Mas Yudi Adalah Kakiku, dan Mas Agung Adalah Mataku

Minggu, 22 Desember 2019 - 08:48 WIB
Mas Yudi Adalah Kakiku, dan Mas Agung Adalah Mataku
Sugeng Wahyudi (32), dan Agung Widiantoko (29) selalu bersama untuk berjualan kerupuk untuk nafkah sehari-hari, dan bergantian mengantar ke tempat ibadah. Foto/SINDOnews/Yuswantoro
A A A
"Mas Yudi itu sudah menjadi kaki saya, kemanapun saya pergi selalu bersamanya,". "Mas Agung adalah mata saya, dia menunjukkan jalan bagi langkah kami berdua,".

Dalam berjalan mencari nafkah. Menyusuri kerasnya jalanan, untuk menjual kerupuk, dan mencari nafkah untuk menyambung hidup. Sugeng Wahyudi (32), dan Agung Widiantoko (29) selalu bersama.

Menggunakan sepeda roda tiga yang telah dimodifikasi, keduanya selalu setia menyusuri jalanan yang tidak ramah lagi bagi keduanya. Debu, terik mentari, dan bising suara klakson, serta mesin-mesin selalu menjadi pengiring setiap tangkah mereka.

Sugeng Wahyudi, yang akrab disapa Yudi, adalah penganut Katolik yang taat. Almarhum bapaknya asli Papua, sementara ibunya orang Blitar. Dia dibesarkan di lereng selatan Gunung Kawi, tepatnya di Desa Nyawangan, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar.

Sejak lahir, Yudi mengalami keterbatasan penglihatan. Dia buta. Saat masih kecil, dia dibawa ke Yayasan Bhakti Luhur Malang, untuk menempuh pendidikan di sekolah luar biasa (SLB), dan hidup di asrama.

Sementara Agung pemeluk Islam yang taat, berasal dari Yogyakarta. Dia penyandang tuna daksa. Kakinya memiliki keterbatasan, sehingga menyulitkannya untuk bergerak. Kemana-mana, Agung selalu berada di atas sepeda roda tiga.

Agung berada di depan sebagai pengendali setir sepeda roda tiganya. Dia juga menjadi pemandu arah kemana mereka harus berjalan. Sementara Yudi yang memiliki penglihatan terbatas, namun fisik kaki dan tangannya normal, berjalan di belakang mendorong sepeda.

Yudi menjadi "kaki" penggerak sepeda roda tiga, untuk bisa terus melaju menyusuri jalanan. Sementara Agung, menjadi "mata" yang menentukan arah kemana keduanya harus berjalan berjualan kerupuk.

Bukan hanya berjalan di sekitaran rumah singgah "Komunitas Rumah Sahabat" saja. Keduanya sudah bergerak kemana-mana. Bahkan, kemarin keduanya baru saja sampai di rumah singgah "Komunitas Rumah Sahabat" di Jalan Bandulan, Kelurahan Bandulan, Kecamatan Sukun, Kota Malang.

Empat hari lamanya, keduanya meninggalkan rumah singgah itu untuk berjualan kerupuk. Mereka berjalan menyusuri jalanan Kota Malang, menuju ke Kepanjen, Kabupaten Malang, dan berakhir di Kesamben, Kabupaten Blitar, lalu kembali lagi ke Kota Malang.

Jarak tempuh sepanjang 2 x 60 km tersebut, mereka tempuh selama empat hari perjalanan. Kerupuk dalam keranjang mampu mereka jual habis. "Selama berada di perjalanan ya kalau capek istirahat di SPBU, mushola, ya dimana saja tempat yang aman dan nyaman bisa buat tidur," ujar Yudi, sambil mengumbar tawanya yang khas.

Pemuda yang selalu ceria ini, begitu bahagia hidup bersama para sahabatnya. Berkat Agung, dia bisa berjalanan kemana saja. Dia juga bisa mengikuti Misa Minggu di Gereja Katolik Paroki Vincentius A. Paulo di Jalan Langsep, Kota Malang.

Jarak rumah singgah "Komunitas Rumah Sahabat" dengan gereja tersebut, sekitar 3 km. Jalannya berupa turunan tajam, dan tanjakan. Lalulintasnya sangat padat, karena menjadi jalur menuju daerah industri di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang.

