Buku, Ludruk, dan Teknologi Harus Bersekutu di Ujung Kampung

Rabu, 30 Oktober 2019 - 20:12 WIB
Buku, Ludruk, dan Teknologi Harus Bersekutu di Ujung Kampung
Ruang belajar masyarakat menjadi tempat bertemunya warga untuk menyerap buku dan mencegah kabar hoax di masyarakat. Foto/SINDOnews/Aan Haryono
A A A
Era disrupsi informasi membuka kran begitu lebar dalam berbagai konten di masyarakat. Irisan kabar hoax dan fakta sulit untuk dipilah sebagai konsumsi utama.

Dari sektor hulu, masyarakat di tiap kampung kecil di Kota Pahlawan memulai untuk menyegarkan literasi warga dengan membangun sekutu antara buku, teknologi dan kearifan lokal masyarakat, tujuan akhir kebenaran informasi diharapkan mampu menghiasi kehidupan sosial masyarakat yang bermartabat.

Sepoi angin berhembus kencang saat matahari sudah mulai lirih ke arah barat. Siang yang cukup terik, suhu kota Surabaya mencapai 36 derajat celcius. Puncak panas musim kemarau menyelimuti Kota Pahlawan.

Pada ujung gang, Hendarto (38), masih bersama Dian Ayu Putri (10), anak bungsunya yang duduk bersila di rumah baca Sidosermo. Dua buku berwarna hijau diambil dari rak kecil yang berada di sisi kirinya.

Keramik lantai yang berwarna coklat sedikit mendinginkan kondisi tubuh dengan menyeka keringat sebesar biji jagung yang menetes di kening anaknya. Dua kipas angin mulai dinyalakan di sudut ruangan berukuran 4x6 meter ini. Ruangan itu tanpa dinding yang tinggi, memudahkan orang untuk masuk dan melihat dari luar.

Dua pohon mangga langsung menyambut di sisi timur ruangan, dekat dengan pintu masuk dari besi paralon berwarna kuning. Darto mulai membuka buku The Giving Tree karangan Shel Silverstein sambil mendekatkan lengannya pada sang buah hati.

Di sela anaknya membaca, laki-laki yang setiap hari bekerja di jasa ekspedisi ini menceritakan topik utama buku tentang persahabatan antara pohon apel dan seorang anak laki-laki.

Suaranya begitu berat ketika menjelaskan tentang cinta yang tumbuh antara anak tersebut dan Si Pohon. Kisah yang mengajarkan bahwa dasar persahabatan adalah kasih sayang dan saling memberi. Tetapi Shel mengingatkan, memberi atau meminta terlalu banyak tidak baik hasilnya.

"Kami harus kembali untuk membaca buku, makanya saya mengajak anak untuk ikutan suka membaca dan memahami ilmu yang terkandung di dalamnya," kata Darto, Selasa (30/10/2019).

Dahinya mulai mengkerut ketika bercerita tentang ancaman yang harus dihadapi keluarganya dan juga warga-warga lainnya di kota besar. Semua penghuni rumahnya sudah memahai gawai. Untuk membunuh waktu, mereka berselancar di media sosial yang menawarkan banyak cerita dan informasi.

"Semua informasi hadir di linimasa keluarga kami, baik itu istri maupun anak-anak saya," ucapnya.

Ia pun tak bisa setiap saat melakukan kontrol pada anak-anaknya. Terutama asupan informasi maupun kebiasaan yang selalu mengunakan gawai. Cara untuk bisa mengurangi kecanduan gadget serta menyaring informasi yang benar tentunya dengan kembali membaca buku.

Baginya, kebiasaan membaca buku untuk mencari informasi sudah dilakukan sejak dulu. Literasi menjadi jendela bagi masyarakat untuk melihat dunia. "Kebiasaan ini yang ingin saya terapkan pada anak-anak. Mereka biar punya minat baca, tokoh idola serta rujukan informasi yang benar," jelasnya.

