Siasat Gerilya Gas Bumi, Revolusi Bijak Melawan Binasa

Sabtu, 23 November 2019 - 17:20 WIB
Siasat Gerilya Gas Bumi, Revolusi Bijak Melawan Binasa
Rumah pencabutan bulu ayam dan bebek di Bratang Jaya, Kota Surabaya, tidak jadi gulung tikar setelah mereka memakai gas bumi sebagai siasat untuk melakukan penghematan. Foto/SINDOnews/Aan Haryono
A A A
Era industri 4.0 mengubah banyak lanskap perekonomian warga. Mereka mencoba berkolaborasi untuk terus bertahan dan menolak binasa dengan melakukan revolusi tata cara berdagang.

Pukul 02.30 WIB, jalanan di Bratang Jaya masih gelap ketika dua truk yang mengangkut ayam datang menyusuri gang sempit di pemukiman padat Kota Surabaya. Dua lampu sorot dinyalakan sebagai pertanda untuk segera masuk ke gudang, Waluyo (28), dan Siswanto (34) sudah bersiap dengan sepatu boots dan masker hijau yang melekat di hidung.

Keduanya langsung menurunkan 10 ribu ekor ayam ke penampungan kecil di ujung gudang. Dengan dua pembatas kayu yang melintang di tiap sisinya. Dua botol air mineral langsung diteguk untuk pelepas dahaga. Matanya masih lengket, sisa mimpi belum genap dihabiskan. Suara bel sudah berbunyi, ribuan ayam sudah harus masuk keranjang untuk segera dicabut bulunya dan dipotong sesuai ukuran pesanan.

Di ruangan sebelah, Takwen (54), sudah menyalakan dua tungku berukuran raksasa yang mampu menampung 15 ekor ayam. Lima liter air dimasukan untuk pemanas sebelum bulu-bulu ayam dicabut. "Pisahkan ayam yang besar, biar ukuranya sama," kata Tekwan.

Angin pagi itu berhembus kencang, merayap masuk ke permukaan kulit. Dari ujung pintu gerbang yang terbuka, angin yang bertiup menusuk dan membuat ngilu tulang. Tekwan mencoba mengambil jaket di gantungan pintu, menunggu air mendidih dan ayam pertama siap untuk dimasukan.

Lima sepeda motor yang dibelakangnya sudah disiapkan dua keranjang besar sudah menunggu di depan pintu. Dalam sejam ke depan, Tekwan harus bisa menyelesaikan 500 ekor ayam yang akan dikirim ke Pasar Wonokromo. "Ayam tak boleh telat, pedagang di pasar sudah menunggu," sambungnya.

Pergerakan tangan Tekwan masih lincah, satu persatu ayam dimasukan dalam mesin pencabut bulu yang di dalamnya sudah didesain dengan beberapa besi yang nantinya akan mencabut bulu-bulu ayam.

Nyala api yang konsisten dari gas bumi membantunya untuk mempercepat produksi. Ia membutuhkan waktu tak sampai lima menit untuk mencabut 15 ekor bulu ayam. Semua tungku pun tak berhenti berputar dan menghantarkan panas yang tepat untuk proses pencabutan bulu.

Di ujung lorong, Waluyo dan Siswanto sudah berdiri untuk memasukan ayam yang sudah selesai dicabut ke dalam keranjang. Kolaborasi itu membuat proses pemotongan dan pencabutan bulu ayam berhasil diselesaikan tak sampai 40 menit.

Dua sepeda motor sudah berangkat untuk mengantarkan ayam ke berbagai pasar tradisional di Kota Pahlawan. Saat sepeda yang ketiga dinyalakan, tiga unit Pickup berwarna hitam beriringan datang ke arah gudang. Di atas tiga kendaraan itu, sebanyak 5 ribu ekor bebek sudah membuat bising kampung yang hening.

Siti Khatimah (49), istri Tekwan keluar dengan mengenakan clemek biru dan sarung tangan kuning. Segera ia bergabung dengan suaminya untuk menyelesaikan pemotongan ayam dan bebek. Tungku ketiga dan keempat mulai dinyalakan untuk mempercepat produksi.

