Dana Desa Rp72 Triliun Butuh Pengawasan Ketat, Ini Alasannya

Sabtu, 14 Desember 2019 - 06:52 WIB
Dana Desa Rp72 Triliun Butuh Pengawasan Ketat, Ini Alasannya
DANA desa diharapkan berdampak signifikan dalam percepatan pengembangan ekonomi, menggerakkan industri di perdesaan yang pada akhirnya bisa menekan angka kemiskinan. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - DANA desa diharapkan berdampak signifikan dalam percepatan pengembangan ekonomi. Di smaping itu juga bisa menggerakkan industri di perdesaan yang pada akhirnya bisa menekan angka kemiskinan.

Karena itu, dana desa diarahkan pada program padat karya yang produktif untuk membuka kesempatan kerja bagi rakyat yang menganggur di desa.Demikian penggalan arahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas dengan sejumlah anggota Kabinet Indonesia Maju yang membahas Program Dana Desa 2020 awal pekan ini.

Begitu pentingnya dana desa di mata orang nomor satu di negeri ini sehingga meminta segera dimanfaatkan pada awal tahun depan. Tidak ada alasan untuk menunda pencairan dana desa dan meminta penyalurannya betul-betul efektif.

Dalam lima tahun terakhir, total dana desa yang sudah dialokasikan menembus Rp329,8 triliun. Untuk tahun depan dianggarkan Rp72 triliun atau meningkat Rp2 triliun dari tahun ini sebesar Rp70 triliun. Untuk memberi kesempatan kerja yang lebih luas, pemerintah mengarahkan dana desa untuk sektor produktif.

Adapun kegiatan sektor produktif yang disasar meliputi pengolahan pascapanen, pembiayaan industri kecil, budi daya perikanan, hingga pengembangan desa wisata. Anggaran dana desa yang terus meningkat dari tahun ke tahun bukanlah angka yang kecil.

Sehubungan itu, mantan gubernur DKI Jakarta tersebut mengingatkan agar penggunaan dana desa didampingi manajemen lapangan sehingga tata kelola semakin transparan dan disertai pengawasan yang serius.

Program dana desa yang menjadi salah satu program andalan di era pemerintahan Presiden Jokowi sempat mendapat sorotan tajam, karena munculnya desa fiktif yang ditengarai ikut menikmati dana desa yang nilainya hampir Rp1 miliar per desa per tahun.

Pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai adanya desa fiktif telah menodai program dana desa yang bertujuan mulia membangun pedesaan sebagai bagian dari program menekan angka kemiskinan di negeri ini. Namun belakangan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) membantah adanya desa fiktif yang memanfaatkan momentum pencairan dana desa dari pemerintah pusat.

Suara senada juga dilontarkan pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bahwa tidak ada desa fiktif, yang benar adalah desa yang belum tertib administrasi. Dicontohkan, desa tidak tertib administrasi seperti jumlah penduduk yang kurang hingga menyangkut luas wilayah.

Meski demikian, pihak Kemenkeu tidak puas dengan klaim Kemendes PDTT dan Kemendagri. Kedua kementerian yang terkait langsung dengan urusan desa, tetap diharapkan memberi laporan lengkap sebagai evaluasi atas munculnya isu desa fiktif.

Sampai saat ini, Kemenkeu belum bisa menyebut berapa kerugian negara akibat penyaluran dana desa yang tidak tepat sasaran. Desa fiktif diduga sebagai desa tak resmi yang sengaja dihadirkan untuk mendapatkan dana desa. Untuk tahun ini, jumlah desa di Indonesia sebanyak 74.954 desa atau bertambah 44 desa dari sebelumnya sebanyak 74.910 desa pada tahun lalu.

Terlepas dari persoalan desa fiktif yang masih menjadi perdebatan serius, tak ada salahnya menengok sajian data Indonesia Corruption Watch (ICW) seputar kasus korupsi dana desa sepanjang 2015 hingga 2018.

Data ICW menunjukkan terdapat 252 kasus korupsi. Rinciannya, pada 2015 terdapat 22 kasus, lalu meningkat menjadi 48 kasus pada 2016, dan menggelembung menembus 98 kasus pada 2017 lalu, namun tahun lalu turun tipis menjadi 96 kasus.

Lembaga penggiat antikorupsi tersebut menemukan sejumlah modus penyelewengan, di antaranya penyalahgunaan anggaran, laporan fiktif, penggelapan, penggelembungan anggaran, hingga suap. Adapun kepala desa yang terjerat kasus korupsi mencapai sebanyak 214 orang, meliputi sebanyak 15 kepala desa pada 2015, lalu 61 kepala desa pada 2016, 66 kepala desa pada 2017, dan 89 kepala desa pada 2018. Total kerugian negara mencapai Rp107,7 miliar.

Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menampilkan sejumlah persoalan mengenai dana desa. Merujuk hasil audit BPK menyangkut Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester Kedua 2018, lembaga negara itu mengungkapkan bahwa penyaluran dana desa tidak berdasarkan data yang mutakhir.

Tiga persoalan serius yang mewarnai program dana desa harus dituntaskan. Desa fiktif wajib penjelasan resmi dari pemerintah jangan hanya sebatas polemik yang melibatkan tiga kementerian. Pencegahan kasus korupsi dengan meningkatkan pengawasan melekat.

Dan, temuan BPK juga perlu ditindaklanjuti agar dana besar yang disalurkan ke desa tidak sia-sia. Jangan sampai niat baik dengan program bagus dari pemerintah pusat dibajak oleh sejumlah oknum yang hanya mementingkan diri sendiri.
(msd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.2251 seconds (0.1#10.140)