Air Mata di Ladang Tebu, Film Rekonsiliasi 65 Ala Kediri

Selasa, 12 November 2019 - 14:30 WIB
Air Mata di Ladang Tebu, Film Rekonsiliasi 65 Ala Kediri
Salah satu adegan dalam syuting film Air Mata di Ladang Tebu di Kediri. Foto/Ist.
A A A
Aspal? menjadi pertanyaan pertama yang terlontar saat tokoh Kirman dalam salah satu adegan film yang berjudul "Air Mata di Ladang Tebu" menjejakkan kakinya.

Apakah benar pada tahun 1979 jalanan di Kabupaten Kediri, sudah baraspal?

Fiksi sejarah berdurasi 44 menit besutan sutradara Dwidjo Utomo Maksum yang diluncurkan di IAIN Kediri itu memakai seting waktu Kediri, tahun 1979. Pilihan Kirman untuk pulang kampung (Kediri) menjadi plot awal cerita.

Kirman yang disosokkan lelaki brewokan, berbadan subur serta berwajah muram adalah eks tahanan politik (tapol) Pulau Buru, Maluku. Buru merupakan "Gulagnya" Indonesia, dimana juga pernah menjadi penjara politik sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer.

Memakai baju model safari dengan kaki terbungkus sepatu pantofel, Kirman menenteng sebuah kopor lawas yang entah apa isinya. Sebagai pembedah, Danu Sukendro, jurnalis televisi nasional melontarkan kritiknya.

Shot pendek (close up) pada aspal jalan yang diinjak sepatu pantofel butut Kirman, membuat Danu gatal bertanya. Sebagai pembedah, secara tidak langsung ia menunjukkan dirinya cukup jeli menyoroti hal tekhnis yang tidak bisa dipandang remeh.

Hal-hal kecil tak kontekstual yang di dalam lingkungan film maker kerap disebut sebagai kebocoran. "Apakah saat itu Kediri sudah beraspal?," tanyanya. Sama dengan jaringan listrik yang langka. Pada periode awal orde baru, yakni dimana masih banyak orang menyebut prahoto daripada truk, belum banyak jalan diaspal. Termasuk di wilayah Kediri.

Danu juga mempertanyakan apakah jenis aspal dalam adegan itu sudah sesuai dengan setting film. Termasuk suasana jalan tahun 1979 yang semestinya tidak seramai sekarang, kupingnya menangkap riuh kendaraan yang berlalu lalang.

"Memang tidak mudah mencari aspal lama," tutur Dwidjo yang kemudian membeberkan rahasia kecil dapur produksinya.

Air Mata di Ladang Tebu, Film Rekonsiliasi 65 Ala Kediri


Tidak hanya membongkar literatur jalan, terutama data di kawasan eks karsidenen Kediri. Untuk menemukan aspal yang diinginkan, awak film juga melakukan cek faktual, dimana mereka berhari-hari menyisir kawasan Kediri sebelah selatan, hingga masuk ke wilayah Kabupaten Blitar.

Di era 70an aspal hanya bisa ditemukan pada ruas jalan provinsi. Misalnya jalur utama Blitar-Kediri yang melintasi sisi utara wilayah Kabupaten Tulungagung. Selebihnya ruas jalan masih berupa tanah makadam.

"Pada akhirnya kita mendapatkan (aspal) di wilayah Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar," kata Dwidjo yang memastikan saat itu aspal sudah ada meskipun tidak seluruh jalan telah terlapisi.

Film Air Mata di Ladang Tebu tersaji dengan subtitle bahasa Inggris yang ini sekaligus menunjukkan karya sinematografi itu tidak hanya diperuntukkan bagi penonton Indonesia. Petikan gitar satu dua dan suara mesin ketik lawas yang bekerja tanpa memperlihatkan sosok manusia yang sedang mengetik, menjadikan prolog film sedikit mencekam.

Ruangan aula IAIN Kediri tempat peuncuran film yang semula riuh, mendadak senyap. Ratusan mahasiswa dan mahasiswi menyimak visual mesin ketik yang sedang menuliskan rangkaian kalimat data sepanjang tahun 1968, 1969, dan 1970, dimana sedikitnya 10 ribu tahanan politik dibuang ke Pulau Buru, Maluku.

