Perjuangan Kaum Perempuan, Dapat Kado Pahit Vonis Baiq Nuril

Senin, 19 November 2018 - 12:10 WIB
Perjuangan Kaum Perempuan, Dapat Kado Pahit Vonis Baiq Nuril
Vonis Baiq Nuril, menjadi kado pahit perjuangan para perempuan. Foto/Ilustrasi/Dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan di bulan November ini, mendapatkan kado pahit vonis Mahkamah Agung (MA) terhadap Baiq Nuril Maknun.

Politikus Partai Gerindra, Rahayu Saraswati mengkritik vonis yang dijatuhkan terhadap mantan guru honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut.

"Ini kado pahit untuk perjuangan perempuan. Sangat disayangkan sepertinya keputusan MA tidak mempertimbangkan aspek kekerasan verbal yang diterima Nuril," ujar Anggota Komisi VIII DPR RI ini kepada SINDOnews, Senin (19/11/2018).

Baiq Nuril divonis hukuman 6 bulan penjara, dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan penjara oleh MA. Nuril dinilai melanggar Pasal 27 Ayat 1 UU ITE, karena menyebarkan informasi elektronik bermuatan materi asusila.

Di sisi lain, Nuril dinilai sejumlah pihak merupakan korban pelecehan seksual secara verbal oleh eks kepala sekolah SMAN 7 Kota Mataram, Muslim, saat keduanya bertemu ataupun melalui saluran telefon.

"Nuril merekam itu sebagai bukti adanya perilaku kekerasan oleh atasannya bilamana nanti terjadi perkara hukum di masa mendatang, dia memiliki satu bukti, selain kesaksiannya," kata keponakan dari Calon Presiden Prabowo Subianto itu.

Sedangkan rekaman Nuril tersebar saat rekan sekantornya HIM dan NA meminjam telepon gengamnya. Nuril tidak menyadari ternyata isi rekaman dalam teleponnya dikemudian hari tersebar dan berujung pada pelaporan Muslim ke kepolisian.

Sara pun berpendapat, kuatnya UU ITE dalam menjerat Nuril tidak sepadan dengan upaya negara melindungi perempuan dari segala aksi kekerasan.

Sebab, hukuman terhadap Nuril ini akan memasung kembali semangat para perempuan di Indonesia, dalam upaya melindungi diri dari ancaman kekerasan yang dapat menimpa mereka.

"Dengan segala hormat kepada MA, saya tidak melihat negara hadir dalam putusan tersebut. Seorang perempuan yang berani bersuara karena mendapatkan kekerasan, itu sudah sesuatu yang luar biasa di Indonesia, karena mayoritas memilih diam," katanya.

Selain itu, dia menilai perlu adanya revisi terhasap UU ITE dalam perpesktif upaya seseorang melindungi hak-haknya. Dia pun berharap Komisi VIII dan pemerintah bisa segera merampungkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sebagai langkah maju perlindungan terhadap perempuan.

"Salah satunya mengatur mengenai terjadinya kekerasan seksual karena relasi kuasa. Dimana kasus itu terjadi karena pelaku memanfaatkan kekuasaannya kepada korban, seperti kasus bu Nuril ini," pungkasnya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.4789 seconds (0.1#10.140)