PT PLN Raih Keuntungan Rp9,6 Triliun

Kamis, 17 Januari 2019 - 10:31 WIB
PT PLN Raih Keuntungan Rp9,6 Triliun
PLN berhasil menjula volume penjualan sampai dengan September 2018 sebesar 173 Terra Watt hour (TWh) atau tumbuh 4,87% dibandingkan tahun lalu sebesar 165,1 TWh.Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT PLN (persero) berhasil mencetak laba pada kuartal III/2018 sebelum selisih kurs sebesar Rp9,6 triliun.

Angka itu meningkat 13,3% dibandingkan periode sama tahun 2017 sebesar Rp8,5 triliun. Kenaikan laba ditopang oleh kenaikan penjualan dan efisiensi yang dilakukan perusahaan serta adanya kebijakan peme - rintah mengenai DMO harga batu bara. ”Keadaan PLN jelas sehat secara cash flow.

Sebab yang terpenting itu adalah bagaimana menjaga kesehatan cash flownya, dan PLN dalam kondisi yang sehat,” ujar Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto di Jakarta, kemarin. Menurut dia, nilai penjualan tenaga listrik mengalami kenaikan sebesar Rp12,6 triliun atau 6,93% sehingga menjadi Rp194,4 triliun dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp181,8 triliun.

Volume penjualan sampai dengan September 2018 sebesar 173 Terra Watt hour (TWh) atau tumbuh 4,87% dibandingkan tahun lalu sebesar 165,1 TWh. Perusahaan juga terus mempertahankan tarif listrik tidak naik dalam menjaga daya beli masyarakat dan agar bisnis serta industri semakin kompetitif guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Adapun jumlah pelanggan pada kuartal III/2018 mencapai 70,6 juta atau bertambah 2,5 juta pelanggan dari akhir tahun 2017 sehingga mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional dari 95,07% pada 31 Desember 2017 menjadi 98,05% pada 30 September 2018.

Capaian rasio elektrifikasi ini melebihi target tahun 2018 yang dipatok sebesar 96,7%. Sejalan dengan kemajuan program 35 GW, maka sejak Januari 2015 sampai dengan September 2018, PLN telah menanamkan dana untuk investasi sebesar Rp248 triliun. Karena pada periode sama peningkatan jumlah pinjaman hanya Rp148 triliun atau 60% dari total investasi.

”Hal ini menunjukkan kekuatan dana internal PLN masih sangat memadai, yaitu sekitar 40% atau Rp100 triliun dari seluruh kebutuhan investasi tersebut,” kata dia. Kendati sebagian besar pinjaman PLN masih akan jatuh tempo pada 10–30 tahun mendatang.

Tapi, berdasarkan standar akuntansi yang berlaku dan hanya untuk keperluan pelaporan keuangan, maka pinjaman valas tersebut harus diterjemahkan ke dalam mata uang rupiah sehingga memunculkan adanya pembukuan rugi selisih kurs yang belum jatuh tempo (unrealized loss) sebesar Rp17 triliun.

Unrealized forex loss atau kerugian secara pembukuan akibat kenaikan kurs mata uang asing namun tidak berdampak pada arus kas atau cash flow. Unrealize forex loss yang tercatat pada laporan keuangan PLN akibat terjadinya pelemahan rupiah, sementara perseroan memiliki kewajiban atau utang dalam bentuk dolar, bahkan sering kali kontrak PLN dengan IPP (Independent Power Producer) pun dalam bentuk dolar.

Karena itu, kalau kewajiban jangka panjangnya dihitung berdasarkan kurs sekarang ini, maka akan terjadi yang disebut unrealize forex loss. ”Kewajiban jangka panjang tersebut masih jauh masa jatuh temponya, namun utang tersebut harus dibukukan (tercatat) dengan kurs saat ini.

Itulah kenapadisebut unrealized,” kata dia. Sementara itu, pengamat energi dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM), Fahmy Radhi menilai, pelemahan kurs rupiah yang menyebabkan unrealized lossmerupakan variabel eksternal yang tidak bisa dikontrol (uncontrollable ) oleh manajemen PLN.

Demikian juga dengan penetapan tarif lis trik di luar kewenangan PLN yang ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR. ”Dalam kondisi tersebut, PLN masih bisa meraup laba usaha sebelum selisih kurs sebesar Rp9,6 triliun merupakan pencapaian kinerja menggembirakan yang layak diapresiasi, meskipun laba usaha itu tergerus oleh unrealized loss sebesar Rp17 triliun,” katanya.

Sebagai BUMN strategis, katanya, satu-satunya BUMN yang memproduksi dan mendistribusikan listrik, penilaian kinerja PLN semestinya tidak semata-mata didasarkan atas pencapaian kinerja keuangan (financial per formance).

Akan tetapi, juga didasarkan atas pencapaian kinerja dalam menjalankan PSO, termasuk kinerja pencapaian rasio elektrifikasi yang hampir mencapai 100%. Adanya unrealized loss juga tidak bisa digunakan sebagai dasar penilaian memburuknya kinerja PLN.

Pasalnya, selain kerugian itu belum terealisasi, penyebab utama unrealized loss lebih disebabkan selisih kurs akibat pelemahan kurs rupiah merupakan variabel eksternal yang tidak bisa dikontrol manajemen PLN.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.6930 seconds (0.1#10.140)