Konsumen Berhak Menuntut Bila Tertipu Barang Palsu di E-Commerce

Sabtu, 15 Februari 2020 - 10:10 WIB
Konsumen Berhak Menuntut Bila Tertipu Barang Palsu di E-Commerce
ilustrasi
A A A
JAKARTA - Ungkapan pembeli adalah raja memang tepat ditujukan dalam urusan transaksi perdagangan. Konsumen berhak mendapatkan barang atau jasa yang dijual sesuai keterangan atau promosi penjual.

Jika ternyata produk yang diterima tidak sesuai dengan penawaran, konsumen berhak menuntutnya karena merasa dirugikan. Baik itu dengan cara mengembalikan barang tersebut dan meminta kembali uangnya, ataupun dengan cara-cara lainnya, termasuk jalur hukum.

Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Arief Safari menjelaskan, konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi jelas dan benar mengenai produk yang dibelinya.(baca juga: Jangan Tergiur Produk Murah di E-Commerce, Waspadai Barang Palsu )

“Kalaupun itu barang tidak asli atau yang biasa disebut kw, dapat disebutkan jenis kw 1 atau kw 2. Produk bekas pun tidak masalah asal disebutkan dari awal,” ujarnya.

Terlebih jika transaksi terjadi di e-commerce semua detail barang harus diinfokan selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya kepada konsumen. Mulai spek, variasi, bahan, hingga ukuran produk, sehingga konsumen mengerti kondisi produk tersebut.

Arief menambahkan, jika kondisinya tidak sesuai penawaran atau informasi yang diberikan, itu berarti penjual sudah menyalahi hak konsumen yang kedua, yakni konsumen berhak untuk memiliki barang dan jasa sesuai kondisi atau jaminan yang dijanjikan. Jadi, itu memang kewajiban pelaku usaha atau penjual untuk memberikan hak-hak konsumen tersebut.

Sesuai UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, jika merasa tertipu dengan penawaran produk dari penjual, maka konsumen dapat melaporkan masalah itu ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang terdapat di kota/ kabupaten di Indonesia.

“Konsumen dapat mendatangi BPSK terdekat. Di sana dia bisa menuntut ganti kerugian materiil kepada pelaku usaha yang membuatnya merugi. Konsumen mendapat hak ganti rugi maksimal Rp200 juta,” ujar Arief.

Dia menambahkan, kalaupun nanti ada kerugian yang sifatnya imateriil, maka tuntutannya dapat langsung melalui peradilan umum. BPSK sendiri merupakan badan independen yang menjadi pilihan jika penyelesaian awal tidak ada jalan keluar.

Penyelesaian awal yang dimaksud adalah jalur mediasi dengan pelaku usaha. Konsumen mendapat pendampingan atau advokasi dari lembaga perlindungan konsumen swadaya seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Sementara itu, sebagai lembaga yang dibuat langsung oleh negara, BPKN bertugas hanya menjadi fasilitator konsumen untuk mengambil langkah jika merasa dirugikan oleh pelaku usaha.

“Kami juga memberi saran dan rekomendasi kepada pemerintah. Jika ada persyaratan yang tidak sesuai atau belum ada untuk kepentingan konsumen, kami yang memberi rekomendasi agar pemerintah segera mengatur ulang peraturan tersebut,” jelasnya.

Sebab, pemerintah bisa saja membuat regulasi tanpa memikirkan hak untuk konsumen. Seperti yang dilakukan BPKN untuk merekomendasikan agar dibuat ketentuan minimum level servis dan berapa harga umum yang wajar.

BPKN juga turut merekomendasi beberapa hal dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/2019 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-commerce). Itu salah satu aturan yang menjadi pegangan perdagangan elektronik di Indonesia agar ekonomi digital Tanah Air lebih kuat.

“Kalau ada masalah dengan negara lain, kita sudah punya aturannya. Hal ini yang masih menjadi bahasan pada pertemuan G20. Negara G20 sekarang sudah memikirkan bagaimana membangun yang namanya crossborder solution,” ungkapnya.

Misalnya, ada transaksi jual beli dari China, lalu jika ada kerugian nanti sengketa hukum negara mana yang harus dipakai. Aturan ini masih belum ada karena selama ini aturan tersebut masih untuk bisnis Goverment to Goverment.

Ketua Bidang Pengaduan YLKI Sularsi menegaskan, saat ini memang banyak kasus terjadi dalam transaksi e-commerce. Sebab, pembeli hanya bisa membaca deskripsi dan melihat gambarnya saja. Dan, sepatutnya penjual harus memberikan keterangan tentang produknya itu secara jelas dan benar. Misalnya, barang elektronik harus mencantumkan sejumlah kelengkapan yang bisa didapatkan konsumen.

Mengenai barang kw atau palsu dari brand ternama, YLKI mengharapkan agar platform e-commerce mampu memberi edukasi kepada masyarakat. Sebab, apa pun barang kw tetaplah barang palsu yang melanggar aturan dan merugikan konsumen dan negara.

“Mereka seharusnya turut serta mencegah perluasan produk-produk palsu. Lebih baik beli yang kualitas lebih baik dengan nama berbeda atau produk lokal,” ungkapnya.

YLKI berharap, platform e-commerce memfilter tenant mereka untuk tidak menjual produk kw, sekalipun mereka menyertakan informasi bahwa produk tersebut kw. Sebab, jika tidak difilter, hal tersebut dapat melegalkan tindak pidana karena itu termasuk pemalsuan produk. Di sisi lain, masyarakat juga harus terus diedukasi mengenai produk palsu dan dampaknya bagi perekonomian negara

“Produsen bisa saja membuat produk sejenis dengan nama mereka sendiri. Perusahaan lokal seharusnya bisa lebih percaya diri. Dari segi konsumen memang lebih sulit karena jika menggunakan barang hanya untuk kebutuhan prestise akan sebuah brand,” ujar Sularsi.

Selain itu, dia menilai bahwa marketplace memiliki kewenangan mengatur tenant-nya untuk menjual produk asli. Sebab, jika terjadi masalah dengan konsumennya, maka pihak marketplace tidak boleh lepas tanggung jawab untuk membantu menyelesaikan persoalan.

YLKI juga meminta platform e-commerce dapat menjaga data pribadi pengguna. Seluruh pengguna platform seperti marketplace memang sudah wajib menyertakan identitas sesuai aturan pada PP No 80/2019 terkait transaksi elektronik. Marketplace memiliki kewenangan dan hak untuk meminta data identitas tenant mereka karena jika terjadi suatu masalah dengan konsumennya, mereka dapat turut membantu menyelesaikannya.

Data finansial pengguna pun mereka ketahui untuk masalah transaksi. Namun yang harus wajib dilakukan adalah menjaga data pribadi jangan sampai bocor ke pihak ketiga. Data adalah sebuah harta milik mereka sendiri karena terdapat sebuah kepercayaan di dalamnya. (Ananda Nararya)
(msd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.3697 seconds (0.1#10.140)