Sidang Penipuan Rp30 M, Lagi-lagi Saksi Sudutkan Hiu Kok Ming

Rabu, 04 Desember 2019 - 21:35 WIB
Sidang Penipuan Rp30 M, Lagi-lagi Saksi Sudutkan Hiu Kok Ming
Saksi The Dody Widodo memberikan keterangan dalam sidang di PN Surabaya. Foto/SINDOnews/Lukman Hakim
A A A
SURABAYA - Sidang kasus penipuan jual beli tanah seluas lima hektar di Bekasi, dengan terdakwa Hiu Kok Ming (58), kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Sidang masih beragendakan pemeriksaan saksi, Rabu (4/12/2019). Kali ini empat saksi yang dihadirkan adalah Njio Tjat Tjin (Iskandar), Kristono (notaris), The Dody Widodo, dan Lutfita Sari.

Menurut keterangan para saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rakhmad Hari Basuki, kompak menyebut bahwa terdakwa mengatakan bahwa, sebelum hingga terjadinya penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), terdakwa mengaku tanah yang berada di Kalimalang Bekasi tersebut adalah miliknya.

"Pada tahun 2011, saya diundang sama terdakwa untuk menghadiri peresmian hotel 81 di Kalimalang. Lalu saya diantar oleh terdakwa ke suatu lokasi dan menyuruh menawarkan tanah miliknya. Waktu saya tanya surat suratnya dia bilang clear dan clean, tidak sengketa atau dijaminkan ke bank," terang Njio Tjat Tjin alias Iskandar saat memberikan keterangan di ruang Garuda.

Dia menambahkan, dia kemudian meminta bantuan kepada The Dody Widodo untuk menawarkan tanah milik terdakwa Terkait kelengkapan surat suratnya, Iskandar menyarankan agar menanyakan langsung ke pemilik tanahnya.

"Pada waktu ketemu, pak Dody bilang ke saya ada pembeli, tetapi dari Surabaya. Kemudian sekitar bulan September 2012 pk Widjijono datang bersama timnya untuk survey lokasi. Setelah dicek dan tertarik, pak Widji diajak menemui terdakwa dikantornya," imbuhnya.

Lebih lanjut Iskandar mengatakan bahwa Sari Astuti, istri terdakwa sempat ditelepon dan datang ke kantor terdakwa. Bahkan, Sari juga ikut meyakinkan kepada Widjijono (saksi pelapor) bila membeli tanah suaminya, akan mendapat untung besar karena tanah tersebut bagus. "Kata istrinya jika membeli tanah itu pasti untung soalnya tanahnya bagus,"kata Iskandar menirukan ucapan istri terdakwa saat itu.

Setelah merasa yakin, di kantor terdakwa itulah terjadi kesepakatan harga senilai Rp75 miliar antara Widjijono dan terdawak atas tanah tersebut. Dan terdakwa disebut meminta tanda jadi sebesar Rp1 miliar. "Waktu ditanya sama pak Widjijono, terdakwa bilang kalau surat suratnya sudah ada di notaris Prayitno,"ucapnya.

Iskandar juga menceritakan bahwa saat penanda tanganan PPJB di kantor notaris Prayitno, Widjijono sempat keluar ruangan dan mengeluhkan bahwa jual beli tersebut bakal batal. Tak lama kemudian terdakwa menyusul Widjijono dan berupaya membujuk Widji, kemudian mereka masuk ke dalam ruangan kembali.

"Waktu selesai penandatanganan PPJB, saya sempat bertanya kepada pak Widji, kenapa kok tadi bilang batal batal, terus kok akhirnya jadi. Lalu pak Widji bilang kalau terdakwa kasih jaminan sertifikat tanah 5 buah," beber Iskandar. Namun berdasarkan persidangan sebelumnya, terungkap keterangan bahwa sertifikat tersebut berhasil ditarik kembali oleh terdakwa.

Penasihat hukum terdakwa, Sudiman Sidabuke, sempat melakukan perlawanan atas keterang Iskandar, dengan mengkaitkan perkara tindak pidana penggelapan yang dilaporkan terdakwa pada Iskandar dengan tuduhan Iskandar telah menggelapkan dana senilai Rp502 juta milik terdakwa. Dana itu untuk biaya pengurusan sertifikat.

"Ah, itukan modus dia supaya tidak bayar komisi saya. Memang saya terima uang itu, tapi kan saya buat untuk biaya operasional menawarkan tanah dia selama setahun. Dan perkara itu saat ini saya sedang mengajukan PK (peninjauan kembali)," katanya.

"Untuk pengurusan sertifikat tidak sama sekali, saya cuma di kasih surat tugas untuk mengecek pengajuan sertifikat. Sedangkan bila saya yang melakukan pengurusan, kan harus ada surat kuasa, coba buktikan ada ga surat kuasanya," imbuh Iskandar kepada penasehat hukum terdakwa.

Saksi lain, The Dody Widodo juga menyebutkan bahwa terdakwa mengaku tanah di Kalimalang tersebut miliknya. Terkait asal usul tanah tersebut, Dody tidak tahu menahu. "Kalau tahu tanah itu belum milik terdakwa, saya tidak bakalan mau mempertemukan pak Widjijono dengan terdakwa," katanya.

Sementara itu, Kristono, notaris yang membuat akta pelepasan hak dari PT Adi Reality kepada terdakwa mengaku awalnya menolak keinginan terdakwa yang diwakilkan kepada staffnya Jeffry.

"September 2011, staf terdakwa, Jeffry datang ke saya. Pertama saya tolak. Yang kedua datang lagi tapi tidak ketemu, terus minta ke staf saya di bantu buatkan konsep pelepasan hak. Ini setelah mendapatkan surat dari Kementerian BUMN yang mengatakan tidak diperlukan ijin dari kementerian BUMN untuk pelepasan hak tanah tersebut," kata Kristono.

Kristono mengaku, pada 14 Desember 2012 terjadilah penandatanganan pelepasan. Terkait pada bulan November 2012, satu bulan sebelumnya ternyata terjadi peralihan hak atau sudah dijual oleh terdakwa tanah tersebut, Kristono mengaku tidak tahu.

Sedangkan saksi Lutfita Sari, saat mendapat giliran diperiksa mengatakan saat terjadinya jual beli tanah di Bekasi itu, dirinya sudah bekerja di PT Mutiara Langgeng Bersama (MLB). Bahkan dirinya mengaku yang memberikan Bilyet Giro (BG) senilai Rp20 miliar kepada terdakwa dikantornya. "Waktu itu saya yang kasihkan sendiri BG sejumlah Rp20 miliar," terang saksi.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.2576 seconds (0.1#10.140)