Corona dan Bahasa Jawa Mataraman yang Menjengkelkan

Sabtu, 21 Maret 2020 - 07:00 WIB
Corona dan Bahasa Jawa Mataraman yang Menjengkelkan
Ahmad Zainul Hamdi.Foto/ist
A A A
Ahmad Zainul Hamdi
Dosen Universitas Islam Negeri Surabaya (Uinsa)

Sejak keluar surat himbauan resmi agar sekolah “meliburkan” siswa-siswanya dan mengganti metode pengajaran dengan sistem daring, para orang tua mau tak mau harus menjadi guru dadakan. Mereka harus siap ditanya apa saja oleh anaknya. Di sinilah persoalan mulai muncul. Karena orang tua bukan guru kelas yang menguasai semua mata pelajaran, yang terjadi adalah banyak orang tua yang angkat tangan. Si anak pun diam-diam menyadari bahwa segalak-galaknya Ibu guru di sekolah tak bisa mengalahkan kemarahan mama yang sedang jengkel di rumah.

Hari ini, kejengkelan itu diam-diam merayap dalam diri saya. Saya diminta anak saya menemaninya mengerjakan ujian akhir semester secara daring. Sebagai ayah yang bertanggung jawab, tentu saja saya menyambutnya dengan antusias. Masalahnya adalah mata pelajarannya: Bahasa Jawa. Hati saya menciut seketika.

Dia bertanya arti beberapa kosa kata Jawa, saya tidak tahu. Dia bertanya arti sebuah kalimat Jawa, saya memandangnya sambil menggelengkan kepala. Sebagai ayah yang baik dan tidak ingin dipermalukan Bahasa Jawa di depan anaknya, saya mencoba menerka-nerka arti kalimat tersebut, tapi sumpah mati saya gak paham.

Jangankan membantunya menjawab pertanyaan, memahami pertanyaannya saja saya tidak sanggup. Anak saya dengan tertatih-tatih meniti titian kata demi kata masih memungkinkan untuk menebak-nebak. Saya angkat tangan. Saya jengkel bercampur marah karena merasa dipermalukan mata pelajaran ini di depan anak saya. Harga diri saya hancur berkeping-keping gara-gara Bahasa Jawa.

Sesungguhnya, seberapa banyak orang tua di wilayah Surabaya dan sekitarnya yang tahu arti kata “andharan”, “ancas”, “purwaka”, “agnya”, dan beberapa kata lain dalam mata pelajaran Bahasa Jawa di sekolah? Kecuali orang-orang Jawa Timur yang hidup di wilayah Mataraman (dari Blitar hingga Ngawi), saya yakin hanya bisa dihitung dengan jari. Bisa dibayanghkan betapa bingungnya mereka ini ketika ditanya oleh anak-anaknya yang sedang belajar atau mengerjakan tugas Bahasa Jawa dari sekolahnya.

Mau memanggil guru Bahasa Jawa untuk memberi les privat ke anak juga terasa “tidak umum”. Dengan mempertimbangkan kepentingan dan keterbatasan budget, orang tua biasanya leih memilih memberi fasilitas anaknya les matematika atau IPA atau Bahasa inggris daripada Bahasa Jawa. Akhirnya, nilai pelajaran Bahasa Jawa akan diterima dengan penuh ikhlas oleh para orang tua, tanpa banyak tanya-selidik ke anaknya.

Yang lebih tragis lagi, begitu anak menapaki jenjang-jenjang pendidikan lebih tinggi, di mana pelajaran Bahasa Jawa sudah tidak lagi menjadi pelajaran yang menghantui di sekolah, “andharan” dan kawan-kawan tidak hanya tidak digunakan, tapi juga secara ajaib lenyap dalam ingatan.

Apakah anak-anak itu tidak mencintai Bahasa Jawa? Apakah anak-anak itu tidak bertutur dengan Bahasa Jawa? Kecuali anak-anak Surabaya (atau kota-kota besar lain) yang tumbuh dalam lingkaran sangat ekslusif, sebagian besar anak-anak ini adalah petutur Bahasa Jawa aktif. Bahkan mungkin Bahasa Jawa adalah bahasa yang pertama kali didengar telinga bayinya dan dilafalkan oleh lidah cedal kanak-kanaknya.

Masalahnya bukan apakah mereka mencintai dan bertutur memakai Bahasa Jawa atau tidak, tapi mengapa Bahasa Jawa yang diajarkan di sekolah seperti bahasa dari planet lain di telinga mereka. Padahal, sebagai petutur Bahasa Jawa selama ini mereka tidak memiliki persoalan dalam memahami ungkapan-ungkapan Jawa. Mengapa tiba-tiba ketika belajar Bahasa Jawa di sekolah terasa lebih berhantu daripada Bahasa Inggris, misalnya.

