NIAS dan STOVIT, Markas Dokter Meramu Perlawanan Pada Kolonial

Minggu, 15 Desember 2019 - 05:00 WIB
NIAS dan STOVIT, Markas Dokter Meramu Perlawanan Pada Kolonial
Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS) yang kini menjadi gedunng FK Unair menjadi saksi perlawanan para dokter di era penjajahan.Foto/SINDONews/Aan haryono
A A A
SEJARAH Surabaya terbentuk dari patahan perlawanan yang membara di berbagai sektor. Kekuatan semangat arek-arek Suroboyo itu menyebar luas ke berbagai kelompok, termasuk mereka yang menekuni bidang kedokteran juga ikut memberikan sumbangsih pemikiran dan api perjuangan.

Dr Soetomo dan Prof Moestopo menjadi bagian kecil dari sekumpulan dokter yang ikut dalam perjuangan melawan penjajah. Meracik strategi dan menyatukan perlawanan dari berbagai kelompok.

Di balik seragam putih mereka, nasionalisme tetap tumbuh di kerak sekolah, Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS) yang sekarang menjadi Fakultas Kesehatan Universitas Airlangga (Unair). Serta ada juga School Tot Opleiding van Indische Tandartsen (STOVIT) yang sekarang adalah FKG, tepat di samping NIAS.

NIAS dibangun pada 1921-1922 oleh Wiemans, arsitek ulung dari Burgerlijke Openhari Werken (BOW). Keberadaan BOW sama persis seperti Dinas Pembangunan Umum Pemerintah Kolonial Belanda yang mengelola masalah pembangunan gedung-gedung negara. Kekuasaan lembaga ini membawa pengaruh yang sangat besar sekali terhadap bentuk dan arsitektur bangunan negara kolonial di Indonesia.

Seni bangunan negara yang dihasilkan setelah 1900 mempunyai kualitas yang memenuhi standar praktis dan asitektonis. Beberapa bangunan BOW yang mempunyai kualitas yang sama dengan bentuk dan arsitektur gedung NIAS antara lain gedung HABS (SMA kompleks di Jalan Wijaya Kusuma), gedung STM I (Jalan Patua), Kantor Pos Besar (Jalan Kebon Rojo), dan Kantor Gubernur (Jalan Pahlawan).

Secara geografis, bangunan NIAS dan STOVIA berada di Kelurahan Karangmenajangan, Kecamatan Gubeng. Gedung ini menghadap ke Selatan. Di sebelah Utara berbatasan dengan kampung Kedungsroko, di sebelah Selatan berhadapan dengan Rumah Sakit Dr. Soetomo, di sebelah Timur.

Bangunan ini bergaya arsitektur Indish, dengan ciri bangunan simetri. Pintu utama melengkung setengah lingkaran. Bentuk atapnya mengadopsi gaya Eropa, tetapi tetap berpijak sebagai bangunan tropis-basah dengan atap yang tinggi dan bukaan untuk sirkulasi yang lebar.

Ventilasi terbuat dari jendela besar dan bentuk lubang-lubang kecil persegi empat di atas jendela. Ciri lain bangunan tropis-basah di zaman kolonial adalah adanya selasar teras yang panjang, yang berfungsi sebagai filter sinar matahari langsung dan tempias air hujan. Sirkulasi udara mengalir dengan nyaman.

Bentuk bangunan menggambarkan bentuk semetri untuk menambah kesan monumental. Gaya arsitektur kolonial Indisch sangat melekat pada bangunan ini. Hal ini dapat dilihat dari bentuk pintu utama setengah lingkaran atau lengkung pada bagian atas. Ciri lain adalah bentuk atap gedung moft sebagai ciri atap bangunan Eropa dengan langit-langit tinggi.

Ventilasi yang dibuat dalam bentuk jendela-jendela besar dan bentuk lubang-lubang kecil persegi empat di atas jendela dimaksudkan untuk membuat rotasi udara yang baik. Orientasi terhadap sinar matahari dan tepisan hujan menjadi perhatian utama dalam struktur bangunan Belanda.

Sejarawan Surabaya RN Bayu Aji menuturkan, sejarah panjang perjalanan kedokteran di Surabaya tidak bisa dipisahkan dari NIAS dan STOVIT . Dalam masa Kolonial, NIAS dan STOVIT didirikannya untuk mendidik dokter-dokter yang dapat langsung bekerja melayani kesehatan masyarakat. “Calon-calon dokter ini berasal dari kalangan Bumiputera,” kata Rojil, panggilan akrabnya, Sabtu (7/12/2019).