"Pesanan bebek dan ayam untuk resto ada 1.500 ekor," bisik Khatimah sambil memegang catatan yang ditulis di buku tebal yang sudah kusam.

Tekwan masih sibuk memutar mesin pencabut bulu ayam. "Tadi ada tambahan 250 ekor dari warung nasi di Jambagan," sahut Tekwan.

Jelang pukul 03.30 WIB ada 10 pegawainya yang sudah masuk ke dalam dapur tungku. Mereka mengambil ayam dan memisahkan jenis bebek untuk dimasukan dalam keranjang sebelum dikirim keluar.

Saat adzan subuh berkumandang, Tekwan sudah menyelesaikan 10 ribu ekor ayam dan 5 ribu bebek yang sudah dicabut bulunya. Mereka tinggal menyelesakan pesanan yang sudah dipotong dalam berbagai ukuran dan berat.

Tekwan mulai keluar dari dapur tungku, ia melepas clemek dan masker menuju kamar mandi. Ia bergegas membersikan diri dan Salah Subuh berjamaah bersama para pegawainya yang lain. Selesai Salat ia melanjutkan proses pencabutan bulu dan pemotongan ayam.

Tiap hari, rata-rata Tekwan harus menyelesaikan 10 ribu ekor ayam dan 5 ribu bebek untuk dicabut bulunya. Jumlah itu belum termasuk pesanan dadakan yang tiap harinya biasanya berkisar 5-7 ribu ekor.

"Tiap hari pendapatan bersih kini masih bisa meraup Rp10-15 juta tiap hari," katanya.

Jumlah itu, lanjutnya, masih jauh dari omzet yang diperolehnya ketika lima tahun yang lalu. Tiap hari, dirinya dulu paling sedikit menghasilkan pesanan 30 ribu ekor ayam. Bisnisnya mulai lesu ketika banyak pesaing yang menawarkan harga lebih murah.

Pendapatannya terus mengalami penurunan. Biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi pemotongan dan pencabutan bulu tak cukup bersaing. Dahulu, ia harus mengeluarkan kocek Rp2 juta untuk mendatangkan kayu bakar. Tumpukan kayu bakar itu dipakai untuk proses pemanasan tungku, ia mengandalkan katu bakar sisa bangunan yag ditebusnya Rp400 ribu tiap truk.

Bahkan, dua tahun lalu ia terancam gulung tikar. Jumlah karyawan dan biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi tak mencukupi untuk kelangsungan usahanya. Bapak dua anak itu pun merasakan keterpurukan dalam bisnis yang ditekuni sejak 1984 ini.

Namun, Tekwan menolak untuk binasa. Atau menyerah pada keadaan yang membuat usahanya gulung tikar. Ia tak ingin bisnis yang puluhan tahun digelutinya ini menjadi tergerus. Jurus baru pun dikeluarkan untuk bisa terus bertahan dan bersaing.

Langkah untuk menganti kayu menjadi gas bumi dalam proses produksinya merupakan awalan yang manis. Harapan itu pun kembali bergelora. Ia menemukan celah untuk terus bersaing dan mempertahankan laju bisnis pencabutan bulu ayam dan bebek ini.

Empat tungku yang dipakainya kini semuanya memakai gas bumi yang dialirkan oleh Perusahaan Gas Negara (PGN). Tiap hari ia bisa melakukan penghematan dalam biaya produksi yang harus dikeluarkannya. Tak tanggung-tanggung, biaya penghematan perhari itu bisa mencapai Rp2-3 juta.

Langkah berani yang dilakukannya mampu menyelamatkan nasib puluhan pekerjanya dari PHK. Ia tak lagi berpikiran untuk memutus hubungan kerja para karyawannya karena tingginya biaya produksi.

Keberhasilannya di sektor hulu pun mulai dilengkapi dengan mengembangkan bisnis di sektor hilir. Istrinya, Siti Khatimah mulai membuka rumah makan Sumberrejo yang menyajikan penyetan khas Surabaya.

