Di Depan 400 Juri Guangzhou International Award, Risma Jelaskan Cara Kendalikan Sampah
A
A
A
GUANGZHOU - Dihadapan 400 juri dan 14 finalis The Guangzhou International Award 2018, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjelaskan tentang cara mengelola sampah di Kota Pahlawan.
Tahapan ini menjadi salah satu syarat untuk menyegel penghargaan The Guangzhou International Award 2018. Setelah sebelumnya para warga Surabaya memberikan vote melalui internet.
Risma menjelaskan, pada 2003 Surabaya mengalami masalah besar sampah. Saat itu, Surabaya dikenal sebagai kota yang panas, kering, dan sering banjir selama musim hujan. Hampir 50 persen dari total wilayah Surabaya banjir pada waktu itu.
“Mengatasi masalah ini, kami mengajak partisipasi masyarakat yang kuat untuk bekerja bahu membahu dengan pemerintah kota dalam melakukan pengelolaan limbah," kata Risma saat menyampaikan paparannya dalam Guangzhou International Award di China, Jumat (7/12/2018).
Ia melanjutkan, pihaknya kemudian menciptakan berbagai macam program dan kebijakan untuk menyelesaikan masalah ini, agar tidak membebani anggaran lokal. Diantaranya yakni, mengajak masyarakat untuk ikut berperan serta bersama pemerintah mengatasi permasalahan sampah.
Bahkan, katanya, warga mulai diajarkan bagaimana mengelolah sampah secara mandiri, yang berkonsep pada 3R (Reuse, Reduce dan Recycle). “Partisipasi publik yang kuat menjadi faktor utama keberhasilan Kota Surabaya dalam mengatasi permasalahan sampah,” ujarnya.
Metode pengomposan sederhana dengan biaya rendah juga diperkenalkan ke masyarakat dengan menggunakan keranjang Takakura di setiap rumah. Bahkan, warga mulai diajak mendirikan bank sampah, dimana orang dapat menjual sampah anorganik mereka secara teratur dan menarik uang ketika mereka membutuhkannya.
Risma juga menjelaskan, banyak bahan dari sampah yang digunakan kembali sebagai dekorasi kampung, pot bunga, pohon natal, dan sebagainya. Orang-orang juga mendaur ulang sampah anorganik menjadi produk yang bernilai ekonomis untuk dijual dan mendapatkan penghasilan tambahan.
Ia mengatakan, Surabaya juga bekerja sama dengan mitra internasional dalam metode pengelolaan limbah, termasuk Kota Kitakyushu untuk pengomposan dan pemilahan sampah, serta Swiss untuk penggunaan lalat hitam dengan tujuan mengurangi sampah organik.
“Metode lalat hitam dilaksanakan di tingkat rumah tangga. Sementara pengomposan, dilaksanakan di tingkat kelurahan dan kota,” jelasnya.
Surabaya sendiri menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang menjadi finalis The Guangzhou International Award 2018. Kota Pahlawan akan berkompetisi dengan 14 kota lain seperti Sydney (Australia), Repentigny (Canada), Milan (Italy), eThekwini (South Africa), Guadalajara (Mexico), Utrecht (Netherlands), New York (USA), Yiwu (China), Santa Ana (Costa Rica), Kazan (Russia), Mezitli (Turkey), Santa Fe (Argentina), Salvador (Brazil), dan Wuhan (China).
Tahapan ini menjadi salah satu syarat untuk menyegel penghargaan The Guangzhou International Award 2018. Setelah sebelumnya para warga Surabaya memberikan vote melalui internet.
Risma menjelaskan, pada 2003 Surabaya mengalami masalah besar sampah. Saat itu, Surabaya dikenal sebagai kota yang panas, kering, dan sering banjir selama musim hujan. Hampir 50 persen dari total wilayah Surabaya banjir pada waktu itu.
“Mengatasi masalah ini, kami mengajak partisipasi masyarakat yang kuat untuk bekerja bahu membahu dengan pemerintah kota dalam melakukan pengelolaan limbah," kata Risma saat menyampaikan paparannya dalam Guangzhou International Award di China, Jumat (7/12/2018).
Ia melanjutkan, pihaknya kemudian menciptakan berbagai macam program dan kebijakan untuk menyelesaikan masalah ini, agar tidak membebani anggaran lokal. Diantaranya yakni, mengajak masyarakat untuk ikut berperan serta bersama pemerintah mengatasi permasalahan sampah.
Bahkan, katanya, warga mulai diajarkan bagaimana mengelolah sampah secara mandiri, yang berkonsep pada 3R (Reuse, Reduce dan Recycle). “Partisipasi publik yang kuat menjadi faktor utama keberhasilan Kota Surabaya dalam mengatasi permasalahan sampah,” ujarnya.
Metode pengomposan sederhana dengan biaya rendah juga diperkenalkan ke masyarakat dengan menggunakan keranjang Takakura di setiap rumah. Bahkan, warga mulai diajak mendirikan bank sampah, dimana orang dapat menjual sampah anorganik mereka secara teratur dan menarik uang ketika mereka membutuhkannya.
Risma juga menjelaskan, banyak bahan dari sampah yang digunakan kembali sebagai dekorasi kampung, pot bunga, pohon natal, dan sebagainya. Orang-orang juga mendaur ulang sampah anorganik menjadi produk yang bernilai ekonomis untuk dijual dan mendapatkan penghasilan tambahan.
Ia mengatakan, Surabaya juga bekerja sama dengan mitra internasional dalam metode pengelolaan limbah, termasuk Kota Kitakyushu untuk pengomposan dan pemilahan sampah, serta Swiss untuk penggunaan lalat hitam dengan tujuan mengurangi sampah organik.
“Metode lalat hitam dilaksanakan di tingkat rumah tangga. Sementara pengomposan, dilaksanakan di tingkat kelurahan dan kota,” jelasnya.
Surabaya sendiri menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang menjadi finalis The Guangzhou International Award 2018. Kota Pahlawan akan berkompetisi dengan 14 kota lain seperti Sydney (Australia), Repentigny (Canada), Milan (Italy), eThekwini (South Africa), Guadalajara (Mexico), Utrecht (Netherlands), New York (USA), Yiwu (China), Santa Ana (Costa Rica), Kazan (Russia), Mezitli (Turkey), Santa Fe (Argentina), Salvador (Brazil), dan Wuhan (China).
(vhs)