Rawat Candi Majapahit Butuh Nyali!

Kamis, 07 November 2019 - 12:36 WIB
Rawat Candi Majapahit Butuh Nyali!
Sejumlah juru pelihara (Jupel) candi membersihkan puncak Candi Brahu peninggalan Majapahit. Foto/SINDOnews/Tritus Julan
A A A
MOJOKERTO - Kabut tipis masih menyelimuti Candi Brahu, saat Abdul Ghofur dan lima orang pria paruh baya, memanjat struktur bata kuno setinggi 25 meter itu, Rabu, (6/11/2019).

Sebuah tangga dan seutas tali tampar warna biru nampak dipanggulnya. Tangan kanannya menenteng lima buah sapu lidi usang yang diikat karet. Alat sederhana yang bakal membantu para juru pelihara (jupel) menyelesaikan pekerjaannya membersihkan candi peninggalan Majapahit di Mojokerto.

Tanpa alas, perlahan langkah kaki-kaki para Jupel itu menampaki satu persatu struktur candi yang terletak di Dusun Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan ini. Begitu berhati-hati mereka. Agar tak merusak struktur bata kuno yang sudah rapuh di makan usia.

Maklum saja, situs Candi Brahu, sudah berusia ratusan tahun. Tumpukan bata kuno dengan panjang 22,5 meter serta lebar 18 meter ini diperkirakan dibangun pada abad ke-15. Namun, ada juga yang menyebut, Candi Brahu sudah ada sejak sebelum Majapahit. Konon di lokasi tersebut, digunakan sebagai tempat pembakaran jenazah raja-raja.

Rawat Candi Majapahit Butuh Nyali!


"Hari ini kami melakukan pembersihan Candi Brahu. Karena sebentar lagi musim penghujan, selain itu juga rumput liar dan lumut juga sudah banyak tumbuh di tubuh hingga puncak candi," kata Ghofur, disela mencabut rumput liar dibagian tubuh candi.

Satu persatu rumput liar yang tumbuh dibagian candi dicabutnya. Sementara, lumut hijau yang menempel di dinding candi, dikeriknya dengan sapu lidi. Tak ada yang terlewat. Bahkan hingga bagian puncak candi sekalipun. Meski hanya menggunakan seutas tampar, namun tak menciutkan nyali mereka untuk menyelesaikan pekerjaannya itu.

"Ada caranya sendiri memang, jadi tidak sembarangan. Yang kita bersihkan kali ini hanya rumput liar dan lumut hijau. Itupun hanya menggunakan tangan dan sapu lidi. Tidak diperbolehkan menggunakan alat lainnya, karena nanti bisa merusak situs itu sendiri," imbuh pria berusia 48 tahun ini.

Ada berbagai jenis lumut yang menempel pada dinding candi. Selain lumut hijau, ada juga lumut lichen. Khusus untuk lumut jenis lichen, dibutuhkan keahlian khusus. Selain itu, pembersihan lumut jenis ini juga menggunakan cairan tertentu. Biasanya dilakukan oleh tenaga khusus dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur di Trowulan.

"Biasanya menggunakan cairan kimia kalau (untuk pembersihan) yang jenis lichen ini. Kalau yang kita lakukan ini hanya untuk meminimalisir, agar tumbuhnya tidak terlalu cepat dan merata ke seluruh dinding candi ini," jelas Ghofur yang sudah 14 tahun menjadi jupel situs peninggalan Majapahit di Trowulan.

Rawat Candi Majapahit Butuh Nyali!


Tak hanya itu, kendati terlihat senderhana namun, cara pembersihan lumut dan tanaman liar di Candi Brahu ini tidak mudah. Para jupel ini memiliki teknik sendiri dalam mencabut rumput-rumput liar itu. Selain itu, dibutuhkan nyali yang begitu besar untuk naik ke puncak candi dengan ketinggian 25 meter itu.

"Iya memang, tidak semua berani naik. Tapi aturanya memang kalau ada yang naik, harus ada yang berada di bawah. Selain itu, sisinya tidak boleh sama. Jika yang di atas berada di sisi barat, petugas yang di bawah harus berada di sisi timur begitu juga sebalinya, karena ini untuk keselamatan bersama," paparnya.

Pembersihan Candi Brahu itu sendiri, kata Ghofur, dilakukan secara rutin. Dalam setahun, sedikitnya sebanyak 4-5 kali dilakukan. Kendati idealnya setiap bulan pembersihan harus dilakukan. Namun, minimnya sumber daya manusia membuat pembersihan itu dilakukan setiap 2 atau 3 bulan sekali. Bergantung dengan kondisi dan situasi.

"Apalagi kalau ada temuan baru, jadi kalau dihitung tiap bulan apa tidak tentu. Contoh, bulan ini jadwalnya membersihkan Candi Brahu, namun ada temua baru, akhirnya digeser bulan depan. Selain itu, situs di sini juga banyak, sehingga tenaganya kurang," tandas Ghofur.

Kendati harus bertaruh nyawa, namun Ghofur dan para jupel lainnya mengaku cukup senang dengan pekerjaannya itu. Sebab, dengan menjadi jupel, mereka bisa merawat harta kekayaan Bangsa Indonesia yang tak bisa dinilai dengan mata uang sekalipun.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.9871 seconds (0.1#10.140)