Ini Kata Psikolog soal Permusuhan Bobotoh-Jakmania Belum Berakhir

Selasa, 25 September 2018 - 08:52 WIB
Ini Kata Psikolog soal Permusuhan Bobotoh-Jakmania Belum Berakhir
Psikolog dari Universitas Kristen Maranatha Bandung Efnie Indrianie. Foto/Ist
A A A
BANDUNG - Perseteruan kelompok suporter bobotoh Persib Bandung dan The Jakmania, Persija Jakarta, seolah sulit berakhir. Padahal permusuhan itu telah berlangsung puluhan tahun dan banyak korban berjatuhan. Terakhir, nyawa Haringga Sirila (23), supoter Jakmania, tewas akibat dikeroyok sejumlah oknum bobotoh di Stadio Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) Gedebage, Kota Bandung.

Apa penyebab permusuhan kedua kelompok suporter itu seperti tak pernah berakhir. Berikut penjelasan Psikolog dari Universitas Kristen Maranatha Bandung Efnie Indrianie.

Efnie mengatakan, melihat fenomena permusuhan bobotoh dan Jakmania, dalam ilmu psikologi massa, ada yang namanya kohesifitas kelompok. Artinya, ada ikatan antaranggota sangat erat dan itu menjadi suatu attachment atau perlekatan yang sulit dipisahkan.

"Kalau sudah ada kohesifitas, seharusnya menjadi kinerja kelompok yang baik ya. Itukan idealnya," kata Efnie kepada SINDOnews, Selasa (25/9/2018).

Baik di dalam organisasi formal maupun informal, ujar dia, sering kali ada yang disebut dengan share value. Artinya, ada nilai-nilai yang diturunkan oleh tokoh-tokoh kunci kepada anggota lain dalam organisasi baik formal maupun informal.

Dalam share value ini terjadilah apa yang disebut dengan proses enkulturasi (budaya yang diwariskan secara turun temurun) dan sosialisasi. Artinya, ada penanaman nilai-nilai (dalam hal ini nilai yang keliru) secara turun temurun dan itu akhirnya menjadi satu mindset yang diyakini oleh anggota.

“Dulu saat Ridwan Kamil masih Wali Kota Bandung, katanya sempat ada upaya perdamaian. Tapi kayaknya enggak deh. Karena apa? Karena untuk mengubah mindset orang, apalagi kelompok, gak bisa cuman oh ya udah grup A, grup B sok we (silakan saja) kita jadi penengah, didamaikan. Tidak bisa begitu,” tutur Efnie.

Sebab, jika mindset sudah sampai tataran believe atau keyakinan, sesuatu yang diyakini, itu sudah melibatkan unsur affection, emosi atau perasaan. Untuk mengubahnya, butuh waktu tahunan. Step awalnya, lakukan pemetaan tokoh-tokoh kunci yang jadi panutan dalam organisasi atau kelompok itu.

“Tokoh-tokoh kunci ini dulu yang harus dibereskan. Setelah itu baru mereka menjadi role model atau social learning, pembelajaran sosial bagi anggota-anggota yang lain. Karena gak bisa sekadar mengajak, sok, sok solat barengan, damai. Gak bisa atuh,” tutur Efnie.

Karena telah terjadi enkulturasi dan sosialisasi yang ditanamkan secara terus menerus, kadang-kadang yang belakangan (anggota baru dan masih muda), mereka mewarisi perilaku-perilaku keliru yang mereka sendiri tidak paham apa yang mereka lakukan.

“Tetapi karena ada kohesifitas atau ikatan yang kuat antar anggota kelompok, ya udah ikutan aja. Kisah bobotoh Persib dengan The Jak Mania, suporter Persija Jakarta, itu kisah klasik dari dulu sampai sekarang,” ungkap dia.

Disinggung tentang peran media social dalam memperparah konflik kedua kelompok, Efnie menilai, jika berbicara tentang agresivitas, media sosial memang punya pengaruh. Namun, persentasenya kecil, dibanding faktor kohesifitas, enkulturasi, dan mindset yang keliru tadi.

“Dulu tawuran sering terjadi. Padahal dulu belum ada media sosial. Jadi agresivitas kelompok itu bukan karena faktor media sosial atau media-media lain. Media social hanya pemicu sesaat. Tetapi faktor utamanya adalah, ada nilai-nilai keliru yang diwarisi, tertanam dan menjadi mindset yang melekat secara kognitif dan afektif, maka melahirkan perilaku agresif. Itu yang harus dibereskan,” pungkas Efnie.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.5231 seconds (0.1#10.140)