Penerbangan Disetop, Bagaimana Nasib Pasien Kanker Berobat ke China?

Kamis, 06 Februari 2020 - 14:13 WIB
Penerbangan Disetop, Bagaimana Nasib Pasien Kanker Berobat ke China?
Doktor di bidang Biomedik sekaligus Ketua dan Pendiri Yayasan Hayandra Peduli yang menaungi Klinik Hayandra & Hayandra Lab, Dr dr Karina, SpBP-RE. Foto./SINDOnews/Nuriwan Trihendrawan
A A A
JAKARTA - Saat ini banyak penderita kanker dari Indonesia yang mencari alternatif terapi ke luar negeri. China merupakan salah satu negara asing yang sering menjadi destinasi medis masyarakat Indonesia, terutama untuk pengobatan kanker dengan menggunakan terapi sel.

Namun kini China tengah menghadapi masalah wabah coronavirus. Wabah tersebut tidak hanya menutup akses Kota Wuhan tetapi juga kota-kota lain di China.
Otoritas setempat telah membatasi bahkan melarang transportasi antar negara dengan tujuan meminimalisir penularan coronavirus.

Lalu bagaimana pasien-pasien kanker dari Indonesia melanjutkan terapinya, sementara itu, kini otoritas Indonesia menyetop penerbangan ke dan dari China?

Doktor di bidang Biomedik sekaligus Ketua dan Pendiri Yayasan Hayandra Peduli yang menaungi Klinik Hayandra & Hayandra Lab, Dr dr Karina, SpBP-RE, memberikan solusi. Menurut dia, pasien kanker yang selama ini berobat ke China dapat memanfaatkan pengobatan atau terapi serupa yang kini sudah ada di Indonesia.

“Jadi tidak perlu khawatir karena saat ini terapi sel sebagai terapi pendukung pengobatan kanker, sudah ada di Indonesia,” kata Dr Karina pada acara Ngopi Bareng Dokter Karina, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2020).

Dia menjelaskan, teknologi pendukung terapi kanker yang dimaksud adalah teknologi Immune Cell Therapy (ICT) yang kini bisa diperoleh di Klinik l-layandra dan HayandraLab. Teknologi ini dibawa langsung oleh dr Karina dari negeri sakura Jepang.

“Berawal dari pengobatan kanker kolon ibu saya di Jepang pada tahun 2016 silam, tim kami berhasil menarik teknologi terapi sel yaitu Immune Cell Therapy (ICT) dari Jepang ke Indonesia," ungkap Karina.

Teknologi ICT merupakan hasil pembiakan dari darah pasien sendiri yang terdiri dari perpaduan sel T, sel NK dan sel NKT, yang merupakan sel imun alamiah tubuh.

”Pada pasien kanker, terutama pasien yang pernah menjalani kemoterapi, sel imun ini akan terhantam jumlahnya. Padahal jumlah dan keaktifan sel-sel ini mempakan kunci tubuh kita untuk dapat memusnahkan sel kanker yang tersisa dari operasi, radiasi ataupun kemoterapi," jelas Karina.

Karena berasal dari darah pasien sendiri (autologus), terapi ini aman karena tidak ada resiko penolakan dari tubuh. ”Jujur saya pribadi sebelumnya tidak percaya bahwa terapi ini akan menyembuhkan ibu saya, karena beliau nyaris tidak mendapatkan efek samping apa pun. Apalagi beliau juga hanya menjalani ICT pasca operasi, tanpa kemoterapi sedikit pun. Sebagai putri beliau yang juga seorang dokter, saya sangat kuatir saat itu,” cerita Karina.

Berkaca dari pengalaman saat menemani ibunda berobat ke Jepang, dr Karina merasa bahwa masih banyak hal yang dapat diperbaiki saat menarik teknologi ini ke lndonwia.

Biayanya sangat mahal, namun modalitas terapi yang lain seperti perbaikan pola makan, infus vitamin C, suplementasi vitamin D3 dan probiotik, serta pendampingan psikologi, sama sekali tidak diberikan di Jepang.

“Di Indonesia, semua ini kami berikan dalam upaya untuk membuat terapi ini lebih efektif. Beberapa penyempurnaan teknik melalui tahapan validasi yang Panjang juga telah kami lakukan. Sehingga terapi ini lebih cocok bagi sel orang Indonesia yang ternyata berbeda dengan Jepang," pungkas Karina.
(nth)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.8948 seconds (0.1#10.140)