Sikap Angin-anginan Pemkab Blitar, Macetkan Perhutanan Sosial

Minggu, 27 Oktober 2019 - 17:41 WIB
Sikap Angin-anginan Pemkab Blitar, Macetkan Perhutanan Sosial
Aktivis Perhutanan Sosial, Moh. Triyanto menilai Pemkab Blitar, masih setengah hati melaksanakan program perhutanan sosial. Foto/Dok.
A A A
BLITAR - Program perhutanan sosial di Kabupaten Blitar, dinilai belum bisa berjalan maksimal. Padahal ada ribuan petani, yang telah mengantongi SK Perhutanan Sosial.

(Baca juga: Perguruan Pencak Silat Pagar Nusa 100 Persen Siap Jaga NKRI )

Terhadap tanah seluas 1.600 hektar yang telah mengantongi SK Perhutanan Sosial, petani di Blitar belum bisa bekerja sesuai rencana. Hingga saat ini mereka belum memiliki Kartu Tani yang itu berdampak pada sulitnya mendapatkan pupuk subsidi.

Saat ada pembagian bantuan benih, mereka juga bukan termasuk kelompok petani yang mendapat bantuan dengan dalih pemerintah daerah tidak mengetahui program perhutanan sosial. Aktivis Perhutanan Sosial, Moh. Triyanto menilai Pemkab Blitar, masih setengah hati melaksanakan program perhutanan sosial.

Sikap itu diduga terkait masih adanya praktik mafia tanah dilapangan. Para mafia yang kepentingannya terganggu dengan hadirnya program perhutanan sosial.

"Respons Pemkab Blitar, terhadap program perhutanan sosial ini terkesan masih angin anginan. Masih setengah hati," ujar Moh. Triyanto yang juga Waketum Gema Perhutanan Sosial Indonesia kepada Sindonews.com, Minggu (27/10/2019).

Dalam program perhutanan sosial di Kabupaten Blitar, Triyanto mengaku telah mengusulkan sebanyak 18 ribu hektar lahan gundul. Di antaranya meliputi wilayah Kecamatan Wonotirto, Panggungrejo, Selorejo, Wlingi, Gandusari, Bakung, dan Wates. Namun pihak kementrian baru meluluskan 1.600 hektar, yakni di wilayah Desa Pandirejo, Kecamatan Bakung, dan Desa Ringinrejo, Kecamatan Wates.

Untuk 1.600 hektar lahan itu pemerintah pusat telah menerbitkan SK Ijin Pengelolaan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS). Ijin pengelolaan itu kata Triyanto berjangka waktu 35 tahun. "Bisa diwariskan ke anak cucu, namun tidak boleh diperjualbelikan," terangnya.

Sayangnya, program pusat yang semangatnya meningkatkan kemakmuran masyarakat di pinggir hutan itu menurut Triyanto belum mendapat suport maksimal dari pemerintah daerah.

Triyanto mencontohkan adanya bantuan benih jagung 15 ton dari kementrian pertanian. Karena alasan tidak tahu program perhutanan sosial, dinas pertanian setempat tidak memasukkan petani perhutanan sosial sebagai penerima program bantuan.

Belum lagi hingga kini para petani juga belum mendapatkan kartu tani yang itu sangat membantu dalam pengolahan lahan. "Tentu ini alasan yang lucu dan kontraproduktif," kata Triyanto.

Tidak hanya eksekutif. Suport angin anginan itu juga terlihat dari legislatif yang kata Triyanto hanya bersemangat ketika ada momentum pemilu (pileg) dan pilkada. Begitu momentum politik usai, tidak ada lagi pembicaraan lanjutan untuk mensukseskan program yang bertujuan mensejahterakan masyarakat pinggir hutan itu.

Bagi Triyanto apa yang terjadi di Blitar merupakan cermin dari pelaksanaan program perhutanan sosial di tingkat nasional. "Faktanya secara nasional program perhutanan nasional ini masih tersendat," ujar Triyanto yang juga masuk ke dalam Pokja Nasional Perhutanan Nasional.

Dalam kesempatan itu Triyanto juga mengatakan telah menyampaikan seluruh kendala yang terjadi di lapangan kepada Presiden Joko Widodo saat perwakilan perhutanan sosial diundang bertemu di Istana Negara. Dalam pertemuan itu mereka juga meminta Presiden Jokowi segera membentuk Badan Otorita Khusus perhutanan nasional.

Dengan Badan Otorita Khusus yang diisi wakil pemerintah dan unsur masyarakat yang berkomitmen, target perhutanan sosial di 12,7 juta hektar se Indonesia akan segera terwujud.

Badan Otorita Khusus akan mengatasi semua kendala yang terjadi di lapangan. "Saat bertemu Presiden Jokowi, kita meminta presiden segera membentuk Badan Otorita Khusus perhutanan sosial," jelasnya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.5005 seconds (0.1#10.140)