Lontong Balap, Cermin Ragam dan Kerasnya Kehidupan Surabaya

Minggu, 20 Januari 2019 - 08:45 WIB
Lontong Balap, Cermin Ragam dan Kerasnya Kehidupan Surabaya
Lontong balap merupakan salah satu kuliner khas Kota Surabaya. Foto/SINDONews/Aan Haryono
A A A
SURABAYA - Lontong balap selalu memiliki cara untuk mengenalkan para pendatang pada Surabaya. Melalui rasanya, semua lidah akan tertinggal untuk selalu ingat cadasnya kehidupan di Kota Pahlawan.

Peluit kereta api berdendang kencang ketika masuk ke Stasiun Pasar Turi. Pagi yang begitu dingin, selepas adzan Subuh menjelang. Sisa genangan air hujan semalam dan para pekerja yang mulai beranjak ke tempat kerjanya.

Supandi (43), sudah mendorong rombong lontong balap berwarna biru ke dekat pintu keluar stasiun. Bersiap menyambut para penumpang yang turun dengan perut keroncongan.

Di samping lapak penjual buku bekas di Jalan Semarang, Supandi mulai mengenalkan lontong balap. Dua tiga ketukan piring dibunyikan, menarik perhatian para pendatang yang datang di Surabaya.

Kursi plastik kecil mulai disiapkan untuk tempat duduk. Tangannya lincah memotong lontong. Aroma legit tauge yang ikut keluar bersama kebulan asap dari panci besar yang dibuat dari tanah liat. "Rasa kuahnya beda kalau pakai panci tanah liat," kata Supandi.

Irisan lontong sengaja dibuat tipis dengan model tirus. Biar para pembelinya mudah untuk melahap. Tahu dan lento goreng melengkapi sajian utama sebelun disiram kuah panas bersama tauge.

Hembusan angin pagi membawa kehangatan lontong balap ke permukaan hidung yang mampu membuka mata dan kesadaran setelah berjam-jam di gerbong kereta. Ketika seseorang datang ke Surabaya, mereka harus berkeringat. Bercucuran karena cuaca yang tetap panas dan pedasnya lontong balap kebanggaan.

Rasa Surabaya yang keras pun diwujudkan dalam sambal petis yang didatangkan langsung dari Kenjeran. Kehadiran petis pada lontong balap menjadikan cita rasanya sempurna melawan dingin di pagi hari.

Untuk merasakan lontong balap cukup merogoh kocek Rp9.000. Harga yang pantas untuk menenangkan perut dan mengenal Surabaya dengan sederhana, dari keberagaman yang tertuang di sepiring lontong balap.

Meskipun lontong balap merupakan makanan khas, tidak banyak yang menjual jenis makanan ini. Pasalnya, kebangkitan kuliner di Surabaya menciptakan banyak menu makanan baru dari berbagai daerah yang bermunculan.

Tapi, banyaknya jenis makanan baru itu tidak mengakibatkan makanan yang mulai dikenal sejak kemerdekaan ini menjadi ciri mutlak bagi seseorang untuk mengenal Surabaya dengan keberagamannya.

Satu ciri khas lontong balap memang terpatri pada rasa pedasnya. Rasa khas itu terbawa ketika orang di kawasan pantai utara (pantura) sangat suka dengan rasa pedas. Sehingga banyak pedagang lontong balap yang meracik bumbu sedemikian rupa agar rasa pedas itu benar-benar mengena di lidah orang yang merasakan masakannya.

Aris Susanto, pemilik lontong balap Garuda Pak Gendut menjelaskan, sambal yang dibuat berasal dari cabe rawit dan tidak dicampur dengan bahan-bahan yang lain. Kemudian cabe tersebut diuleg sampai lembut untuk menciptakan citarasa.

Setelah diuleg, cabe rawit itu digoreng hingga berwarna hitam pekat. Tujuannya digoreng supaya sari cabe dapat keluar, sebab dari sari inilah rasa pedas benar-benar terasa. Kemudian, supaya sambal tidak kering maka ia mencampurnya dengan minyak goreng.

Saat makan di beberapa sendok pertama, rasa pedas memang belum begitu terasa. Hanya rasa rempah dan gurih semerbak langsung terasa di pembukaan rasa. Baru saat sudah selesai menghabiskan setengah porsi rasa pedas itu keluar. Paduan tauge dan lento dan sambal yang hitam pekat menjadi kombinasi yang tepat makanan tradisional ini.

Untuk menambah kenikmatan, sate kerang yang biasanya didatangkan langsung dari Kenjeran dan Sidoarjo melengkapi rasa yang tertinggal. Rangkaian kenangan dan cerita lama tentang Surabaya tiba-tiba hadir dalam lintas ingatan.

Sebenarnya pusat makanan Lontong Balap berada di Wonokromo. Lontong Balap sendiri sangat mirip dengan makanan khas Sidoarjo yakni Kupang Lontong. Namun, rasa segar dan pedas dengan ciri Surabaya yang apa adanya memberikan pembeda.

Dalam berbagai cerita, dulu Lontong Balap dibawa oleh orang dari Sepanjang Sidoarjo ke Wonokromo. Dalam perjalanannya, orang-orang yang membawa lontong saling mendahului. Dalam bahasa Jawa, istilah saling mendahului merupakan balap-balapan. Akhirnya orang Surabaya menyebutnya lontong balap.

Aris menjelaskan, tiap daerah memiliki selera yang berbeda-beda dalam soal makanan. Misalnya daerah Jatim terutama di wilayah pantura yang suka makanan pedas, ini berbeda dengan masakan daerah Jateng terutama di wilayah selatan yang lebih suka makanan yang manis-manis seperti halnya nasi gudeg.

Untuk memenuhi keinginan pasar itu, lontong balap jika dijual di luar Surabaya diperkirakan tidak laku karena lidahnya masyarakatnya sudah berbeda. "Pernah saudara saya mencoba jualan lontong balap di Mojokerto dan juga Sidoarjo, tapi tidak sampai satu bulan sudah tutup karena bangkrut tidak ada pengunjung," ucapnya.

Makanya, lontong balap jarang ditemui di kota-kota selain Surabaya. dengan rasa yang pedas, seseorang harus siap untuk berkeringat. Dari tetesan keringat itu, ingatan akan perjuangan arek-arek Suroboyo akan selalu terkenang dalam sepiring lontong balap
(msd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.5156 seconds (0.1#10.140)