Kolaborasi, Jadi Kunci dan Nyali Melawan Diskriminasi Anak

Senin, 28 Oktober 2019 - 18:25 WIB
Kolaborasi, Jadi Kunci dan Nyali Melawan Diskriminasi Anak
Mukidi bersama Kiking merupakan ABK yang bisa tumbuh dengan kreativitas membatik dan melukis. Foto/SINDOnews/Aan Haryono
A A A
Tidak bolah ada anak yang tertinggal dalam pendidikan. Di Kota ramah anak, pendidikan tak lagi menjadi tanggungjawab satu sektor untuk diberikan beban.

Kolaborasi bersama antar sektor, baik sekolah, lingkungan dan keluarga menjadi kunci pembuka bagi senyum anak-anak di masa depan.

Langit masih meninggalkan cahaya berwarna emas ketika Mukidi ditangkap Satpol PP dari perempatan jalan di dekat Terminal Joyoboyo. Matanya masih melihat tajam ketika senja keemasan itu jatuh di permukaan tembok Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih, Kota Surabaya.

Ada puluhan anak yang sore itu terjaring. Suara tangis dan perlawanan kecil memenuhi isi ruangan yang hanya ada kursi panjang dan meja coklat yang sudah kusam. Sepasang jendela begitu pelit memasukan angin yang membuat suasana sore itu begitu panas.

Lampu neon mulai dinyalakan. Cahayanya masih saja terlihat redup di beberapa sisi ruangan. Beberapa petugas melakukan pendataan, menanyakan umur, alamat, riwayat keluarga sampai cerita kecil kenapa berada di pinggir jalanan Surabaya.

Mukidi tetap tegar daripada anak-anak lainnya. Tak ada air mata yang menetes di pipinya. Ia hanya diam sambil melihat anak-anak yang lain mulai gusar, berontak dan berteriak pada pertugas. Suasana benar-benar gaduh ketika satu per satu anak itu dibawa masuk ke ruangan bagian dalam.

Saat senja benar-benar pergi dan malam yang kelam datang menghampiri, Mukidi mulai menyadari kalau dirinya sudah tak menemukan lagi keluarga yang selama beberapa tahun terakhir bersamanya di jalanan. Ia tak pernah tahu siapa kedua orang tuanya, sejak berusia tiga tahun, Mukidi sudah ditemukan berada di jalanan.

Dari puluhan anak yang ditangkap, Mukidi satu-satunya yang tak bisa dimintai keterangan. Sejak lahir, Mukidi sudah tak bisa berbicara dan mendegar. Rambutnya yang tipis dan kulit kecoklatan dengan mata yang selalu tegas menatap tak menunjukan dirinya sebagai salah satu Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Kehidupan baginya selama ini menjadi jalanan yang keras dan fana. Tanpa ada kehangatan keluarga. Saat ditangkap, ia tak bisa menjelaskan siapa keluarganya, asalnya dan juga namanya. Di penghujung malam itu pun ia akhirnya mendapatkan nama, Mukidi. Malam-malam yang dilaluinya tetap saja tak berubah. Ia hanya melihat bintang di langit dalam kepulan rasa cemas.

"Mukidi akhirnya dibawa ke Liponsos Kalijudan. Kebetulan di sini memang tempat khusus bagi anak-anak," kata Kepala UPTD Liponsos Kalijudan, Nanik Winarsih, Senin (28/10/2019).

Pada senja yang sama, petang yang dialami oleh Mukidi kini berbeda. Ia sudah menemukan keluarga. Orang yang bisa diajak untuk merebahkan kepalanya pada bahu-bahu yang tegap dan hangat. Sebelum malam menjelang, ia bisa berbagi kisah, bercerita tentang sesuatu yang menarik minatnya.

"Kini usia Mukidi sudah 13 tahun. Sudah bisa mengurus kebutuhannya sendiri, dan tiap hari menemukan sosok keluarga yang selama ini dicari-cari dalam diri para pendamping dan teman-temannya," ucapnya.

Mukidi kini punya keluarga besar di Kalijudan. Setiap pagi sampai malam, ada orang yang berada di dekatnya. Anak-anak seusianya tak bisa ditinggalkan sendirian untuk menaklukkan kehidupan.

Dalam masa emasnya, katanya, Mukidi bisa memaksimalkan segala potensi yang dimiliki. Meskipun menjadi ABK, kelebihan lain yang dimiliki Mukidi menjadi pembeda.

Kolaborasi, Jadi Kunci dan Nyali Melawan Diskriminasi Anak


Biarkan Anak Bermain dan Mengenal Masa Depannya

Pada sebuah siang, saat matahari masih sepenggalah, Mukidi bersama dengan Kiking duduk di sebuah bangku yang berada di samping taman kecil di Kalijudan. Mereka berdua sama-sama merupakan ABK yang tak bisa mendengar dan berbicara. Keduanya baru menyelesaikan pesanan batik tulis dan dua lukisan yang harus segera diambil sama pemesan.

