Menelisik Peninggalan Singasari dan Majapahit di Situs Kumitir

Kamis, 31 Oktober 2019 - 14:16 WIB
Menelisik Peninggalan Singasari dan Majapahit di Situs Kumitir
Struktur bata kuno sepanjang 100 meter peninggalan Majapahit di Desa Kumitir, Mojokerto pasca dieksavasi tim PCPM dan BPCB Jatim. Foto/SINDOnews/Tritus Julan
A A A
SURABAYA - Situs Kumitir, masih menyimpan tanda tanya besar. Eskavasi selama 10 hari, sepertinya tidak cukup mengungkap tabir di balik temuan struktur bata kuno.

Struktur bata kuno itu terletak di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Hingga kini, struktur sepanjang 100 meter itu diprediksi merupakan talud.

Tetapi, tim arkeolog belum dapat menyimpulkan bangunan apa yang dulunya pernah berdiri di lokasi tersebut. Meski demikian, mereka menyakini, lokasi tersebut merupakan tempat penting kala itu.

Bentangan struktur bata kuno dengan panjang lebih dari 200 meter, ketebalan 140 cm dengan tinggi kisaran 120 cm dari permukaan tanah asli, tentunya memunculkan berbagai prediksi. Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, Nugroho Dwi Wicaksono menyakini lokasi tersebut bukan tempat sembarangan.

"Kita perkirakan bahwa struktur bata ini merupakan sisi timur dari Kota Majapahit. Dimana disebutkan bahwa Kedaton Majapahit itu dikelilingi tembok-tembok. Nah bisa jadi kita menemukan sisi timur dari kedaton, dimana posisi tengahnya berada di Segaran dan Sumur Upas," ujar Wicak, Kamis (31/10/2019).

Prediksi itu tak lepas dari temuan bata kuno yang digunakan dalam pembuatan talud tersebut. Dari dimensinya, bata kuno itu memiliki ukuran bata 32 cm, lebar 18 cm serta memiliki ketebalan 6 cm. Sama dengan ukuran bata kuno di situs peninggalan Kerajaan Majapahit lainnya yang ditemukan di wilayah Kecamatan Trowulan.

Disisi lain, sejumlah literasi menyebutkan bahwa Kumitir sudah menjadi tempat penting jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri kokoh. Dalam serat Pararaton, kata Wicak, pada abad ke-13 Kumitir merupakan lokasi pendharmaan Mahisa Cempaka atau Narasinghamurti dan Wisnuwardhana. Keduanya merupakan raja Kerajaan Tumapel atau lebih dikenal sebagai Singasari.

"Keduanya memerintah dalam waktu yang bersamaan. Dalam pararaton disebutkan, bagiakan ular berkepala dua. Wisnuwardhana yang jadi raja, Mahisa Cempaka mendampingi, tapi dia (Mahisa Cempaka) statusnya juga sebagai raja. Menariknya, dalam Negarakretagama, Raden Wijaya menyebutkan adanya pendharmaan Mahisa Cempaka di sini tahun 1286," imbuhnya.

Tempat pendharmaan adalah monumen untuk memperingati kematian. Atau tempat peribadatan khusus. Biasanya di lokasi tersebut ditempatkan sebagian abu hasil pembakaran pasca dilakukan upacara Ngaben. Biasanya, abu jasad pembakaran ditempatkan di beberapa lokasi yang dianggap suci, seperti laut, gunung, serta tempat-tempat lainnya.

Dugaan itu dikuatkan dengan ditemukannya sejumlah benda-benda kuno yang terbuat dari batu. Beberapa tahun sebelumnya, warga setempat menemukan batu andesit berbentuk persegi serta antefik yang identik dengan bagian sudut atas candi. Lokasi temuan itu berada di barat atau bagian dalam bentangan struktur bata kuno.

"Bisa jadi, dulunya ada candi di sini yang menjadi tempat pendharmaan Mahisa Cempaka dan Wisnuwardhana. Di sini juga ditemukan arca yang sekarang masih utuh. Konon menurut Pararaton di lokasi ini juga ada patung Siwa yang sangat bagus, namun itu (patung) belum kami temukan, apakah sudah diambil, saat penjajahan dulu kami belum mengetahuinya," jelasnya.

Sehingga besar kemungkinan di Situs Kumitir terdapat dua peninggalan besar dari zaman yang berbeda. Yakni talud yang dibangun pada saat Kejayaan Majapahit, serta tempat pendharmaan Mahisa Cempaka dan Wisnuwardhana pada era Kerajaan Singasari. Sebab, Negarakretagama yang menuliskan adanya lokasi pendharmaan Mahisa Cempaka ditulis pada Hayam Wuruk menjadi Raja Majapahit.

"Jadi di sini tempat pendharmaan Mahisa Cempaka yang mungkin dibangun kembali pada masa Majapahit. Jadi mungkin ada renovasi, karena Hayam Wuruk itu senang dengan renovasi. Pemugaran kembali candi-candi lama lazim dilakukan saat Majapahit. Contohnya Candi Jawi, Candi Singosari yang itu dilakukan pada era Kerajaan Majapahit," terangnya.

Sayangnya, prediksi itu masih belum sepenuhnya bisa dibenarkan. Sejauh ini literasi yang memuat cerita tentang Kumitir hanya Negarakretagama serta Pararaton yang ditulis 300 tahun setelah era Majapahit.

Sementara, proses ekskavasi tim Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCPM) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta BPCB Jatim masih sebatas temuan struktur bata kuno.

"Belum, karena ekskavasi sekarang kami hanya menampilkan satu lot yakni struktur bata kuno yang tertutup banjir lahar dingin dari Gunung Welirang. Jadi kami belum mengangkat lapisan budaya dari Situs Kumitir itu sendiri," pungkas Wicak.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.3389 seconds (0.1#10.140)