Kiai Nursalim, Pengikut Diponegoro yang Dikubur Hidup-hidup di Ngawi

Minggu, 05 Januari 2020 - 05:00 WIB
Kiai Nursalim, Pengikut Diponegoro yang Dikubur Hidup-hidup di Ngawi
Tampak Benteng Van Den Bosch di wilayah Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Foto/SINDOnews/solichan arif
A A A
NGAWI - KH Muhammad Nursalim dikenal dukdeng, sakti mandraguna. Bacokan parang, klewang serta tusukan sangkur, tidak mampu menumpahkan darahnya. Begitu juga dengan timah panas, gagal merenggut nyawanya. Ulama pejuang itu selalu lolos dari incaran maut penjajah Belanda.

Kiai Nursalim salah satu tokoh kepercayaan Pangeran Diponegoro. Dalam perang Jawa 1825-1830, ia diutus ke medan tempur wilayah Madiun. Perang yang dipicu proyek jalan kereta api yang menerabas pusara makam nenek Diponegoro itu berkobar dimana mana.

Di Madiun perang dipimpin Bupati Kertodirjo. Adipati Judodiningrat dan Tumenggung Surodirjo serta Wirotani, pengikut Diponegoro di Ngawi, turun langsung ke gelanggang pertempuran.

Meskipun hanya berlangsung lima tahun, perang Jawa mampu membangkrutkan simpanan keuangan (Kas) pemerintah Hindia Belanda. Paska perang itulah lahir kebijakan tanam paksa (cultuur stelsel) yang bertujuan mengembalikan kas keuangan Belanda.

Sementara selain sebagai ahli perang, Kiai Nursalim juga dikenal sebagai ulama penyebar agama Islam di wilayah eks karsidenan Madiun, khususnya Ngawi. Pada tahun 1825, pasukan Belanda yang dipimpin Gubernur Jendral Johanes Van Den Bosch menduduki Ngawi.

Ngawi menjadi pusat pertahanan, dimana di kawasan pertemuan antara Bengawan Solo dan Kali Madiun, Belanda mendirikan benteng besar. Sebuah bangunan dibawah gundukan tanah dikelilingi parit yang dulunya penuh dengan peliharaan buaya. Konon buaya buaya ganas itu banyak merenggut nyawa pengikut Diponegoro.

Karena alasan bersembunyi dibawah tanah itu masyarakat Ngawi menamakannya Benteng Pendem. Pembangunan selesai pada tahun 1845. Belanda menempatkan 250 orang personel bersenjata bedil, 60 orang kavaleri dan 6 unit meriam api.

Dengan memusatkan pertahanan di Ngawi, perburuan terhadap Kiai Nursalim semakin gencar.

Abdi kinasih Pengeran Diponegoro itu berhasil ditangkap. Karena tidak juga tewas Belanda menguburnya hidup hidup. Cara keji itu membuat Kiai Nursalim gugur.

“Ya itu makamnya (Kiai Nursalim),“ tutur Sinta (30), istri tentara petugas benteng sambil menunjuk sebuah makam tua di area Benteng Van Den Bosch.

Destinasi Sejarah

Gundukan makam itu bertempat di ruang utama Benteng Van Den Bosch atau Benteng Pendem. Tepatnya di sebelah museum mini yang bersekat kaca. Sebatang pohon kamboja tua tumbuh di ujung pusara. Itulah makam Kiai Nursalim, tangan kanan Diponegoro yang dikubur hidup hidup.

Sebuah narasi dan lukisan lelaki berpenampilan ulama terpasang di tembok. Narasi singkat itu menceritakan rekam jejak perjuangan Kiai Nursalim. Pada dinding yang lain terlihat lukisan Pangeran Diponegoro. Kemudian gambar Jendral Van Den Bosch serta sebuah keluarga Belanda yang bersantai dengan latar belakang bangunan benteng.

Suara yang berasal dari mesin perekam terdengar berulang ulang. Mungkin dimaksudkan sebagai diorama. Sayang tidak ada satupun penjaga di sana. “Semua tentang cerita sejarah benteng ada di museum mini,“ kata Sinta yang juga memiliki lapak jualan di dalam lingkungan benteng.

Benteng Van Den Bosch atau Benteng Pendem berlokasi di Kelurahan Pelem, Kecamatan Kota Ngawi. Dari kantor Pemkab Ngawi berjarak kurang lebih satu kilometer, menuju arah timur.

Meski sebagian besar temboknya sudah terkelupas, rompal, dan bahkan tumbuh pohon liar, bangunan yang berdiri diatas tanah seluas 15 hektar itu masih terlihat gagah.

Plakat logam yang merujuk masa Benteng dibangun (1839-1845) masih terpasang di gerbang utama. Pada gerbang terdepan tertulis Van Den Bosch. Tidak hanya difungsikan markas tentara. Di Benteng Van Den Bosch juga terdapat sel tahanan untuk para pejuang tanah air.

Ukuran lubang tahanan itu berbeda beda sesuai dengan berat ringannya hukuman. Paling sempit berupa lubang berukuran satu badan yang hanya bisa dimasuki dengan tengkurap. Tidak sedikit penghuni sel super sempit itu yang berakhir dengan meregang nyawa. Ada juga dua sumur tua yang konon menjadi kuburan massal pekerja rodi.

“Ini bukti sekaligus cerminan betapa kejamnya penjajah Belanda,“ kata Sinta. Sayang, pengunjung yang mayoritas muda mudi sepertinya kurang tertarik dengan cerita seputar kekejaman kolonial.

Begitu tiba di area Benteng, mereka lebih menyukai berada di tempat tempat yang bagus untuk spot foto. Latar belakang bangunan serupa kastil Eropa dengan kerumunan burung merpati, menjadi spot favorit.

Paska tahun 1962 Benteng Van Den Bosch pernah menjadi markas Yon Armed yang berkedudukan di Malang. TNI juga sempat menjadikan sebagai gudang amunisi dan menetapkan sebagai kawasan terlarang. Setelah dianggap kurang reprsentatif, kawasan Benteng Van Den Bosch dibuka untuk umum.

Sebagai kawasan wisata sejarah, lokasi dibuka mulai pukul 08.00 Wib hingga 17.00 Wib. Tiket sekali masuk hanya Rp 2.000 dan Rp 1.000 untuk ongkos parkir kendaraan. “Benteng Van Den Bosch ini sangat pas untuk pembelajaran sejarah kolonial di Indonesia,“ tutur Geovani wisatawan asal Jogjakarta.
(msd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.3490 seconds (0.1#10.140)