Gayung pun bersambut, di rumah makan miliknya itu ia juga memakai gas bumi untuk proses pengorengan ayam, bebek, lele sampai ikan laut lainnya. Pundi-pundi rupiah pun berhasil dikumpulkan. Kini ia sudah memiliki 20 orang pegawai di rumah makan Sumberrejo yang buka mulai pukul 09.00 WIB dan tutup pukul 24.00 WIB.

"Tiap hari ada 100 ekor ayam dan 50 ekor bebek yang kami sajikan. Jumlah itu bisa bertambah kalau akhir pekan," kata Khatimah.

Siasat Gerilya Gas Bumi, Revolusi Bijak Melawan Binasa


Gerilya Produk Lokal di Tengah Derasnya Barang Impor

Ani Nurtiana (53), sore itu masih menunggu 100 sepatu lagi sebelum semua pesanan 500 pasang dikirim ke Pontianak. Mobil pickup sudah menunggu dan karton yang menjadi pembungkus disiapkan di tengah ruang produksinya.

Langit masih berwarna biru sepanjang hari ketika tiga oven sepatu masih menyala di tiap sudut halaman belakang rumahnya yang luas. Ruangan dari batu bata merah berukuran 8x10 meter itu seperti medan perang bagi warga di Sorodinawan untuk terus mengais rejeki.

Sholihin (46) dan Kusno (53) tetap cekatan untuk menyelesaikan pemasangan sol sepatu pantofel berwarna hitam. Dua oven dipakai untuk menempelkan lem dan sol sepatu ke kulit sapi yang sudah dirapikan sesuai ukuran. Untuk pemasangan sol sepatu itu, mereka berdua sudah memakai gas bumi yang dialirkan PGN ke sentra pembuatan industri sepatu rumahan di Kecamatan Prajurit Kulon.

Senja yang mulai datang dengan warna merah keemasan sudah mulai terlihat di halaman belakang rumah ketika Ani meminta pegawainya untuk menyelesaikan sisa pesanan. Ia tak mau terlambat dalam pengiriman yang akan dilakukan selepas Isya. Prinsip menjaga kualitas dan ketepatan dalam bisnis warisan keluarganya ini menjadi kunci penghasilannya tak redup.

"Sudah sejak empat tahun terakhir ini usaha sepatu dihantam banyaknya produk impor yang harganya jauh di bawah pasaran. Jumlah sepatu impor itu memukul produsen sepatu rumahan seperti kami," kata Ani.

Ani merupakan generasi kedua yang meneruskan bisnis keluarganya yang menekuni pembuatan sepatu, sandal, dan tas kulit sejak puluhan tahun silam. Warisan bisnis keluarganya ini tentu tak ingin terkubur dan gulung tikar karena kalah bersaing dengan produk impor.

Pada masa kejayaan sepatu handmade di tahun 2010, ia bisa memproduksi 5 ribu pasang sepatu. Bahkan jumlah itu bisa tiga kali lipat ketika ada pesanan dari pabrik maupun perusahaan. Perjalanan waktu membuat bisnis produksi sepatu rumahan di Sorodinawan terus tergerus dengan deras sepatu impor yang menyerang Indonesia dan mengepung pemasaran di berbagai kota.

"Sampai bertahun-tahun kami harus mengencangkan ikat pinggang, karyawan kami kurangi dan produksi menurun sampai 1.000 pasang sepatu tiap bulan," jelasnya.

Siasat pun terus dilakukan untuk bisa kembali memenangkan pasar. Ia tak ingin bisnis keluarga yang sudah dirintis kedua orang tuanya tergerus dan binasa. Apalagi beberapa tetangganya menumpukan harapan pada bisnis pembuatan sepatu dan sandal kulit.

Untuk mencegah keterpurukan, anak ketiga dari delapan bersaudara itu mulai melakukan penghematan produksi. Dirinya tak mau menurunkan kualitas sepatu dengan menganti bahan kulit sapi yang sudah menjadi andalannya serta teruji oleh perjalanan waktu.

