Ketahanan Sosial Budaya, Atasi Antagonisme di Tengah Masyarakat

Kamis, 18 Oktober 2018 - 17:50 WIB
Ketahanan Sosial Budaya, Atasi Antagonisme di Tengah Masyarakat
Wakil Ketua MPR, Ahmad Basarah, bersama anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), Yahya Cholil Staquf, hadir di Universitas Brawijaya (UB) Malang. Foto/Ist.
A A A
MALANG - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Yahya Cholil Staquf meyakini, Indonesia memiliki ketahanan sosial budaya luar biasa mengatasi antagonisme.

Persoalan antagonisme ini, salah satunya dengan cepat merebak melalui media sosial. Menurutnya, banyak krisis yang telah dilalui sejak zaman Majapahit hingga saat ini, tapi bisa diselesaikan dengan baik.

Kyai yang akrab disapa Gus Yahya tersebut, hadir sebagai salah satu pembicara Seminar Kebangsaan, Peran Santri dalam Memperkokoh Persatuan Bangsa di Gedung Widyaloka, Universitas Brawijaya (UB) Malang, Kamis (18/10/2018).

Kegiatan ini merupakan kerjasama UB Malang, dengan Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Jatim, dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional.

"Walaupun di media sosial kelihatannya keras sekali sampai yang membaca ketakutan, tapi tidak sampai terproyeksi di dunia nyata," ucap Katib Aam Nahdlatul Ulama (NU) tersebut.

Hal ini menurutnya, karena Indonesia punya ketahanan sosial budaya yang menjadi kekuatan peradaban yang tidak dimiliki masyarakat-masyarakat lain di dunia.

Berdasar pengalamannya, walaupun di media sosial ia dikomentari pedas, dalam dunia nyata ketika bertemu tidak lantas terlontar makian pula. "Ini karena kita punya budaya sungkan," ungkapnya.

Pada kesempatan tersebut Gus Yahya juga meluruskan makna hari santri yang diperingati setiap 22 Oktober. Dikatakannya Hari Santri bukanlah hari besar keagamaan, tapi hari besar nasional yang berarti milik semua orang bukan NU saja.

Santri menurutnya, adalah tradisi intelektual nusantara yang tumbuh selama berabad-abad sejak zaman pra islam. Sebelum ada pendidikan model barat yang diadopsi saat ini, pendidikan nusantara terjadi di padepokan-padepokan dengan resi-resi.

Para resi tinggal dengan murid-murid yang tinggal bersama, sebelumnya bernama cantrik. "Mereka inilah santri," ujarnya.

Ia berharap Hari Santri bisa diperingati siapapun yang merawat tradisi intelektual nusantara pada dirinya, termasuk Muhammadiyah. Dijelaskannya, unsur utama tradisi ini adalah dinamika kecendekiaan.

Ciri dinamika kecendekiaan ini adalah gagasan-gagasan intelektual besar yang membentuk peradaban nusantara ini. Contohnya adalah identitas kerajaan Majapahit sebagai Bhinneka Tunggal Ika, yang tidak menggunakan agama sebagai identitas kerajaannya.

Wakil Ketua MPR, Ahmad Basarah yang turut menjadi pembicara di forum ini mengungkapkan, sejarah munculnya Hari Santri, dan disahkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 22/2015 tentang Hari Santri Nasional.

"Pada tahun 2014, Joko Widodo yang masih menjadi calon presiden diajaknya ke Pesantren Babussalam, Kabupaten Malang. Pesantren ini dipimpinan H. Thoriq Darwis bin Ziyad, atau akrab disapa Gus Thoriq. Di tempat itulah Gus Thoriq mengajukan usulan agar tanggal 1 Muharram dijadikan Hari Santri bila Jokowi terpilih," ungkapnya.

Setelah Jokowi terpilih sebagai Presiden RI, di tanggal 15 Oktober 2018, ia menandatangani Keppres Hari Santri. Namun bukan di 1 Muharram, melainkan tanggal 22 Oktober yang merupakan momen saat KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan resolusi jihad kaum muslimin, untuk membela bangsanya yang terkenal dengan fatwa Hubbul Wathon Minal Iman.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.1102 seconds (0.1#10.140)