Sidang Pemalsuan Akta Otentik, Jaksa Tolak Eksepsi Henry J Gunawan

Jum'at, 11 Oktober 2019 - 07:58 WIB
Sidang Pemalsuan Akta Otentik, Jaksa Tolak Eksepsi Henry J Gunawan
Henry J Gunawan dengan tangan terborgol saat di Pengadilan Negeri Surabaya.Foto/SINDONews/Lukman Hakim
A A A
SURABAYA - Sidang perkara pemalsuan akta otentik yang menjerat bos Pasar Turi, Henry Jocosity Gunawan dan istrinya, Iuneke Anggraini, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (10/10/2019). Kali ini sidang beragendakan pembacaan eksepsi atau bantahan terdakwa atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dalam eksepsi terdakwa Henry J Gunawan dan istrinya disebutkan, penasehat hukum terdakwa, Masbuhin menyebut dakwaan cacat prosedur. Diantaranya terkait penetapan tersangka, perjanjian hutang piutang yang dianggap jelas, sahnya perkawinan agama serta tidak diterimanya panggilan sidang.

Dengan dalil tersebut, tim penasehat hukum kedua menganggap, tindakan pidana Henry dan Iuneke yang di sangkakan memberikan keterangan palsu dalam akte otentik soal status perkawinannya merupakan hukum keperdataan.

"Maka berkenaan dengan itu, mohon agar yang mulia majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan kiranya mempertimbangkan yang ada di dalam eksepsi ini dikabulkan untuk seluruhnya," kata Masbuhin.

"Menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau setidak-tidaknya dakwaan tersebut tidak dapat diterima. Agar jaksa penuntut umum mengeluarkan para terdakwa dari Rutan Kelas 1 Surabaya setelah putusan ini diucapkan," lanjut Masbuhin.

Atas eksepsi tersebut, JPU Ali Prakoso kemudian langsung mengajukan tanggapan secara lisan. "Kami menanggapi secara lisan. Setelah mendengarkan eksepsi tim penasehat hukum yang tentunya cukup menggembirakan dan membesarkan hati dari para terdakwa. Pada pokoknya keluar dari ruang lingkup eksepsi sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat 1 KUHAP campur aduk dengan kewenangan praperadilan dan sudah masuk ke pokok perkara," kata Ali.

Selain itu, Ali meminta agar majelis hakim yang diketuai Dwi Purwadi menolak eksepsi terdakwa dan menyatakan menerima surat dakwaannya. "Menolak seluruh eksepsi dan menyatakan menerima dakwaan JPU sudah sesuai dengan pasal 143 ayat 3 huruf a dan b KUHAP, serta melanjutkan persidangan untuk memeriksa perkara ini," ujar Ali diakhir tanggapannya.

Diakhir persidangan, terdakwa Henry mengajukan permintaan agar istrinya dikeluarkan dari tahanan dengan alasan tidak ada yang merawat anaknya. "Terlepas dari hukum bagaimana. Saya merasa saya sama istri satu saja yang ditahan, karena saya ada anak anak yang masih kecil tidak ada yang jaga. Dan seharusnya tidak pantas kalau hal seperti ini istri saya diikut-ikutkan karena dia tidak pernah pegang bisnis sama sekali," kata Henry.

Sementara itu, jaksa Ali juga mengajukan permohonan dengan meminta Henry dan Iuneke mentaati Standar Operasional Prosedur (SOP) Kejaksaan terkait pemakaian rompi tahanan dan borgol.

"Ijin yang mulia, setelah terdakwa mengajukan permohonan, penuntut umum juga akan menjelaskan agar para terdakwa juga tertib aturan sesuai SOP kami dari luar sidang sampai ruang tahanan agar bersedia mengenakan rompi dan diborgol tanpa melakukan perlawanan yang mulia," pinta Ali.

Permintaan Ali itu menuai protes dari tim penasehat hukum terdakwa. Namun ditengahi oleh hakim Dwi Purwadi yang menyatakan, di luar ruang sidang merupakan kewenangan jaksa.

"Pemakaian rompi tahanan itu SOP-nya kejaksaan. Mau diborgol atau tidak saya tidak mau tahu urusan itu. Yang penting saudara duduk di kursi itu dalam keadaan bebas, bebas tidak dibelenggu, artinya tidak diborgol. Boleh mengenakan rompi, tidak juga tidak apa apa," kata Dwi.

Usai persidangan, JPU Ali memakaikan rompi tahanan pada Henry dan Iuneke serta memborgol kedua tangannya hingga menuju ke ruang tahanan PN Surabaya.

Dalam dakwaan JPU disebutkan, perkara dimulai dari pembuatan 2 akte yakni perjanjian pengakuan utang dan personal guarantee antara PT Graha Nadi Sampoerna

(GNS) sebagai pemberi hutang dan Henry Gunawan sebagai penerima utang sebesar Rp17,325 miliar di hadapan notaris Atika Ashiblie SH di Surabaya pada tanggal 6 Juli 2010. Saat itu, Iuneke Anggraini juga hadir.

Dalam kedua akte tersebut Henry menyatakan mendapat persetujuan dari istrinya, Iuneke Anggraini. Keduanya sebagai suami istri menjamin akan membayar hutang tersebut. Bahkan Iuneke pun ikut bertanda tangan di hadapan notaris saat itu.

Namun belakangan terungkap, perkawinan antara Henry Jocosity Gunawan dengan Iuneke Anggraini baru dilangsungkan pada tanggal 8 November 2011 di Vihara Buddhayana Surabaya. Perkawinan ini baru dicatatkan di Dispendukcapil pada 9 November 2011.
(msd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.0574 seconds (0.1#10.140)