Biaya produksi yang menguras banyak koceknya mulai dicarikan solusi. Salah satunya dengan memakai gas bumi yang dinilai lebih murah untuk menyalakan oven dan pemanas untuk produksi sepatu, sandal dan tas.

"Biaya listrik tiap bulan cukup tinggi untuk menyalakan oven, setidaknya bisa tembus Rp2 juta tiap bulan. Sementara untuk pemanas sol sepatu dulunya pakai gas 3 kg," ucapnya.

Sudah empat bulan ini Ani memakai gas bumi untuk produksi sepatu, sandal dan tas kulit. Penghematan pun bisa dilakukan untuk terus memangkas biaya produksi. Ia kini bisa mematok sepatu dengan harga yang bersaing di pasar. Tiap sepatu kulit yang diproduksinya berada di kisaran harga Rp100 ribu-500 ribu.

Ia pun tak lagi takut untuk berhadapan dengan produk impor. Kepalanya bisa tegap dengan keyakinan memenangkan pasar serta mampu membantu warga di sekitar rumahnya untuk menambah rezeki buat kelangsungan hidup keluarga mereka.

Pelebaran jaringan pemasarannya kini terus bertambah. Harga sepatu yang ditawarkan bisa bersaing serta mampu mempertahankan kualitas dengan baik. Laju pemasarannya pun bisa kerambah ke berbagai pulau yang ada di Indonesia. Termasuk juga ke berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Makassar, Pekanbaru, Riau sampai ke Sorong.

Pemasaran di era digital juga dimainkannya berkat campur tangan anaknya yang masih generasi milenial. Dengan menambah pelanggan yang membeli secara online, produk sepatu kulitnya bisa terbang tinggi sampai ke luar negeri. Konsistensi produksi serta kualitas yang terjaga menjadi andalannya untuk memenangkan pasar.

Langkah beraninya untuk tidak menutup industri sepatu rumahan dengan melakukan perubahan fundamental dalam mengepras biaya produksi menjadi kuncinya. Aliran gas bumi PGN menyelamatkan usaha warisan orang tuanya dari ancaman gulung tikar. Dirinya pun kini mampu berkompetisi dengan barang impor yang dulu menjadi ancaman bagi industri rumahan.

"Kami punya keyakinan untuk bisa terus tumbuh, cara kami memakai gas bumi menjadi jalan benderang untuk bisa terus eksis," jelasnya.

Siasat Gerilya Gas Bumi, Revolusi Bijak Melawan Binasa


Bertahan di Tengah Himpitan

Hidup di kota besar seperti Surabaya adalah impian banyak orang untuk bisa sukses. Meninggalkan kampung halaman yang jauh dengan jutaan harapan bisa pulang dalam merintis karir dan pundi-pundi rupiah dari hasil kerja keras yang tak memiliki tepi.

Istikomah (38) langsung mengangukan kepala ketika diajak suaminya hijrah dari Jember, untuk merantau ke Kota Pahlawan. Jutaan mimpi kesuksesan itu dipendarkan ke langit, memenuhi seluruh angkasa harapan dan berharap bisa bersandar di antara bintang-bintang.

Pasangan suami istri (pasutri) itu hanya bermodal satu koper baju dengan kocek Rp175 ribu ketika datang ke Surabaya di awal Januari 1999. Sebuah kamar kos di kawasan Rungkut Lor gang II disewa untuk tempatnya berteduh. Mereka ingin memulai sejarahnya dengan bertarung dalam kehidupan keras kehidupan di Surabaya.

Di pagi buta, saat embun mencoba merayap di daun pohon mangga gang sempit kota masih tertidur senyap. Lagu Cinta Apalah yang dinyanyikan Iis Dahlia mengalun merdu di pekat hari yang semakin sepi dari sebuah radio. Pada celah jendela kecil yang kusam, pisang tanduk tergantung gagah dan siap dipotong miring untuk isi nagasari.