Sebaran kabar hoax juga menjadi ancaman masif bagi anak-anak serta ibu di tiap rumah. Lemahnya ruang menyaring kabar menjadi peluang muatan hoax untuk masuk di sendi-sendi kehidupan warga. Gerakan kecil yang dilakukan secara terus-menerus di tiap kampung bisa memunculkan ombak perlawanan pada muatan hoax yang masuk ke rumah-rumah warga.

"Harus ada penyeimbang, dengan literasi melalui buku bacaan di tiap kampung kami yakin bisa jadi pilihan,” sambung Riyadh Amri, salah satu warga lainnya.

Saat ini sudah ada sebaran 533 Taman Belajar Masyarakat (TBM) diberbagai sudut kampung-kampung Surabaya. Deretan rak besi yang berisi ribuan koleksi buku siap menjadi benteng terakhir warga untuk melawan hoax.

Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Kota Surabaya, Musdiq Ali Suhudi menuturkan, sebaran buku yang bisa dibaca warga berada di berbagai tempat seperti balai RW, kampung sempit, rumah susun sampai tempat berkumpulnya anak-anak ketika bermain.

Taman belajar memang dikembangkan di kantong-kantong pemukiman masyarakat supaya akses literasi lebih mudah dijangkau. Selain itu, masyarakat bisa mendapat akses literasi secara merata tanpa ada celah yang bisa dimasuki oleh produsen hoax dengan materi adu domba dan memecah belah masyarakat.

"Masyarakat akhirnya mempunyai alternatif sumber bacaan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dibanding menggunakan gadget," tegasnya.

Untuk ruang interaksi, katanya, pihaknya juga menyiapkan beberapa pelatihan agar menarik minat baca semua masyarakat termasuk anak-anak. Pelatihan ini meliputi menulis, mendongeng, hingga bimbingan belajar (bimbel). Ditambah lagi pelatihan mewarnai, menggambar, dan membuat keterampilan yang berasal dari buku yang dibaca di taman bacaan warga.

Musdiq juga menambahkan, selain sebagai tempat membaca dan meminjam buku, TBM juga diharapkan menjadi tempat masyarakat untuk belajar, melakukan interaksi sosial, dan menyalurkan bakatnya. Mereka juga bisa membahas kabar atau informasi yang dianggap kurang valid. Sehingga sebaran informasi itu benar-benar terverifikasi.

"Kalau warga ada yang gemar mendongeng, nanti boleh mendongeng di sana, atau menulis hasil tulisannya bisa diletakkan di TBM itu," imbuhnya.

Dukungan literasi sebagai penangkal hoax juga diperkuat dengan pembuatan aplikasi T-Perpus. Aplikasi ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam mendapatkan layanan literasi perpustakaan berbasis digital.

Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini menuturkan, sejak dulu sebenarnya kebiasaan membaca masyarakat sudah terbangun. Ketika warga memiliki kebiasaan membaca dan bertatap muka, maka secara tidak langsung juga mengajarkan seseorang untuk lebih bijaksana, bekerja keras, serta tidak mudah putus asa.

"Dari membaca buku itu yang membuat saya kaya akan aktivitas, kita bisa lebih kaya imajinasi. Karena dengan membaca kita akan menerka warna, situasi dipercepatan era industri 4.0 dan disrupsi komunikasi ini," kata Risma.

Presiden UCLG Aspac ini mengaku, bisa mengerti tentang ilmu politik, ekonomi, pendidikan, dan psikologi dari hasil membaca buku. Meskipun, ia bukan dari latarbelakang jurusan akademik tersebut.

"Jadi saya membangun perkotaan ini tidak asal. Saya membangun kota ini menggunakan teori psikologi perkotaan. Bagaimana taman ini bukan sekadar berdampak pada lingkungan saja, namun pada manusianya juga," jelasnya.

Menurutnya, taman-taman yang ada Surabaya dibangun karena ingin membentuk karakter manusia dari semua usia untuk berkumpul dan menjalin komunikasi. "Mangkanya seluruh taman di Surabaya diberi free wifi, agar mereka bisa belajar, atau pun membaca dengan ipad atau laptopnya," ucapnya.