Mereka adalah orang orang yang diduga terlibat peristiwa 1965. Selama kurang lebih 10 tahun mereka bertahan hidup sebagai narapidana. Dalam rentang waktu 1977, 1978, 1979 orang orang itu dipulangkan. Ada yang memilih terus menetap, ada juga yang meninggal.

Sebagian besar memilih pulang melanjutkan perjalanan hidup yang pernah dijalani di tanah kelahiran. Salah satunya Kirman, warga Kabupaten Kediri. Sayang, film yang sejak teasernya beredar langsung disambut luas itu tidak banyak mendedahkan alur riwayat Kirman.

Apakah ia dulu aktivis partai (PKI) atau hanya aktif di ounderbow partai, seperti BTI, Pemuda Rakyat, Lekra, SOBSI, CGMI, atau IPI, sebagai sutradara Dwidjo memiliki alasan sendiri untuk tidak mengungkapnya secara gamblang.

"Kalau digamblangkan khawatirnya malah akan menimbulkan luka lama," kata Dwidjo. Latar belakang Kirman dalam Air Mata Ladang Tebu tetap menjadi misteri. Satu satunya riwayat yang bisa ditangkap penonton hanya melalui dialog Warno dengan sesama buruh kasar penebang tebu.

Air Mata di Ladang Tebu, Film Rekonsiliasi 65 Ala Kediri


Warno, yang dalam film teman sekolah Kirman mengenang sohibnya (Kirman) sebagai murid yang cerdas, aktif, dan kritis. Cap cerdas secara implisit menguatkan premis bahwa mereka yang terlibat dalam PKI adalah golongan orang orang yang kritis dan cerdas.

Perihal kecerdasan ini, sastrawan Manikebu Iwan Simatupang dalam suratnya (1964-1966), mengakui fakta genialitas dan brilyansi itu muncul di kalangan PKI. Bahkan Iwan menulis kalimat bernada pujian seandainya Aidit dan Njoto bukan di PKI, melainkan di PNI atau NU, sejarah tanah air akan sangat berbeda.

Karenanya menjadi ganjil ketika gurat wajah Kirman yang baru bebas dari Buru tampak begitu hopeless. Saat melintasi jalan berdebu dengan sisi kanan kiri dikepung ladang tebu, tatapan mata Kirman terlihat depresif, yang itu kurang mencerminkan semangat para eks yang senantiasa menyala.

Perawakannya yang tambun dengan penampilan brewokan juga kurang pas mewakili para eks yang lebih banyak bergestur kurus serta bertampang klimis. "Soal penampilan itu (sosok Kirman) biar menjadi penafsiran penonton. Semua bebas menafsiran dan pesan utama film memang tidak kesana," kata Dwidjo yang juga mantan jurnalis Tempo.

Meski dalam judul menyelipkan frasa air mata, film yang digagas sejak awal tahun 2019 itu nyaris minim adegan kekerasan, baik fisik maupun verbal. Satu satunya kekerasan (verbal) yang tertangkap penonton adalah percakapan para penebang tebu yang menggunjingkan kepulangan Kirman.

Dengan keras Warno diperingatkan untuk tidak ikut ikutan urusan yang bisa menyeret nasibnya seperti Kirman. Ada intimidasi tersamar jika peringatan itu Jika dilanggar Warno bisa ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili seperti Kirman.

Namun konflik yang dibangun melalui percakapan sengit itu oleh Dwidjo langsung "dibunuh" dengan dialog "konsesi" sosial bagaimana masyarakat sebaiknya melupakan peristiwa kelam itu (1965). Bahwa "perang" sudah usai. Yang lalu biarlah berlalu.

Yang terpenting hari ini adalah bagaimana melanjutkan hidup lebih baik menjadi cermin rekonsiliasi kultural telah bekerja tanpa ada campur tangan kekuasaan terlalu dalam. "Faktanya, begitulah yang terjadi di masyarakat Kediri dalam menyikap peristiwa 1965," ungkap Dwidjo.

