transportasi penyeberangan kan nggak bisa seperti itu,” kata dia.

Dia juga mengemukakan jumlah dermaga minim di sejumlah daerah, termasuk Merak-Bakauheni, sehingga hanya dapat menampung sekitar 30% jumlah kapal. Kondisi ini merugikan perusahaan pelayaran, karena harus tetap menanggung biaya tetap (fixed cost) kapal yang cukup besar sekitar 60% dari total biaya sehingga seharusnya pemerintah berkewajiban untuk menyediakan dermaga yang cukup agar semua kapal bisa dioperasikan.

Tentunya ini dapat bermanfaat sebagai tambahan daya angkut atau kapasitas angkut terpasang dan tentu akan lebih bisa memberikan suatu layanan transportasi terbaik untuk masyarakat.

Dia mengingatkan jasa transportasi penyeberangan itu selain berfungsi sebagai alat angkut, juga berfungsi sebagai jembatan. “Fungsinya sebagai infrastruktur. Kalau infrastruktur berarti kan ada kewajiban pemerintah untuk membiayainya dengan cara ada insentif-insentif yang diberikan untuk angkutan penyeberangan, jadi bukan malah diberikan biaya-biaya yang lebih dari angkutan darat. Contohnya, jalan raya, biaya perawatannya ditanggung pemerintah,” cetusnya.

Jumlah penumpang, kata Bambang, mengalami stagnan. “Banyak kapal mengangkut penumpang jauh di bawah load factor keekonomian. Namun karena terikat dengan jadwal maka kapal harus tetap berlayar. Kalau tidak berlayar, tetap saja terkena biaya pelabuhan,” kata dia.

Menurut Bambang, penyebab lain dari bisnis angkutan penyeberangan yaiti tarif rendah yang ditetapkan pemerintah. “Tarifnya hanya Rp700 per mil per penumpang. Padahal tarif keekonomiannya pada rentang Rp1.500-2.000 per mil per penumpang," jelas dia.

Dia mengatakan, Filipina dan Thailand memberlakukan tarif jasa angkutan penyeberangan Rp3.500 Rp4.500 per mil per penumpang. “Nah kami hanya Rp700 per mil per penumpang. Berat sekali, sehingga jumlah pendapatan perusahaan pelayaran sulit untuk menutup biaya kenyamanan dan keselamatan yang ada” pungkas dia.
(nth)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.4963 seconds (0.1#10.140)