Mengenang Buya Hamka dan Kauman Padang Panjang

Minggu, 27 Oktober 2019 - 06:00 WIB
Mengenang Buya Hamka dan Kauman Padang Panjang
Hamka bersama ayahandanya Syekh Haji Abdul Karim Amrullah. Foto/Hamka, Kenang-kenangan Hidup
A A A
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, akrab dipanggil Buya Hamka. Laki-laki kelahiran 17 Februari 1908 di Sungai Batang Maninjau, Sumatera Barat itu mempunyai memori kuat terhadap dua daerah dalam peristiwa berbeda. Dua daerah itu adalah Afdeling Padang Panjang dan Fort de Kock (baca: Bukittinggi).

Diniyah School Padang Panjang merupakan lembaga pendidikan awal yang bersentuhan langsung dengan Buya Hamka. Kilas memori Hamka, diungkap dalam Peringatan 15 tahun Diniyah Putri.

Hamka dan Haji Abdul Karim Amrullah atau akrab dipanggil HAKA (ayah kandungnya). Ketika usia Hamka menginjak delapan tahun, menginjak delapan tahun, ia baru masuk Diniyah School. Lokasi pertama yang dipakai adalah Mesjid Pasar Usang yang dibagi dalam dua kelas. Sisi sebelah kiri untuk laki-laki, untuk perempuan berada di sisi kanan. Guru yang pertama mengajarinya adalah Haji Saleh, dan untuk perempuan diajar Labay (Dinijah School Poeteri, 1938: 24).

Meskipun Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) adalah guru Labay, Hamka kecil segan dan takut bila bertemu di jalan raya, di Surau Jembatan Besi, ataupun tatkala Labay menuju Al-Moenir.

"Kami anak-anak sangat cinta kepada Beliau, tetapi sangat takut kalau bertemu di jalan raya, bila dia berjalan dari Jembatan Besi ke Kantor al-Moenir, perjalanannya tetap, warna mukanya serupa orang marah saja." Demikian tulis Hamka dalam artikelnya. (Baca juga: Surau Lubuk Bauk, Tempat Buya Hamka Menimba Ilmu).

Memasuki kelas dua, sekolah Diniyah sudah dipindah ke Pasar Usang- tepatnya di kediaman Haji Abdul Madjid yang terletak di seberang Rex Teater. Guru yang mengajar Hamka cs masa itu adalah Haji Rasul Hamidy. Ketika menginjak kelas 4, Hamka dididik Labay. Ada hal berbeda dirasakannya, ketika diajari Labay. Labay seakan-akan menguasai psikologi pendidikan. Demikian, kenangan Hamka terhadap sosok Labay, gurunya.

Sebelas tahun kemudian, tepatnya pasca-Kongres ke-19 tahun 1930 di Bukittinggi yang diikuti oleh Buya Hamka, satu putusan penting yang diambil pimpinan Konsul Muhammadiyah Minangkabau adalah membeli Hotel Merapi seharga f.250 di Guguk Malintang.

Kompleks Hotel Merapi terdiri dari bangunan dan tanah seluas dua hektar itu, sekarang dikenal dengan nama Komplek Perguruan Muhammadiyah Kauman Padang Panjang (Sufyan, 2014).

Kompleks Kauman memang diperuntukkan pada amal usaha Muhammadiyah Minangkabau dan Padang Panjang -terutama yang bergerak di bidang pendidikan. Langkah awalnya adalah membangun sekolah lanjutan untuk mencetak kader ulama, pendidik, dan pemimpin.

Tabligh School Muhammadiyah khusus putra tahun 1931 (Hasan Ahmad, 1973) –lahir sebagai representasi permintaan kader Muhammadiyah dari Aceh, Tapanuli, Sumatera Selatan, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Directur (baca: kepala sekolah) pertama di Tabligh School adalah Hamka.

Namun, sekolah ini tidak bertahan lama. Menurunnya jumlah siswa dan akibat krisis ekonomi dunia (malaise) merupakan faktor utama yang menyebabkan Tabligh School ditutup.

Padahal, sekolah ini telah melahirkan lulusan-yang nantinya bicara di pentas politik nasional dan lokal. Di antara lulusan itu adalah Abdul Malik Ahmad dan Zainoel Abidin Sjuaib (ZAS).

Bila Malik Ahmad dalam lembar sejarah dikenang sebagai pencerah kuliah tauhid dan Wakil Ketua PP Muhammadiyah mendampingi AR Fakhruddin, maka ZAS dikenal sebagai penggerak utama Islam berkemajuan di Bengkulu dan Sumatera Barat.

