Pemerintah Perlu Alih Fungsi Gedung untuk Rawat Pasien Corona

Sabtu, 28 Maret 2020 - 09:55 WIB
Pemerintah Perlu Alih Fungsi Gedung untuk Rawat Pasien Corona
Wisma Atlet yang dahulunya dibangun sebagai tempat singgah para atlet dalam ajang Asian Games 2018, kini empat tower-nya disulap menjadi ruang rawat inap pasien corona. Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia kembali mengumumkan jumlah kasus virus corona yang terus meningkat setiap harinya. Tak heran, bila beberapa bangunan seperti hotel dan fasilitas lain disulap menjadi rumah sakit darurat corona.

Banyak gedung yang dialihfungsikan sebagai rumah sakit darurat penanganan Covid-19. Di Jakarta, Wisma Atlet yang dahulunya dibangun sebagai tempat singgah para atlet dalam ajang Asian Games 2018, kini empat tower-nya disulap menjadi ruang rawat inap pasien corona.

Tower ?1 dengan kapasitas 650 unit dan mampu menampung maksimal 1.750 orang digunakan untuk dokter dan petugas medis. Tower 3 dari lantai 1 hingga 24 digunakan sebagai posko Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Tower 6 lantai 1 hingga 24 diperuntukkan sebagai ruang rawat inap pasien. Dalam ruangan ini, satu kamar mampu menampung dua sampai 3 pasien.

Adapun tower 7 akan dibagi menjadi beberapa fungsi. Lantai 1 digunakan sebagai Instalasi Gawat Darurat (IGD), lantai 2 untuk Intensive Care Unit (ICU), lantai 3 digunakan untuk ruang istirahat, dan lantai 4 hingga 24 dipakai sebagai ruang rawat inap.

Tak hanya Wisma Atlet yang dialihfungsikan, asrama haji di sejumlah wilayah seperti Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), dan Balikpapan (Kalimantan Timur) juga dipersiapkan untuk rumah sakit darurat Covid-19.

Hal ini pun ditegaskan Staf Khusus Kementerian BUMN, Arya Sinulingga, dalam siaran khususnya melalui media streaming. Seperti yang sudah diperintahkan Menteri BUMN, ini merupakan duplikasi seperti yang telah dikerjakan pada Wisma Atlet Jakarta, dan ini akan terus dilakukan di beberapa daerah.

"Kami akan melakukan kerja sama dengan Kementerian Agama yang memungkinkan Kementerian BUMN memanfaatkan asrama haji untuk digunakan sebagai rumah sakit darurat yang menangani pasien virus korona di berbagai daerah," jelasnya.

Sejumlah hotel BUMN juga akan dijadikan tempat peristirahatan untuk tenaga medis yang merawat pasien Covid-19. Bahkan salah satu hotel milik BUMD DKI Jakarta, Hotel Grand Cempaka Business Jakarta, sudah beroperasi sebagai tempat istirahat tim medis yang menangani kasus korona.

Lantas, seberapa efektifkah langkah pemerintah melakukan alih fungsi gedung-gedung tersebut sebagai rumah sakit darurat Covid-19?

Anggota DPR Komisi X Ana Thahir menegaskan, ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk memilih seperti apakah ruangan yang ada sudah sesuai standar ruang rawat inap, apakah penggunaan alat medis bisa dipenuhi, dan juga apakah ada tempat untuk pengolahan limbahnya?

"Memang alih fungsi tempat ini dalam keadaan darurat, namun jangan lupa juga untuk memperhatikan standardisasinya. Seperti apakah ruang isolasi nantinya bisa cukup menampung, ruang rawat inap sesuai dengan standar WHO, ketersediaan alat medis dan SDM, serta persoalan limbah harus tetap disiapkan dengan sangat teliti dan cermat," ungkap Ana saat dihubungi KORAN SINDO.

Jika dilihat sekilas, ketersediaan kamar-kamar yang ada di Wisma Atlet dan hotel-hotel tersebut memang cukup banyak. Namun, ruang isolasi dan ruang rawat bagi para pasien Covid-19 jelas membutuhkan spesifikasi khusus mengingat sifat penularan virus ini yang begitu cepat.

"Memang menyiapkan kamar rawat yang sesuai dengan spesifikasi khusus dalam waktu singkat tentunya akan menjadi tantangan tersendiri. Tapi tetap jangan mengurangi ketelitian dan kurang cermat karena alasan waktu," jelasnya.

