Atasi Krisis Energi Lewat Produksi Biodiesel Berbahan Ragi

Selasa, 23 Oktober 2018 - 13:59 WIB
Atasi Krisis Energi Lewat Produksi Biodiesel Berbahan Ragi
Dosen ITS Surabaya Siti Zullaikah (kiri) mencobamemanfaatkan ragi L.starkeyi sebagai jalan keluar dari permasalahan energi lewat produksi biodiesel yang ramah lingkungan.Foto/SINDOnews/Aan Haryono.
A A A
SURABAYA - Krisis bahan bakar yang melanda dunia juga dirasakan di Indonesia. Menurunnya persediaan bahan bakar fosil serta harganya yang tidak stabil menjadi salah satu penyebab. Dengan begitu Butuh energi alternatif sebagai solusi jangka panjang yang bisa digunakan di sektor energi.

Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Siti Zullaikah mencoba untuk memanfaatkan ragi L.starkeyi sebagai jalan keluar dari permasalahan energi lewat produksi biodiesel yang ramah lingkungan.

Zulle, panggilan akrabnya menuturkan, ada banyak energi alternatif yang kemudian ditawarkan guna menghadapi situasi saat ini diberbagai negara maju. Mulai dari tenaga matahari, angin, air, reaksi kimia, dan lainnya tentu memiliki kelebihan masing-masing. Namun, tidak banyak energi alternatif yang mudah penerapannya pada alat transportasi. Makanya perlu dicari energi alternatif yang lebih ramah lingkungan.

“Salah satu energi alternatif yang sudah diproduksi secara komersial serta pemanfaatannya tidak perlu modifikasi mesin kendaraan adalah biodiesel,” ujar Zulle, Selasa (23/10/2018).

Dosen Teknik Kimia ITS ini menambahkan, setidaknya ada dua sumber yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan biodiesel, yakni bahan baku yang dapat dikonsumsi serta bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi. Kebanyakan industri sebenarnya telah memproduksi biodiesel dari bahan baku yang dapat dikonsumsi.

“Seperti pemerintah Indonesia yang memproduksi biodiesel dari minyak kelapa sawit, namun biaya produksi yang dapat mencapai 70 persen dari total biaya produksi menjadi masalah utama komersialisasi biodiesel tersebut,” ucapnya.

Ia melanjutkan, pemanfaatan bahan baku nonkonsumsi adalah pilihan utama dalam produksi biodiesel. Pilihan jatuh pada microbial oil (minyak yang dihasilkan oleh mikroba) yang dihasilkan ragi jenis oleaginous, secara spesifik menggunakan L.starkeyi sebagai objek penelitiannya sejak 2004.

L.starkeyi, katanya, mempunyai kandungan minyak yang tinggi hingga 60 persen. Ia juga memiliki komposisi asam lemak yang sesuai untuk bahan baku biodiesel. Selain itu, mikroba ini mempunyai siklus produksi yang pendek dan tidak bergantung pada musim dan cuaca, serta mudah untuk dikembangbiakkan.

“Minyak yang dihasilkan pun lebih mudah diekstraksi dibandingkan dengan minyak yang dihasilkan alga,” ucapnya.

Dijelaskan Zulle, rata-rata ragi ini mengakumulasi minyak dalam proses metabolismenya hingga 40 persen dari biomassanya. Namun, dalam kondisi keterbatasan nutrisi, mereka dapat mengakumulasi minyak melebihi 70 persen dari biomassa.

“Ragi oleaginous adalah mikroorganisme bersel satu (uniseluler), tanpa endotoksin, dan bisa direkayasa genetik serta cocok untuk fermentasi dalam skala besar,” jelas doktor lulusan National Taiwan University of Science and Technology (NTUST) ini.

Dari penelitian ini, Zulle berharap, Indonesia memiliki sistem produksi biomassa dan produk berbasis bio yang terintegrasi menggunakan konsep biorefinery. Yakni proses eksplorasi biomassa menjadi berbagai produk yang dapat dipasarkan, seperti energi.

Penggerak utama untuk pendirian biorefinery adalah pada aspek keberlanjutan berupa ketersediaan bahan baku. “Konsep ini sangat sesuai dengan negara kita, Indonesia, yang kaya akan berbagai macam biomassa, makroalga, mikroalga dan mikroorganisme,
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.9180 seconds (0.1#10.140)