Senyum lebar menghiasi hari mereka. Duduk di tengah taman, mereka berbicara tentang fotografi, dua kamera poket menemani siang mereka sambil sesekali membidik Bunga Bugenvil yang ada di taman tengah Liponsos Kalijudan. “Terlalu gelap,” kata Mukidi lewat bahasa isyarat.

Kiking mulai memperbaiki. Ia menekuk lututnya, mencari sudut paling tepat untuk bisa mengambil permukaan bunga berwarna merah yang siang itu menjadi penyejuk di dalam dahaga. Mereka merupakan anak-anak yang pantang menyerah.

Fotografi kini menjadi keahlian ketiganya yang ingin dimiliki. Sebelumnya, mereka berdua sudah mampu membatik dan melukis. Keahlian itu membawanya jauh melewati batas kemampuan anak-anak seusianya. Mereka berdua kini bisa berpenghasilan cukup dari penjualan batik dan lukisan sebagai bonus kreativitas mereka.

Mereka berdua pun dibuatkan rekening di bank. Penghasilan mereka dari membatik dan melukis terkumpul dengan utuh atas nama mereka sendiri.

Batik karya Kiking dan Mukidi dijual dikisaran Rp100-200 ribu. Batik buatan mereka kini menghiasi banyak etalase penjualan di Balai Kota Surabaya serta tempat Dekranasda Kota Surabaya. Meskipun memiliki keterbatasan, Mukidi dan Kiking tak pernah surut dalam menelorkan karya di usianya yang masih belia.

Kepala Perwakilan UNICEF Pulau Jawa dan Bali Arie Rukmantara menuturkan, tidak boleh ada anak yang tertinggal dalam pemenuhan kesehatan dan pendidikan. Mereka memiliki hak yang sama untuk bisa sukses di masa depan.

Ruang-ruang kecil yang dibuat untuk anak-anak beraktivitas bisa menjadi langkah maju untuk memastikan mereka aman. Termasuk juga kehadiran keluarga dalam memberikan dukungan penuh dalam pertumbuhan anak.

"Fasilitas publik yang ramah anak serta hilangnya perundungan diberbagai tempat mereka (anak-anak) tumbuh akan menjadi kunci," katanya.

Makanya, anak-anak harus dipastikan sehat, pintar, girang, hidup aman, memperoleh hak-haknya dengan baik. Ada dua tugas pokok yang dapat dipikul bersama berbagai pihak.

Pertama adalah kemauan dan kemampuan para pihak di dalam sistem pemerintahan untuk menyediakan pelayanan dan perlindungan dasar pada semua anak dengan total dan sempurna.

"Misalnya PAUD harus bisa menampung banyak anak, sekolah banyak yang inklusif, taman bermain bebas asap rokok, angka kejahatan kecil. Semua kepala daerah harus memastikan sistem pendidikan tidak membiarkan anak-anak putus sekolah," ucapnya.

Selanjutnya, kesadaran orang tua dan para wali anak dalam keseharian. Mereka harus paham anak-anak membutuhkan gizi seimbang dan perlu bermain dan bergerak sehat.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menuturkan, pada tahun pertama ia menjabat sebagai kepala daerah, Surabaya memiliki berbagai tantangan terkait dengan kemiskinan. Saat itu, lebih dari 30 persen masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan.

Tak hanya itu, di Surabaya saat itu ada enam distrik lampu merah atau area prostitusi yang beroperasi. Situasi ini membuat meningkatnya jumlah siswa putus sekolah, serta tingkat kenakalan remaja.

"Makanya kota ini telah membentuk banyak inisiatif untuk mengatasi kebutuhan belajar kelompok-kelompok yang kurang beruntung ini," kata Risma.

Inisiatif itu dimulai pada 2011, pihaknya membuat program pendidikan gratis dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah dan kejuruan untuk memungkinkan semua anak mengejar pendidikan yang layak.

Namun, anak-anak yang tinggal di distrik lampu merah, menunjukkan minat yang sangat rendah ke sekolah. Untuk mengatasi masalah ini, pihaknya memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mendaftarkan sekolah gratis yang terletak di tempat terdekat dengan rumah mereka.

"Tidak hanya bebas biaya sekolah, pemerintah kota juga mendukung mereka dengan seragam gratis, tas, sepatu, dan peralatan sekolah lainnya yang dibutuhkan," ujarnya.

Namun saat itu, ada permasalahan lain yang membuat Risma harus mengambil langkah cepat. Saat itu, anak-anak jalanan lebih memilih untuk tidak bersekolah, karena mereka terbiasa mendapatkan uang dengan menjadi pengemis atau bernyanyi di jalan.

Mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappeko) ini kemudian membangun tempat perlindungan gratis untuk menampung anak-anak tersebut. Dengan memberikan mereka perawatan yang tepat, serta dukungan untuk pengembangan bakat. "Karena anak Surabaya adalah anak kita semua," tegasnya.