Ini juga bukan persoalan sebagaimana yang dihadapi dalam pelajaran Bahasa Indonesia, di mana siswa dituntut berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidahnya. Jika ini persoalannya, para siswa itu sadar tentang perbedaan antara bahasa Indonesia tutur-pasaran dengan Bahasa Indonesia resmi yang digunakan dalam dokumen resmi maupun tulisan ilmiah.

Dalam kasus Bahasa Jawa, persoalan yang dihadapi anak-anak Jawa Timur secara umum (pengecualian wilayah Mataraman dan Madura) adalah bahwa Bahasa Jawa yang mereka pelajari di sekolah sungguh-sungguh bahasa asing. Nyaris hanya satu-dua kosa kata yang mereka pahami. Jika mereka harus memperkirakan maksud sebuah kalimat, energi yang mereka keluarkan seperti memahami kalimat Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Betul-betul Bahasa Jawa yang asing.

Yang ingin saya protes adalah mengapa anak-anak Jawa non-Mataraman harus diajari Bahasa Jawa Mataraman. Apakah yang disebut Jawa hanya merujuk pada Surokarto (Solo) dan Ngayogjokarto (Yogyakarta)? Apakah yang dianggap Bahasa Jawa hanya Boso Jowo Mentaraman? Apakah Boso Jowo Suroboyoan tidak dianggap sebagai Bahasa Jawa?

Saya tahu, pasti banyak yang akan menjawab dengan logika oposisi biner: resmi vs tak resmi, adiluhung /luhur vs asor / rendah. Yang dianggap sebagai resmi dan adiluhung tentu saja adalah Bahasa Jawa Mataraman. Inilah narasi yang selalu disuarakan.

Banyak yang tidak sadar bahwa inilah praktik hegemoni budaya. Untuk membongkarnya sebenarnya mudah. Ajukan saja pertanyaan: siapa yang menentukan bahwa Bahasa Jawa Mataran itu adiluhung dan non-Mataraman sebagai rendahan? Siapa yang memutuskan bahwa Bahasa Jawa Mataram adalah Bahasa Jawa resmi dan non-Mataraman tak resmi? Pertanyaan ini akan bisa mendekonstruksi (membongkar) praktik dominasi dan hegemoni yang ada di balik narasi keadiluhungan Jowo Mentaraman. Dari sini juga bisa dibongkar praktik kuasa pelajaran Bahasa Jawa Mataraman di sekolah-sekolah yang seakan tak bisa dipertanyakan dan diganggu gugat.

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu pasti mengarah pada satu titik, yaitu Mataram itu sendiri. Yang menentukan bahwa sebuah budaya (termasuk bahasa) adiluhung dan yang lain tidak adalah kekuatan politik. Siapa yang berkuasa, dialah yang akan mendefinisikan mana yang benar dan mana yang salah, mana budaya yang luhur dan rendah. Cap adiluhung atau tidak dalam praktik kebudayaan sesungguhnya adalah gambaran bagaimana kekuasaan dipraktikkan. Jawaban atas seluruh pertanyaan di atas tidak ditentukan dari sebuah kesepakatan, tapi sepenuhnya ditentukan melalui praktik dominasi dan hegemoni dalam konteks ketakseimbangan relasi kuasa (power relation).

Mataram dianggap adiluhung bukan karena di dalam dirinya sendiri menyimpan kebenaran objektif sebagai budaya adiluhung, tapi karena ketetapan politik oleh Mataram sendiri sebagai pemegang kuasa. Budaya non-Mataram ketika dicap sebagai rendah, tak berbudi, banal, kasar (bahkan dengan kejam sering dianggap sebagai tak berbudaya), bukan karena begitulah kenyataannya, tapi karena didefinisikan oleh pemegang otoritas budaya dalam relasi kuasa yang tak setara.

Daripada mengajari siswa-siswa-Jawa Jawa Timur non-Mataraman dengan Bahasa Jawa Mataraman, lebih baik mereka dididik Bahasa Jawa milik mereka sendiri. Biarlah siswa Surabaya belajar Boso Jowo Suroboyoan, karena itulah sesungguhnya modal budaya (cultural capital) otentiknya. Mengajari mereka dengan budaya (bahasa) Jawa Mataraman justru membuat mereka tumbuh menjadi manusia yang tidak otentik. Bahasa Jawa Suroboyoan juga adalah Bahasa Jawa.
(msd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.4481 seconds (0.1#10.140)