Mas Yudi Adalah Kakiku, dan Mas Agung Adalah Mataku


Yudi penuh semangat datang ke gereja, diantarkan Agung sahabatnya. Saat Yudi khusuk mengikuti Misa Minggu, Agung yang pemeluk Islam taat, dengan setia menanti di luar gereja. "Kadang saya menunggu Yudi ikut Misa Minggu, sambil jualan kerupuk di luar gereja," ujar Agung.

"Jadi semangat kalau ke gereja ada yang mengantarkan. Kalau tidak ada yang mengantarkan, ya saya kesulitan jalannya. Bisa nabrak-nabrak jalannya," kata Yudi sambil terkekeh penuh keakraban.

Pergi dan pulang mereka selalu bersama. Demikian juga saat Agung harus menjalankan ibadah sholat lima waktu di mushola, atau saat menjalankan Sholat Jumat di masjid, Yudi dengan setia mengantarkannya.

"Kalau Mas Agung sholat, saya menunggu di luar masjid. Sambil duduk-duduk saja. Beberapa kali saya juga ditanya oleh umat yang akan sholat, karena tidak masuk ke Masjid. Ya saya jawab kalau saya hanya mengantarkan teman," kata Yudi.

Sama halnya dengan Yudi, Agung juga sangat semangat untuk sholat ketika diantarkan oleh Yudi. "Ke mushola atau masjid jadi lebih mudah, soalnya Mas Yudi yang mengatarkan. Saya bisa ikut sholat berjamaah," ujar Agung.

Mereka hidup saling melengkapi, dalam segala keterbatasan yang dimilikinya. Mereka tidak pernah merasa tersekat-sekat, meskipun hidup berbeda agama. "Belum tentu juga orang yang seiman dengan saya bersedia mengantarkan saya ke gereja seperti Mas Agung," ujar Yudi, sambil tertawa lepas.

Kedua pemuda ini sudah beberapa tahun ini tinggal bersama di rumah singgah "Komunitas Rumah Sahabat". Mereka yang tinggal di rumah singgah tersebut, rata-rata para penyandang disabilitas, mulai dari tuna daksa, buta, serta mengalami gangguan penglihatan.

Rumah ini menghadirkan hidup nyata dalam kebhinekaan. Bisa saling melengkapi satu sama lain, tanpa memandang suku, ras, golongan, dan agama. Mereka hidup dalam cinta kasih yang nyata, saling tolong-menolong, bergotong royong, membangun toleransi, dan bekerja keras untuk hidup dan menghidupi.

Tak perlu banyak teori dan wacana tentang ke-Indonesiaan, persatuan, serta Pancasila untuk mewujudkan Bhineka Tunggal Ika di rumah singgah ini. Toleransi, kerja keras, persahabatan, dan persaudaraan sejati itu mengalir begitu indah dalam kehidupan setiap hari.

"Kami selalu hidup bersama sebagai anak-anak Indonesia, yang tumbuh dalam segala perbedaan dan keterbatasan," ujar Akhiles Alokako (50), pendiri Komunitas Rumah Sahabat.

Baginya, rasa cinta kepada Indonesia, dan Pancasila, tidak hanya sekedar banyak wacana dan teori, tetapi langkah kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. "Kami yang penuh keterbatasan, mengamalkannya semampu yang kami bisa di kehidupan sehari-hari," tuturnya.

Pria asli Bajawa, Flores, NTT tersebut, tinggal di Kota Malang, sejak 22 tahun silam. Dia datang berniat menjadi pastor, dan ingin mengabdikan diri untuk kemanusiaan. Langkahnya ternyata membawanya ke Yayasan Bhakti Luhur, dan menjadi bagian dari kerasulan awam untuk melayani anak-anak penyandang disabilitas.

Keahliannya bermusik, membawanya menjadi guru musik untuk para penyandang disabilitas, sampai dia memilih keluar dari Yayasan Bhakti Luhur pada tahun 2007, dan mulai merintis Komunitas Rumah Sahabat.

Rumah singgah yang harus berpindah-pindah tempat, karena harus menyesuaikan dengan kemampuan keuangan untuk mengontrak rumah tersebut, awalnya diisi oleh anak-anak jalanan. "Mereka sudah banyak yang mandiri sekarang," ujar Akhiles.

