Orang Gila Kok Bisa Memilih di Pemilu, Ini Penjelasan KPU

Kamis, 22 November 2018 - 21:16 WIB
Orang Gila Kok Bisa Memilih di Pemilu, Ini Penjelasan KPU
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra. Foto/Dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno menolak rencana KPU mengakomodir penyandang disabilitas mental atau gangguan jiwa bisa ikut memilih.

Lalu apa pejelasan KPU? KPU berdalih menjalankan dan mematuhi putusan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Kontitusi (MK).

"Pada prinsipnya disability tetap dilayani, apapun jenis disability," kata Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari dalam pers rilisnya kepada wartawan, Kamis (22/11/2018).

Hasyim menegaskan, khusus untuk disabilitas mental (sakit jiwa) tetap didaftar sebagai pemilih. Hanya saja penggunaan hak pilih disesuaian dengan hari H pemungutan suara berdasarkan rekomendasi dokter yang merawatnya.

Menurutnya, jika pada hari H yang bersangkutan dalam kondisi 'waras' maka, mendapatkan hak pilihnya, demikian dikatakan sebaliknya.

"Pendataan disability mental tentu lihat sikon. Bila saat pendataan yang bersangkutan sedang "kumat", tentu tidak mungkin ditanya sendiri. Yang paling memungkinkan pendataan dengan bertanya kepada keluarga/dokter/tenaga medis yang merawatnya," ujarnya.

Maka itu, lanjut dia, penyandang disabilitas mental yang memungkinkan didaftar adalah hanya yang berada di rumah berkumpul bersama keluarga atau sedang dirawat di Rumah Sakit Jiwa atau panti-panti yang sejenisnya.

Hasyim berpendapat bahwa penyandang disabilitas mental pada dasarnya tidak dapat melakukan tindakan (hubungan) hukum, sehingga tindakannya tidak dapat dimintai tanggung jawab (pertanggungjawaban). Hubungan hukum pada dasarnya adalah hubungan pertanggungjawaban.

Padahal dalam hukum, perlakuan terhadap disability mental dianggap sama dengab perlakuan terhadap anak di bawah umur, yaitu dianggap belum dewasa atau tidak cakap melakukan tindakan hukum. Karena itu dalam pengampuan oleh wali atau keluarga yang dewasa atau cakap secara hukum.

"Itulah alasan kenapa dalam hal penggunaan hak pilih, disability mental harus ada penjamin oleh pihak yang punya otoritas (dokter) bahwa yang bersangkutan pada Hari-H sedang waras dan karenanya yang bersangkutan cakap melakukan tindakan hukum untuk memilih," jelas dia.

"Karena itu secara awam muncul pandangan: orang gila didaftar sebagai pemilih, ini sebenarnya siapa yang gila: KPU-nya atau siapa?" ketus mantan Ketua KPU Jawa Tengah ini menambahkan.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.8845 seconds (0.1#10.140)