Kolaborasi, Jadi Kunci dan Nyali Melawan Diskriminasi Anak


Ruang Interaksi Anak Harus Masif

Pendidikan dan pengajaran di sekolah tidak hanya mengajarkan peserta didik teori. Tetapi juga membentuk karakter belajar bagi anak yang terstruktur. Keberhasilan pendidikan anak tidak hanya dipegang sekolah. Kunci keberhasilan pendidikan adalah adanya keterlibatan orang tua dan lingkungan sekitar tempat tingggal anak juga menjadi kunci.

Kota Surabaya dalam beberapa tahun terakhir selalu dianggap sebagai Kota Layak Anak. Enam kali kali berturut-turut mereka meraih penghargaan tingkat Madya pada 2011 dan 2012, kemudian penghargaan tingkat Nindya pada 2013 dan 2015, serta Penghargaan tingkat utama tahun 2017 dan 2018.

Semua jajaran pun berkomitmen untuk melakukan pemenuhan hak anak dan perlindungan anak sesuai UU No. 35 Tahun 2014, Perda No. 6 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Anak, serta Keputusan Wali Kota Surabaya Nomor 188.45/68/436.1.2/2019 tentang Tim Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Surabaya.

Sejak di hulu, pendidikan anak sudah disebar dengan masif. Pembentukan kampung-kampung pendidikan menjadi salah satu jalan yang dipakai untuk menjaga peran keluarga, lingkungan dan sekolah. ketiga sektor itu lebur menjadi satu dalam menciptakan wadah yang tepat buat kelangsungan pendidikan anak.

Kabid Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) dan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan dan dan Perlindungan Anak (DP5A) Ida Widayati menuturkan, daerah tempat tinggal anak yang nyaman dan aman bagi proses tumbuh kembangnya harus bisa diciptakan.

"Makanya kami perlu dukungan masyarakat yang menjamin pemenuhan hak anak dan mengupayakan perlindungan anak secara optimal," kata Ida.

Ia menambahkan, kampung pendidikan yang pertama dicanangkan sejak 2 Mei 2015 kini terus bertambah. Para peserta program kampung pendidikan Kampung’e Arek Suroboyo secara administrasi meliputi setiap kelurahan, minimal 1 (satu) RW yang terdiri minimal 2 RT untuk mengakomodir seluruh kategori program tersebut dengan kategori Pratama dan Madya.

"Bentuk program Kampung'e Arek Suroboyo pada 2019 ini terdiri dari 5 (lima) kategori, seperti Kampung Belajar, Kampung Sehat, Kampung Asuh, Kampung Kreatif dan Inovatif serta Kampung Aman," jelasnya

Kampung Belajar adalah Kampung yang memiliki kepedulian dan komitmen untuk menjamin terlaksananya lingkungan yang mendukung pendidikan atau belajar anak. Sedangkan, Kampung Kreatif dan Inovatif memberikan fasilitas bagi anak-anak untuk melakukan ekspresi, kreasi, dan inovasi sesuai dengan minat dan bakat anak.

"Pada 2019 ini, ada tambahan kegiatan yang masuk kategori ini dengan memfasilitasi kegiatan di luar akademik, dengan memberikan pelatihan menari, menyanyi, melukis, jurnalistik, melukis. Ada 13 pelatihan, dan pesertanya semakin banyak, sekarang sekitar 490 anak," ucapnya.

Kepala Seksi Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) Sujatmoko Abipraja menjelaskan, dalam penyelenggaraan program Kampung Pendidikan ada beberapa tahapan yang dilakukan, mulai dari tahap sosialisasi, launching, pendampingan, penilaian dokumen portofolio, verifikasi lapangan dan roadshow.

"Pendampingannya selama tiga bulan. Nanti ada visitasi dari tim yang terdiri dari akademisi, kepolisian, kesehatan sesuai lima kategori Kampung Pendidikan. Setelah itu diberikan masukan kekurangannya apa, supaya ke depannya lebih baik," katanya.

Program Kampung Pendidikan diharapkan menjadi gerakan masyarakat dalam melindungi dan menyiapkan masa depan anak. Pemkot Surabaya, mengapresiasi dukungan juga partisipasi warga, dan berharap perjuangan tersebut membawa hasil, mengantarkan anak-anak Surabaya menjadi anak yang berkarakter baik, mampu mandiri dan bersaing dengan anak-anak di seluruh dunia.

Sujatmoko mengatakan, berbeda dengan program pemerintah pada umumnya yang bersifat top down atau instruksi, Program Kampung Pendidikan sifatnya bottom up. "Program ini diinisiasi masyarakat yang kemudian diperkuat oleh pemerintah kota dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Harapannya, proses ini terus berjalan dan menjadi kebiasaan warga," katanya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.8136 seconds (0.1#10.140)