Di kemudian hari, Komunitas Rumah Sahabat ini bukan hanya menampung anak-anak jalanan. Tetapi, juga para penyandang disabilitas. Menurut Akhiles, banyak yang enggan mengurus para penyandang disabilitas, makanya Komunitas Rumah Sahabat hadir sebisa mungkin untuk mereka.

Guru musik yang sempat mengajar ke sejumlah sekolah di Kota Malang, dan Lumajang tersebut, terpaksa juga harus mengalami keterbatasan untuk bergerak, setelah dia menjadi korban kecelakaan. Keterbatasan itu, membuatnya fokus bermusik bersama para penyandang disabilitas di Komunitas Rumah Sahabat.

Mas Yudi Adalah Kakiku, dan Mas Agung Adalah Mataku


Dia sudah sangat senang, ketika persaudaraan sejati yang dibangun tanpa basa-basi oleh para penyandang disabilitas di Komunitas Rumah Sahabat, mulai dicontoh oleh masyarakat kampung yang tinggal di dekat rumah singgah.

Dicontohkannya, suatu hari pernah melihat ibu-ibu yang mengenajak hijab di dekat rumah singgah, pergi mengatarkan keluarganya yang menyandang disabilitas ke gereja untuk beribadah. "Perubahan-perubahan kecil ke arah yang lebih baik di sekitar kami, sudah sangat membuat kami bahagia," ungkapnya.

Di rumah singgah Komunitas Rumah Sahabat tersebut, kini juga menjadi tempat untuk para disabilitas berkarya dan hidup mandiri. Bukan hanya berjualan kerupuk, mereka juga bermusik.

Ada dua grup musik dengan genre musik berbeda yang dikembangkan mereka. Satu grup musik bernaama Netra Laras, yang lebih banyak beraliran musik Capursari. Pemainnya Akhiles, Yudi, Agung, Joko, Rofi.

Sementara, satu grup musik lagi beraliran pop, yakni RJY. Nama itu singkatan dari tiga nama pemainnya, yakni Rofi, Yudi, dan Joko. Akhiles biasa mengisi keyboard melodi dua, sementara Yudi merupakan pemegang gitar melodi dan vokal.

Joko yang mengalami keterbatasan penglihatan, atau lowfision, merupakan pemain keyboard melodi satu. Rofi seorang penyandang tuna netra, menjadi pemain bass, dan Agung adalah penggebuk drum yang handal, meskipun mengalami keterbatasan pada kakinya.

Mereka merupakan sahabat disabilitas dewasa dan remaja, yang sudah lepas dari sekolah dan harus hidup mandiri. Selain berjualan kerupuk dan ngamen, mereka juga menerima undangan untuk bermain musik mengisi acara.

Akhiles menegaskan, yang mereka butuhkan bukanlah belas kasihan. Tetapi kesempatan yang sama layaknya orang normal pada umumnya. "Kami punya kemampuan dan kemauan, meskipun banyak keterbatasan. Yang kami butuhkan ruang apresiasi serta kesempatan, bukan belas kasihan," tegasnya.

Hadirnya media sosial, juga mulai mereka manfaatkan untuk mempromosikan karya-karya musik RJY dan Netra Laras. Video sederhana saat mereka tampil di berbagai kesempatan, telah mereka unggah di akun youtube Netra Laras Music.

Mereka juga pernah rekaman dan mengeluarkan album dalam bentuk VCD. Sayangnya, produksi yang telah dibuat dengan modal patungan itu sulit dipasarkan. Namun, semua itu tidak pernah membuat mereka patah semangat untuk hidup mandiri.

Semangat, kerja keras, kebersamaan, serta sikap saling menghormati dalam segala perbedaan dan keterbatasan yang dihadirkan para penyandang disabilitas ini, menghadirkan contoh yang baik bagi masyarakat. Mereka mampu hidup berdampingan dengan tetangga dan saling menghormati, tanpa sedikitpun meminta belas kasihan.

Yudi, Agung, Joko, Rofi, Akhiles, serta sahabat-sahabat disabilitas lainnya di rumah singgah Komunitas Rumah Sahabat, memiliki banyak keterbatasan fisik, tetapi mereka memiliki hati seluas samudera untuk menerima segala perbedaan dan keterbatasan itu dalam persaudaraan sejati.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 4.7055 seconds (0.1#10.140)