Pintu kamar kos itu dibuka separuh untuk mengizinkan angin masuk ke kamar kos berukuran 3x5 meter itu. Cuaca Surabaya masih gahar dengan kelembaban yang tak terkira, meskipun di pagi buta.

Istikomah sudah menyalahkan kompor ketika jam di dinding masih menunjukan pukul 03.00 WIB. Oven untuk membuat kue dipanaskan sembari menyiapkan adonan yang menyita waktu cukup panjang.

Siswanto (45) sang suami, masih tertidur pulas bersama kedua anaknya Risky Wastiawan (15) dan Dimas Ardiansyah (9) di atas kasur tipis yang diberi selimut bermotif panda. Mereka berbagi kasur di ruangan sempit yang bersanding dengan wajan, panci dan tungku besar untuk menyalakan oven.

Tangan Istikomah sudah beradu dengan tepung dan serpihan gula pasir yang diletakan di meja kecil, dekat pendulum dan wajan besar di sampingnya. Ibu dua anak itu menyulap kamar kosnya menjadi dapur, berbagi kasur dengan tempat mereka tidur dan kamar mandi di ujung ruangan yang bersandingan dengan lemari plastik tiga susun tempat mereka menyimpan pakaian.

"Sudah selesai adonannya?" tanya Siswanto yang mulai duduk dan bersandar di tembok.

"Tinggal adonan kue lapis yang belum, kue wajik dan nagasari yang sudah bisa dimasukan daun," jawab Istikomah sembari mempercepat tangannya untuk menyelesaikan adonan.

Menjelang Subuh, Siswanto sudah membetulkan bantal dan kasur yang berada tepat di sebelah karung tepung. Matanya yang masih menempel di kerak mimpi tak mau diajak untuk kompromi. Segera ia membasuhnya dengan air dan menyiapkan daun pisang untuk alas kue yang siap dimasukan ke panci berukuran besar.

Sesekali matanya melirik dua anaknya yang masih tertidur pulas di tengah rangakaian bunga mimpi. Melihat mereka yang mulai tumbuh dewasa, matanya berbinar saat pikirannya melayang jauh untuk bisa membahagiakan kedua anaknya. Di pagi buta, mereka menanamkan keyakinan untuk bisa bahagia dengan kerja keras.

Penghasilannya sebagai tukang service AC memang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Biaya pendidikan anaknya yang sudah duduk di bangku SMP dan SD ini juga harus dipikirkan setiap bulan. Mereka tak mau menjadi orang kalah dalam kehidupan.

"Kami mencoba mencari tambahan penghasilan, dengan bangun lebih pagi dan kerja yang lebih keras," katanya.

Kemampuan istrinya dalam membuat kue basah menjadi senjata pamungkas dalam menyelamatkan kehidupan keluarganya. Dari adonan lembut tangan istrinya, pundi-pundi rupiah itu bisa diraih. Menyambung nafas kehidupan mereka yang menolak untuk menjadi binasa di kota besar.

Saat azan Subuh mulai berkumandang, Istikomah sudah mengeluarkan loyang terakhir untuk adonan kue wajik. Siswanto sudah berada di lantai untuk bersiap menerima kue yang sudah matang serta memasukannya ke dalam karton yang berisi 15 biji tiap kotaknya.

Bagi Siswanto, istrinya terkenal "gemi" atau pandai untuk menyisihkan uang dan ditabung. Termasuk keputusan Istikomah yang memilih memakai gas bumi untuk mengalir ke kamar kosnya.

"Sudah tiga bulan ini memakai gas bumi. Ada penghematan uang yang bisa disisihkan setidaknya Rp250 ribu tiap bulan," ucapnya.

Penghematan itu bagi keduanya sudah menjadi berkah yang bisa ditabung untuk biaya pendidikan dan kebutuhan hidup lainnya. Mereka yakin, dari petak kecil tempat tinggalnya, kerja keras dan pantang menyerah akan menjadi pembeda dalam masa depan keluarganya yang lebih baik.