Adegan Kirman diantar Warno menemui Haji Dullah untuk melamar kerja sebagai buruh tebang tebu menjadi titik puncak bekerjanya rekonsiliasi kultural yang menjadi pesan utama film Air Mata di Ladang Tebu.

Haji Dullah yang diperankan dosen IAIN Kediri Taufik Al Amin mewakili kelompok agamis (nahdliyin) yang pada peristiwa 1965 berhadap hadapan langsung dengan PKI. Taufik yang juga Ketua Lesbumi NU Kediri melakonkan adegan dengan baik. Dalam dialog terucap eksplisit bahwa semua adalah korban.

Air Mata di Ladang Tebu, Film Rekonsiliasi 65 Ala Kediri


Terpetik kalimat verbal Haji Dullah (dalam dialog) bahwa dalam peristiwa itu (1965) masjid milik leluluhurnya juga ikut dirusak dan saat ini waktunya melupakan itu semua. Dengan tangan terbuka Haji Dullah menerima Kirman bekerja ditempatnya.

Kebaikan Haji Dullah yang merupakan tokoh agama dan masyarakat menjadi "yurisprudensi" atau suri tauladan warga masyarakat untuk ikut bersikap baik kepada Kirman. Pesan Haji Dullah bahwa hidup harus terus berjalan dan harus bermanfaat bagi sesama menjadi adegan yang melebihi adegan Gus Salim yang berbesar hati mengijinkan Sinem istrinya untuk menemui Kirman.

Sinem merupakan bekas tunangan Kirman yang karena Kirman ditangkap dan tidak ada kabar, Sinem kemudian memutuskan menerima lamaran Gus Salim. Pertemuan singkat dengan dialog yang banyak berisi saling meminta maaf itu berlangsung di ladang tebu.

Dengan cerdik Dwidjo memasukkan back sound lagu Caping Gunung saat para penebang tebu bekerja di panas siang bolong, yang itu membuat suasana lebih dramatik. Ia juga menyelipkan lagu lir ilir saat Kirman yang bersarung masuk ke mushola, menyentuh Al Quran yang lama tidak dipegangnya, dan mulai mengaji dengan ejaanyang kurang fasih, menjadi penutup yang sempurna.

Adegan mengaji ayat yang berkaitan dengan kekuatan dari maaf itu menjadi ejawantah yang apik dari "tagline" film "Maaf Adalah Kunci Kemanusiaan". Menurut Dwidjo, film yang melibatkan 11 pemain dengan Sinem sebagai satu satunya pemain perempuan, seluruhnya berasal dari orang orang yang tidak memiliki latar belakang film.

Mereka orang orang biasa di Kediri yang ingin terus berkarya untuk masyarakat di daerahnya atau secara umum untuk bangsa. Seperti pemeran Kirman, adalah pengepul barang rosok yang sebelumnya pedagang warung kopi yang bangkrut. Begitu juga Sinem, salah seorang pedamping program Prodamas Kota Kediri dan lain sebagainya.

Biaya produksi film yang telah ditonton ribuan orang di channel youtube dan rencananya akan diputar dari kampus ke kampus dan komunitas itu disokong secara gotong royong. "Kalau ditanya berapa nominalnya, maaf saya tidak bisa menyebutkan. Yang pasti seluruh biaya ditanggung gotong royong. Dan ini merupakan film milik semua," kata Dwidjo berdiplomatis.

Menurut Danu Sukendro tidak banyak film fiksi bertema peristiwa 1965 yang menampilkan adegan soft, sejuk dan jauh dari kekerasan. Alih-alih menjadi solusi, malah memanaskan suasana. Dan film Air Mata di Ladang Tebu merupakan salah satunya atau malah bisa jadi satu satunya yang menyejukkan.

Meski masih ditemukan kekurangan kecil di wilayah tekhnis pengambilan gambar, kata Danu secara umum yakni terutama menyangkut gagasan dan pesan, film karya Dwidjo Utomo Maksum itu, layak menjadi tontonan semua.

"Ini film layak tonton dan direkomendasikan. Untuk lebih lengkapnya silahkan klik di channel youtubenya saja," paparnya.

Film "Air Mata di Ladang Tebu":

(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.3525 seconds (0.1#10.140)