Ana juga meminta untuk menambahkan pembuangan limbahnya. Pada saat mengalihfungsikan bangunan nonrumah sakit seperti Wisma Atlet sebagai rumah sakit darurat Covid-19, pembuangan limbah menjadi masalah utama yang harus dipikirkan. (Gawat, Korban Corona di Indonesia Tembus 1.046 Orang, 87 Meninggal Dunia)

“Jika memilih untuk mengubah secara keseluruhan, pastinya tidak mungkin karena tidak ada waktu dan biaya. Namun, tetap harus ada upaya cermat dan tepat agar bangunan tersebut bisa digunakan secara efektif," kata Ana.

Melihat hal itu, Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Diah Agustina mengatakan saat wabah korona sudah mulai meningkat dan sudah terjadi overload di RS rujukan, maka harus ada tempat yang dikhususkan menangani itu. Sebagai contoh adalah Wisma Atlet.

"Di samping itu, pemerintah juga harus mengatur alur pasien rujukan. RS darurat Covid-19 nantinya akan menjadi rumah sakit rujukan bagi pasien Covid-19 dari wilayah sekitar Jakarta, seperti Bekasi, Bogor, Depok, dan Tanggerang," kata Diah.

Untuk mencegah terjadinya penumpukan pasien, pemerintah juga harus bisa mengatur alur rujukan agar tidak semua orang bisa ke RS darurat Covid-19. "Hanya yang memenuhi kriteria yang bisa dirawat di sana, yaitu berstatus ODP dan PDP," jelasnya.

Untuk membuat rumah sakit rujukan ini berjalan dengan baik, sebaiknya pemerintah membangun integrasi sistem yang baik sehingga mampu mengurangi beban rumah sakit rujukan. "Jadi, RS rujukan itu hanya terkoneksi merawat kondisi berat yang membutuhkan peralatan dan SDM, serta tim kuat untuk menanganinya," tegasnya.

Diah menilai RS darurat Covid-19 ini sudah sangat efektif dan juga bisa dijadikan contoh penanganan pasien Covid-19 sesuai WHO. Misalnya dengan menggunakan alat proteksi diri yang telah ditentukan.

Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan pengaturan jam kerja para tenaga medis. "Sebaiknya tenaga kesehatan yang bertugas dierlakukan jam khusus, seperti 14 hari kerja dan 14 hari libur atau dikarantina, sehingga saat selesai bertugas mereka tetap bisa kontak dengan keluarga karena sudah menjalani karantina," tegasnya.

Pola penanganan yang minimal juga menjadi hal yang harus ditegaskan. Bila tidak ada kondisi urgent atau darurat, monitoring bisa dilakukan dengan teknologi. "Komunikasi lebih banyak dengan komunikasi digital. Itu salah satu cara supaya kami tenaga medis terproteksi," ungkap Diah.

Meskipun keberadaan RS darurat Covid-19 dianggap menjadi solusi tepat untuk bisa menangani para pasien, tetap saja ada dampak negatif yang harus dipikirkan, terutama pembuangan limbah medisnya.

Menurut pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, apa yang dilakukan pemerintah untuk mengalihfungsikan beberapa tempat menjadi rumah sakit itu sangat bagus, tapi tetap jangan mengabaikan keberadaan limbah medisnya. Terlebih lagi, Wisma Atlet dan beberapa hotel tersebut tidak memiliki tempat pembuangan khusus medis.

"Itu kan awalnya untuk tempat penginapan, pastinya tidak memiliki saluran khusus untuk limbah medis. Jangan sampai limbah bekas infus, suntikan, dan juga jarum disalahgunakan hanya karena tidak memiliki tempat pembuangannya. Jadi, jangan sampai malah menambah korban," tegas Agus.

Agus menambahkan, sampai saat ini dirinya masih bertanya kepada pihak terkait seperti Kementerian PUPR dan LHK, sebab hingga kini belum ada rencana spesifik untuk pembuangan limbah tersebut.

"Saya bilang untuk tidak membakar sampah limbah korona ini, karena jika dibakar maka dioksin dari limbah tersebut akan mencemari udara dan bisa jadi malah lebih berbahaya. Jadi, tidak hanya cepat menyulap saja, tetapi limbahnya juga harus dipikirkan," jelasnya
(msd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.7596 seconds (0.1#10.140)