Istikomah merupakan satu dari 66 kepala keluarga (KK) yang menekuni pastry di kampung kue Rungkut. Mereka menjadi pondasi keluarga untuk bisa menambah pundi-pundi rezeki.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menuturkan, salah satu cara mengurangi kemiskinan di kota besar dilakukan dengan membangkitkan ekonomi warga dari tiap sudut rumah. Makanya keterampilan kaum hawa yang berasal dari keluarga miskin bisa menjadi pemantik ekonomi. Mereka bisa membantu suaminya meningkatkan penghasilan.

"Awalnya sangat berat menjalankan program tersebut, karena banyak yang tidak setuju para ibu ikut bekerja," jelasnya.

"Saya ingat, saat itu sangat susah menggaet ibu-ibu. Kadang harus ikut agar mau berlatih, pertama saya frustasi juga kenapa begini," sambungnya.

Dari kegigihan para perempuan di tiap rumah-rumah itu, maka tercipta kampung-kampung penghasil rezeki. Salah satunya kampung lontong dan kampung kue yang sudah teraliri gas bumi ke tiap rumahnya.

"Jangan salah lho ya, kampung kue saja omzetnya Rp 3-4 miliar per hari. Ini jadi pasar kue Subuh adanya pukul 02.00-06.00 WIB pagi," kata Risma.

Risma sendiri ingin ada penambahan jaringan gas bumi di berbagai wilayah Surabaya. Tiap tahun, pihaknya selalu mengajukan penambahan jaringan gas bumi. Termasuk aliran ke kampung-kampung produktif di Surabaya yang selama ini banyak industri rumahannya. "Kampung kue dan kampung lontong sudah terbukti berhasil," jelasnya.

PGN Sales Area Head Surabaya Misbachul Munir mengatakan, jaringan gas (jargas) bumi yang masif kini memudahkan banyak kelompok masyarakat untuk lebih berdaya. Bahkan, untuk pelanggan Pelanggan Kecil Komersial (PK) dari jaringan Jargas terus mengalami peningkatan tiap tahunnya.

Khusus pelanggan PK, sejak 2018 lalu yang awalnya hanya 3 pelanggan saja. Baru pada tahun ini di Surabaya sudah terpasang 16 pelanggan menyusul. Sehingga ada 20 pelanggan yang memiliki potensi pengembangan usaha.

"Salah satu pelanggan tersebut yang terbilang cukup besar antara lain usaha potong ayam dan bebek Bratang, laundry di Gubeng Kertajaya dan Medokan, serta restoran Soto Ayam di Rungkut," jelasnya.

Sampai saat ini, katanya, pelanggan jargas di Kota Surabaya mencapai 42.026 rumah tangga. Rintisan aliran gas bumi di Kota Pahlawan dimulai sejak Sejak 2008 dengan 2.693 sambungan rumah tangga. Dilanjutkan pada 2015 dengan 2.693 rumah tangga.

Pada 2016 juga ditambah lagi lebih banak yakni 22.754 rumah tangga. Sementara untuk jumlah pelanggan non jargas sebanyak 41.665 rumah tangga. "Total untuk pelanggan di sektor industri kecil mencapai 128 pelanggan. Sementara untuk Komersial dan Industri (KI) sudah ada 233 pelanggan," ucapnya.

Plt Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto menuturkan, masuknya gas bumi ke rumah-rumah warga bisa memberikan dampak yang cukup besar bagi ekonomi keluarga.

Bagi masyarakat, penghematan di dapur serta keperluan untuk pelaku usaha kecil di rumah-rumah sangat berarti. Mereka bisa menabung serta memperlancar usahanya dari penghematan bahan baku produksi usaha kecilnya.

Langkah kolaboratif yang dilakukan berbagai pihak di era industri 4.0 memunculkan optimisme untuk bisa bangkit di sektor perekonomian. Pemantik ekonomi dari berbagai sudut kampung kini menjadi "piranha" yang bisa memajukan ekonomi kecil dan berdaya saing tinggi.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.9143 seconds (0.1#10.140)