Peneliti Ma Chung Temukan Antibiotik Berbahan Bakteri Laut

Kamis, 27 Februari 2020 - 20:05 WIB
Peneliti Ma Chung Temukan Antibiotik Berbahan Bakteri Laut
Bakteri laut Pseudoalteromonas rubra, berhasil dikembangkan oleh para peneliti Universitas Ma Chung, untuk menjadi antibiotik alami. Foto/Dok.Humas Universitas Ma Chung
A A A
MALANG - Para peneliti Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigments (MRCPP), berhasil menemukan antibiotik alami, sebagai pengganti antibiotik berbahan kimia.

Grup riset Laboratorium Brotosudarmo - Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi (PUI-PT) MRCPP, menemukan bakteri laut Pseudoalteromonas rubra yang menghasilkan pigmen anti mikroba.

Bakteri laut tersebut ditemukan oleh Edi Setiyono, peneliti di Laboratorium Brotosudarmo, dari air laut yang diambil di Pantai Sebanjar dan Pulau Sika, Kabupaten Alor, Kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pada tahun 2018, Edi Setiyono berhasil mengisolasi bakteri yang memiliki pigmen merah ini. Bakteri tersebut ternyata memiliki kesamaan genetika sebesar 99% dengan Pseudoalteromonas rubra ATCC 29570 berdasarkan uji 16S rRNA.

Bersama dengan anggota tim yang lain, antara lain Monika Prihastyanti, Marcelinus Adhiwibawa dan Renny Indrawati, akhirnya didapatkan keunikan bakteri dari Pulau Alor ini. Ternyata bakteri tersebut mengandung enam jenis pigmen antimikroba.

Pigmen-pigmen tersebut kemudian diuji aktivitasnya sebagai agen antimikrobia pada beberapa bakteri patogen seperti Escherichia coli (penyebab Diare), Straphylococcus aureus (penyebab infeksi kulit), Salmonella typhi (penyebab Tipus), dan Candida albicans (penyebab infeksi).

Bakteri laut Pseudoalteromonas rubra paling efektif untuk patogen s. Aureus. Hasil riset tersebut kemudian dipublikasikan di Jurnal Internasional bergengsi terbitan American Chemical Society, Rabu (26/2/2020).

Riset ini berangkat dari fenomena mudahnya para tenaga medis memberikan antibiotik kepada pasien. "Agen antimikroba adalah obat yang umumnya diperoleh dari mikroorganisme yang sangat penting untuk pencegahan dan pengobatan infeksi bakteri. Namun, penggunaan antibiotik dalam pengobatan, yang terlalu sering dan tidak tepat, berkontribusi pada penyebaran resistensi antibiotik yang cepat. Hal ini mengakibatkan adanya resistensi tubuh terhadap antibiotik ini, dan fenomena ini merupakan masalah global," ujar Edi.

"Sama halnya dengan ketika kita sakit flu lalu pergi ke dokter dan diberi antibotik namun tidak kunjung sembuh. Di Indonesia data seperti ini belum terdokumentasi dengan jelas, sehingga WHO juga belum mengetahui bakteri pantogen mana yang resisten terhadap obat apa saja," lanjut Edi.

Peneliti Ma Chung Temukan Antibiotik Berbahan Bakteri Laut


Laporan sebelumnya dari WHO menggabungkan data global yang tersedia tentang AMR dalam tujuh patogen bakteri umum dan menyoroti kurangnya data sistematis tentang AMR di Asia Tenggara. Meski demikian, dilaporkan bahwa infeksi nosokomial yang disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antimikroba mengakibatkan 38.481 kematian di Thailand pada tahun 2010.

Obat baru diperlukan karena penurunan kemanjuran obat dan kebutuhan untuk memerangi resistensi antibiotik. Mikroorganisme laut mewakili sumber signifikan obat baru untuk pengembangan karena keanekaragaman hayati yang kaya dan kapasitas genetik untuk menghasilkan metabolit yang unik.

Sebagai negara kepulauan, biodiversitas Indonesia adalah terbesar di dunia dan merupakan sumber berjuta senyawa kimia yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan obat dan potensi sumber daya ekonomi biru.

Kemampuan untuk menguasai sains dan iptek adalah kunci utama dalam eksplorasi dari keanekaragaman hayati menjadi sumber daya genetik dan biokimia yang mempunyai nilai secara komersial.

"Ini masih bertahap pada laboratorium belum sampai ke arah untuk menjadi obat. Tahapan klinis-klinis itu panjang dan biayanya juga mahal. Jadi saya dan tim saya berfokus untuk memetakan sumber daya di Indonesia, dan faktanya potensi yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi agen-agen mikroba. Tidak hanya itu nantinya saya juga akan mengisolasi beberapa jenis bakteri yang didapatkan dari air laut atau bersimbiosis dengan terumbu karang contohnya," ungkap Edi.

Laboratorium Brotosudarmo di PUI-PT MRCPP, Universitas Ma Chung, dibina dan dipimpin oleh Tatas H.P. Brotosudarmo. Sejak 2011, laboratorium ini telah dikenal internasional dengan riset pigmen dari SDA Indonesia.

Laboratorium bekerja dengan teknik separasi kromatografi, serta determinasi struktur dan fungsi pigmen dengan spektrometri massa. Selain itu juga mengembangkan bioteknologi dan biologi molekuler untuk mempelajari lebih dalam biosintesis pigmen.

Berbagai penghargaan bergengsi telah diperoleh Brotosudarmo antara lain Science & Technology Award 2015 dari Indonesia Toray Science Foundation, Alumni Award 2017 dari British Council, Fellow Kavli Frontier of Science, Fellow 63rd Meeting of Nobel Laureate in Lindau, Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, dan Georg Foster Fellow dari Alexander von Humboldt Foundation Jerman.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.5227 seconds (0.1#10.140)