Caleg Bekas Koruptor, Diminta Umumkan Statusnya Sendiri

Selasa, 18 September 2018 - 06:55 WIB
Caleg Bekas Koruptor, Diminta Umumkan Statusnya Sendiri
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan upaya penandaan khusus untuk caleg bekas koruptor di surat suara, masih sekadar usulan. Foto/Ilustrasi/Dok.SINDONews
A A A
JAKARTA - Upaya penadaan khusus untuk calon anggota legislatif (caleg) bekas koruptor di surat suara, masih sekadar usulan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Komisoner KPU Hasyim Asy'ari menyatakan, yang perlu dilakukan oleh mereka (para caleg mantan napi koruptor) ialah kewajiban untuk mempublikasikan status mereka ke masyarakat.

"Kalau di undang-undangkan, mereka harus mengumumkan di media bahwa yang bersangkutan pernah kena pidana," ucapnya di Gedung KPU Jakarta, kemarin.

Menurutnya, KPU juga bersikap sama dengan memberikan pengumuman status sebagai mantan napi koroptor dilaman resmi KPU, yang nantinya juga akan memuat status mereka setelah diputuskan sebagai Daftar Calon Tetap (DCT) Pileg 2019.

"Di website KPU kalau sudah DCT kita publikasikan semua," tegasnya.

Sebelumnya, Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menyatatakan memberi pertimbangan dengan menandai mantan eks napi korupsi di surat suara. Usulan tersebut pernah dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).

"Pasca dianulirnya larangan eks napi korupsi nyaleg oleh Mahkamah Agung (MA), saran Pak JK menjadi layak dipertimbangkan kembali. Pak JK pernah mengusulkan itu," jelasnya.

Semetara itu, Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lukman Edy menyatakan, tidak setuju dengan wacana pemberian tanda di surat suara bagi caleg yang merupakan mantan napi korupsi. Penandaan tersebut dinilai diskriminatif.

"Kalau itu kami tidak setuju. Karena dengan kertas suara itu tidak boleh ada perbedaan antara caleg satu dengan yang lain. Diskriminatif. Tidak boleh ada," ucapnya di Gedung KPU Jakarta.

Menurutnya, penandaan itu justru akan berpotensi membuat masyarakat akan mencoblos yang bersangkutan jika tak disertai sosialisasi masif oleh KPU terkait caleg mantan koruptor ini.

"Misalnya distabilo merah orang ini, mantan napi koruptor. Apakah sosialisasinya sampai nanti di TPS bahwa yang stabilo merah ini mantan napi? Jangan-jangan nanti kalau masyarakat buka (surat suara), lho ini kayaknya ada tanda khusus, itu malah yang dicoblos," jelasnya.

Lukman Edy meminta kepada KPU agar melakukan sosialisasi melalui media. Ini juga diperbolehkan Mahkamah Konstitusi. Media yang bisa dimanfaatkan beragam mulai dari media elektronik, cetak, maupun media luar ruang seperti baliho dan lainnya.

"Dari awal saya menyarankan, bahwa yang diperbolehkan oleh MK soal napi-napi ini mengumumkan di media. Silakan KPU umumkan di media. Bisa media elektronik, cetak atau media outdoor langsung. Itu tidak menyalahi ketentuan. Kalau mau progresif, umumkan saja di TPS itu caleg mantan napi. Itu diperbolehkan ada dasar hukumnya di keputusan MK. Kalau menandai tidak ada itu, berbahaya nanti," ungkapnya.

Sementara Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah memastikan, pihaknya tetap mendukung upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Mengenai dikabulkannya uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terhadap UU 7/2017 tentang Pemilu, MA menilai hal itu menyangkut hak asasi setiap individu untuk dipilih dan memilih.

Permohonan pengujian hak uji PKPU yang masuk Mahkamah Agung ada 12 permohonan. Namun, hanya 2 perkara yang dikabulkan, selebihnya ditolak dan tidak dapat diterima," ujarnya di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta.

Perkara yang dikabulkan, yaitu Nomor 46 P/HUM/2018 yang diajukan Jumanto. Jumanto menguji Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (1) PKPU 20/2018 yang memuat ketentuan mantan narapidana kasus korupsi maju sebagai calon anggota DPR RI dan DPRD.

MA juga mengabulkan sebagian perkara Nomor 30 P/HUM/2018 yang diajukan oleh Lucianty. Objek permohonan ialah Pasal 60 ayat (1) huruf g dan j PKPU 14/2018. MA menilai frasa 'mantan terpidana korupsi' pada PKPU itu, khususnya mengenai pencalonan anggota DPD bertentangan dengan UU 7/2017 justru tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta tidak berlaku umum.

Menurut dia, MA pada prinsipnya sependapat dengan peraturan KPU. Namun, sedianya norma yang berisi larangan tersebut bisa diatur secara jelas dalam UU dan bukan dituangkan pada aturan pelaksanaan, seperti PKPU.

"Kalau menurut UU 12/2011 (Tata Urutan Perundang-Undangan), pertama ialah UUD 1945, UU, Perppu, Peraturan Pemerintah, Keppres, Perpres. Nah, Peraturan KPU itu masih jauh banget di bawah," ungkapnya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.2268 seconds (0.1#10.140)