Ludruk Bagi Milenial

Perkembangan digital berjalan dalam kedipan mata. Tanpa ada jeda, semua ruang kehidupan terseret dalam percepatan akses serta perubahan yang cepat. Demikian juga perjalanan seni Ludruk di era melenial ini.

Pada era disrupsi komunikasi, Ludruk membuka metamorfosa baru sebagai warisan benteng yang tak mudah dijebol. Termasuk peran Ludruk dalam menjaga pengaruh berita hoax. Dalam jalur tradisi, Ludruk menjadi ruang deteksi kebenaran dan liku kehidupan yang dianggap keluar dari pakem kewajaran.

Meskipun teknologi sudah menjadi candu, ada beberapa celah yang bisa dimasuki untuk bisa menanamkan pondasi karakter yang kuat bagi masyarakat sejak dini. Salah satunya lewat kebudayaan lokal yang dibungkus dengan rapi untuk mengendapkan tradisi kebudayaan yang tak punah digerus zaman.

Melalui pentas kecil-kecil di pinggiran kota, oksigen bagi rakyat jelata itu terus dialirkan untuk menyebar kebaikan. Materi Ludruk yang dekat dengan masyarakat bisa dicerna dan dijadikan rujukan warga untuk tetap berpikir "sehat".

Kidungan yang khas di pertunjukan Ludruk seperti menghiasi langit-langit Surabaya. Tak lelah memberikan teror di sepanjang malam. Merebut mimpi-mimpi di tiap rumah, menjadikannya pertanda untuk terus waspada. Kebudayaan mengajarkan masyarakat untuk terus bijak dan memahami identitas dirinya.

Kesenian Ludruk kini menjadi injeksi bagi generasi muda. Sejak belia, mereka sudah dikenalkan sejarah kebudayaan masyarakat Surabaya. Gegap gempita era baru tak menyurutkan tradisi yang terbangun lama di masyarakat. Pesan kebaikan, kepatutan pada norma dan spirit menghargai yang ditampilkan dalam kidungan jula-juli guyon parikeno mengubah banyak lanskap anak-anak muda di sekolah.

Jejak peradaban di Surabaya menunjukan Ludruk selalu mampu menjadi penawar ampuh. Benteng kuat bagi anak-anak dalam memahami karater masyarakat di tengah serangkaian racun yang coba disebar dari kabar hoax dan sebaran pesan berantai di media sosial.

Sutradara Ludruk Irama Budaya Maimura mengatakan, perjalanan Ludruk di Surabaya melewati berbagai jenis zaman. Ada banyak perubahan di tiap zamannya, namun semuanya masih bisa menerima Ludruk sebagai kebudayaan Surabaya yang tak luntur. Kehadiran Ludruk bisa menjadi penawar racun sebaran hoax yang kini semakin masif di Indonesia.

Ludruk tetap pada jalannya, ruang bising yang terus memberikan teror. Seperti dalam kidungan jula-juli yang kerap diucapkan di panggung, kupat aja digawe bubur, nek gak bubur rasane sepa. Dadi pejabat kudu sing jujur, nek gak jujur dadi intipe neraka (ketupat jangan dibuat menjadi bubur, kalau dibuat bubur rasanya hambar. Menjadi pejabat harus jujur, kalau tak jujur jadi keraknya neraka).

"Ludruk tentu tak hanya jadi pertunjukan biasa, kebudayaan ini menyerap banyak kisah dan mengajarkan anak pada banyak hal. Ludruk tak pernah menjadi penjilat. Kesenian itu kini hadir dalam dinamika masyarakat yang bosan dengan prilaku menyebar kebencian," katanya.

Persekutuan Ludruk, buku dan teknologi diyanini mampu untuk meredam semua sebaran kebencian. Masyarakat sejatinya merindukan kedamaian dan mereka berani untuk menolak adu domba.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 5.3914 seconds (0.1#10.140)