Pada tahun 1935, Abdullah Kami dan Rasyid Idris (RI) Dt Sinaro Panjang mendatangi Buya Hamka, agar mengaktifkan kembali Tabligh School Muhammadiyah. Setahun kemudian, sekolah ini booming di Sumatera dan muridnya segera membuncah di Padang Panjang.

Setahun kemudian, para peserta Conference ke-11 di tepian Maninjau memutuskan mengubah nama sekolah ini menjadi Kulliyatul Muballighin (KM). Sekolah ini diresmikan tanggal 2 Februari 1936. (Buletin Soeara Moehammadijah April tahun 1937:127).

Namun, keberadaaan Buya Hamka memimpin Kulliyatul Muballighin pun terbilang singkat. Setahun menakhodai KM, ia bertolak ke Medan untuk memimpin Pedoman Masyarakat. Murid terbaik dan koleganya di Tabligh School yang meneruskan laju dari KM di Kauman Padang Panjang.

Pekik merdeka dan semangat revolusi kemerdekaan, kembali membawa Buya Hamka ke ranah Minang. Setelah seruan jihad digemakan iparnya Buya Sutan Mansur, dan diikuti pembentukan barisan Hizbullah di Kauman Padang Panjang, larut dalam perjuangan.

Tanggal 30 Juli 1947 Buya Hamka mengikuti pertemuan dengan Wakil Presiden Moh Hatta di Bukittinggi. Selesai berpidato, Hatta langsung meninggalkan ruang rapat.

Buya Hamka dari perwakilan Masyumi, kemudian melanjutkan rapat untuk menyikapi situasi terkini keamanan di seluruh wilayah Indonesia. Hasil putusan rapat mengerucut, untuk membentuk satu tenaga gabungan khusus mengoordinir kekuatan perjuangan dari 56 partai dan organisasi. (Baca juga: Kisah Buya Hamka Diangkat ke Layar Lebar, Ini Pemerannya).

Badan itu diberi nama Front Pertahanan Nasional (FPN). Buya Hamka didaulat sebagai Ketua, Chatib Sulaiman selaku Sekretaris, Oedin mengepalai barisan dari partai politik, dan gerakan perempuan dipimpin Rasuna Said (Hamka, 1963)

56 partai dan organisasi yang tergabung dalam FPN antara lain Masyumi, Masyumi Muslimat, PNI, PKI, Lokal Islamy, Barisan Hizbullah, Sabilillah, Pesindo, SOBSI, Perti, Lasjmi, PPTI, Pemsji, Saifullah, MTKAAM, Hulubalang, Muhammadiyah, Aisyiyah, GPII, KOWANI, Perwari, Putri Kesatria, Persatuan Saudagar, PSII, Partai Sosialis, Barisan Teras, dan Barisan Merah.

Pada September 1947, Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Australia, Amerika Serikat, dan Belgia datang ke Bukittinggi, untuk dampak setelah Perjanjian Renville ditandatangani, dan melihat langsung hasrat untuk mempertahankan kemerdekaan, segera disambut antusias Buya Hamka.

Chatib–sang penggagas Barisan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK) segera mengerahkan para pemuda untuk melakukan demonstrasi di depan KTN, guna menunjukkan besarnya hasrat mereka mempertahankan kemerdekaan. Pada pukul 11.00, sebanyak 15 ribu pemuda BPNK berbaris teratur menuju Istana Wakil Presiden. Mereka disambut Moh Hatta dan staf Wapres, delegasi KTN, dan wartawan dari luar negeri.

Di depan delegasi KTN, Hamka berpidato,”..., tanah yang kami cintai ini, telah dirampas dari tangan kami, meskipun kamilah yang memilikinya. Kami dianggap budak di negeri kami sendiri... Tuan, Anda lihat bambu runcing kami! Kalaupun ini adalah satu-satunya sen-jata yang kami pakai untuk membela diri, kami tidak akan membiarkan tanah air kami dirampas kembali!”. (Kementerian Penerangan, 1954).

Sambil meneruskan pidatonya, Buya Hamka tidak bisa menyembunyikan perasaannya, ketika melihat mata Wakil Presiden Moh Hatta memerah dan berkaca-kaca. Hatta yang belum pernah terharu mendengar pidato siapa pun, kali ini tidak bisa menyembunyikan perasaanya di depan Sidang KTN di Bukittinggi (Hamka, 1946).

*Fikrul Hanif Sufyan, pemerhati sejarah lokal dan Ketua Litbang PUSDAKUM Muhammadiyah Wilayah Sumatera Barat.
(msd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1186 seconds (0.1#10.140)