DPR RI ke UB, Bahas Perlunya Revisi UU Guru dan Dosen

Kamis, 18 Oktober 2018 - 18:05 WIB
DPR RI ke UB, Bahas Perlunya Revisi UU Guru dan Dosen
Rektor Universitas Brawijaya (UB) Malang, Nuhfil Hanani, menerima kunjungan kerja Komisi X DPR RI, membahas UU guru dan dosen. Foto/Ist.
A A A
MALANG - Keberadaan UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen, yang merupakan payung hukum dalam mengatur profesi guru dan dosen, dianggap masih terlalu lemah.

UU tersebut, dinilai masih menyatukan persepsi mengenai guru dan dosen. Hal ini, disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, dalam acara Kunjungan Kerja Komisi X DPR RI ke Universitas Brawijaya (UB) Malang, Kamis (18/10/2018).

Kunjungan ini dalam rangka mengkaji regulasi, substansi, materi muatan, dan urgensi pemisahan UU Guru dan Dosen.

Fikri menuturkan, meski keduanya disebut sebagai pendidik profesional, guru dan dosen memiliki beberapa perbedaan. Salah satunya terlihat pada tugas utamanya.

"Dosen mempunyai tugas utama tridharma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Sedangkan guru hanya melaksanakan tugas ekadharma, yaitu pengajaran," terangnya.

Perbedaan lainnya terletak pada kualifikasi akademik, di mana pendidikan formal untuk dosen minimal S2, sedangkan untuk guru cukup S1. Dan saat ini guru dan dosen berada di bawah institusi yang berbeda, di mana dosen di bawah Kemenristekdikti, sedangkan guru di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Selain di Malang, Kunjungan Kerja Komisi X juga akan dilakukan di Yogyakarta, dan Padang. "Ini adalah langkah awal Komisi X DPR RI untuk memperoleh data dan fakta secara langsung mengenai permasalahan yang dihadapi dosen," tegasnya.

"Selanjutnya, nanti masih akan ditimbang untuk revisi substansi dan harapannya tahun 2019 sudah rampung," pungkas Fikri.

Kegiatan ini dihadiri Direktur Jenderal Kelembagaan RI, Patdono Suwignyo, para rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Malang, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Direktur Politeknik Negeri Malang, Direktur Poltekkes Malang, dan Asosiasi Dosen Indonesia Provinsi Jawa Timur.

Dalam kesempatan ini, Patdono Suwignyo menanggapi, harus dibedakan kualifikasi pendidikan antara perguruan tinggi akademik, perguruan tinggi vokasi, dan perguruan tinggi profesi.

"Contohnya untuk Politeknik Maritim Negeri Indonesia, yang berlokasi di Semarang, terdapat dosen nahkoda yang sangat mahir di bidangnya, sudah keliling dunia, dan tersertifikasi tingkat dunia, tapi dia tidak S2 atau S3. Untuk itu perlu adanya revisi kualifikasi pendidikan dosen," paparnya.

Ia juga menambahkan di mana dari 18.600 dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS), 500 di antaranya masih lulusan S1. "Jumlah tersebut masih belum memenuhi standar nasional Dikti, untuk itu mohon ada kebijakan untuk dosen PTS yang ada di bawah naungan negara," ungkapnya.

Dari berbagai masukan yang diberikan, sebanyak 95 persen mengusulkan UU Dosen dan Guru tidak usah dipisahkan, namun direvisi substansinya. Adapun saran yang diberikan antara lain perlu adanya kesejahteraan dan regulasi yang jelas untuk dosen PNS dan Non PNS.

Selain itu, perlunya aturan tentang dosen Fakultas Kedokteran yang tidak hanya membutuhkan tenaga pengajar dari jenjang akademik, tetapi juga spesialis, dan juga profesi seperi ners, bidan, atau dietisien dari kementerian lain.

Forum ini juga merekomendasikan, adanya aturan mengenai pekerjaan penunjang dosen di luar tridharma perguruan tinggi, seperti mengerjakan akreditasi.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.1194 seconds (0.1#10.140)