Ia melanjutkan, pada zaman itu, masalah kesehatan menjadi hal penting untuk ditangani. Sehingga tidak mungkin pemerintah kolonial mendatangkan semua tenaga kesehatan dari Negeri Kincir Angin.

“Cara yang lebih tepat untuk mengatasi hal itu adalah dengan mendirikan sekolah kedokteran dan orang-orang Bumiputera mendapatkan kesempatan untuk hal itu,” ucapnya.

Ia melanjutkan, NIAS atau FK bagi Unair menjadi penting karena fakultas awal sebagai dasar pendirian Unair tahun 1954 bersama FH yang masih merupakan cabang UGM, FKG yang masih cabang UI, dan Sastra cabang Udayana yang akhirnya nanti berdiri sendiri.

“Banyak tokoh-tokoh perjuangan bangsa Indonesia yang memiliki hubungan erat dengan FK, salah satunya tentu saja Moestopo dan Soetomo,” ungkapnya.

Para dokter itu, katanya, tidak hanya menjalani profesi di bidang kesehatan saja. Tapi mereka juga turut memberikan pemikiran dalam pergerakan nasional. Termasuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan semua itu merupakan pengabdian luar biasa dalam membagi perannya.

Hal itu bisa diteladani oleh dokter dan juga calon dokter untuk senantiasa memberikan sumbangsih kepada bangsa dan negaranya melalui profesinya di tengah kuatnya kapitalisme dunia kesehatan dan kedokteran.

“Justru meskipun belajar ilmu kedokteran ke guru Belanda, tetapi mereka juga memikirkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan tidak tunduk pada kolonial,” tegasnya.

Ia melanjutkan, luas bangunan ini adalah 6,684 meterpersegi, terbuat dari bahan bangunan yang ada di daerah setempat dengan menyesuaikan kondisi iklim tropis, misalnya terdiri dari batu andesit sebagai bahan fondasi, batu bata sebagai bahan dinding/tembok, tegel hitam sebagai lantai dengan ukuran 20 x 20 centimeter, semen, kapur dan pasir, besi serta kayu.

Sementara untuk relief dinding tidak terdapat pada bangunan ini, hanya hiasan lampu besar yang terletak di ruang tengah yang dipergunakan sebagai tempat pertemuan. Pada ruang-ruang kecil tempat perkualiahan lantainya dibuat bertingkat dengan posisi terendah ada di depan dan tertinggi pada barisan belakang.

Gedung ini pada masa NIAS belum mempergunakan lambang Cap Garuda Muka dengan maksud melukiskan Burung Garuda Wahana Wisnu memegang sebuah guci berisi air “Amrtha” yang dapat menghidupkan kembali apa yang telah mati. Artinya ada kehidupan abadi jika mahasiswa mendapatkan ilmu pengetahuan dari sumber keabadian tersebut.

Sebelum menempati gedung NIAS, pembelajaran rakyat dilakukan di dua tempat yakni di Rumah Sakit Simpang (sekarang Plaza Surabaya) dan di Rumah Sakit Karangmenjangan (Rumah Sakit dr. Soetomo). Rumah Sakit Karangmenjangan selain menjadi tempat kuliah juga menjadi laboratorium kedokteran.

Untuk mempermudah para mahasiswa mengikuti perkuliahan dan mendekatkan tempat kuliah dan laboratorium, maka dibangunlah gedung NIAS di wilayah Karangmenjangan ini.

Penyelenggaraan pendidikan di NIAS juga bertujuan mencetak dokter-dokter inlander serta sebagai kelanjutan dari pendidikan Dokter Jawa. Keinginan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang lebih tinggi bagi penduduk bumiputra sering terhambat, karena stratifikasi yang dibuat oleh pemerintah kolonial.

Berdirinya NIAS memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia untuk memperoleh pendidikan dokter. Pemerintah kolonial hanya mengizinkan dua tempat pendidikan dokter di Indonesia yaitu di Jakarta dan Surabaya. NIAS merupakan lembaga tambahan untuk penduduk bumiputra memperoleh pendidikan dokter selain di Jakarta.

Fungsi bangunan gedung NIAS secara umum sebagai tempat proses belajar mengajar bagi mahasiswa yang bercita-cita menjadi dokter. Setelah menjadi milik Unair, fungsi gedung tidak mengalami perubahan. Bagian gedung yang memiliki ruang yang luas difungsikan untuk aula pertemuan dan ruang kuliah. Fungsi ruang-ruang kecil lebih difokuskan untuk memberikan tempat pada masing-masing bagian, antara lain bagian mikrobiologi, histologi, patologi dan anatomi.
(msd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.6445 seconds (0.1#10.140)