Kolaborasi Orang Tua dan Guru Kunci Sukses Pembentukan Karakter Anak

Selasa, 14 Agustus 2018 - 22:23 WIB
Kolaborasi Orang Tua dan Guru Kunci Sukses Pembentukan Karakter Anak
Permainan tradisional dinilai bisa melatih psikomotorik anak, rasa sosial, moral dan emosional. Foto/Dok SINDOnews
A A A
PASURUAN - Dikarunia buah hati yang sehat dan lucu tentu menjadi idaman banyak orang. Kebahagiaan akan semakin lengkap jika sang buah hati tumbuh dan berkembang menjadi pribadi sesuai yang diharapkan.

Hal inilah yang menjadi harapan Veronika Sutanto (33). Ibu rumah tangga yang dikaruniai lima orang anak asal Bangil, Jawa Timur. Meski berstatus sebagai ibu rumah tangga dan pekerja pabrik, namun Veronika mengaku selalu menyempatkan diri untuk mendampingi anak-anaknya belajar.

‘’Anak pertama hingga ketiga menempuh pendidikan Sekolah Dasar. Sementara yang keempat di PAUD,’’tegasnya. Beruntung, pekerjaannya dari siang hingga sore hari, sehingga saat malam dirinya bisa mendampingi anak-anaknya belajar ekstra.‘’Pagi di sekolah, malam belajar di rumah. Selalu saya tanya apa yang diajarkan oleh guru di sekolah,’’tuturnya Selasa(14/8/2018).

Dia mengungkapkan, dirinya juga sering melakukan komunikasi dengan para guru di sekolah. Hal ini selain untuk mengetahui perkembangan intelektual anak juga untuk mengetahui sisi psikologis atau mental anak. ‘’Guru itu ibarat keluarga, karena membimbing dan menemani anak kita dari pagi hingga siang,’’tegasnya.

Komunikasi intensif yang dilakukan dengan guru tersebut, lanjut dia, juga untuk mengetahui kekurangan anak saat mengenyam pendidikan di sekolah. ‘’Jadi di rumah tinggal dilengkapi. Alhamdulillah anak pertama saya bisa ikut olimpiade matematika tingkat provinsi, meski tidak juara pertama tetapi masuk lima besar,’’tuturnya.

Veronika juga menjauhkan anaknya dari gadget dan lebih memilih mengenalkan mainan tradisional. Alasannya, permainan jenis ini mampu mengembangkan bakat sang buah hati. ‘’Supaya tidak egois menyendiri main gadget. Kalo untuk mainan tradisional biasanya bareng-bareng, jadi ada interkasi soialnya,’’cetusnya.

Permainan tradisional dinilai bisa melatih psikomotorik anak, rasa sosial, moral dan emosional. Selain itu anak menjadi lebih kreatif dibandingkan dengan bermain sendiri dengan gadget-nya.

Bila dibandingkan dengan bermain gadget, permainan tradisional mengajarkan anak untuk bertoleransi. Selain itu, anak-anak bisa lebih meningkatkan kesehatan karena semua motoriknya bergerak dan juga menimbulkan sikap keberanian dalam diri anak.

Pakar Pendidikan Anak Najela Shihab menjelaskan, petak umpet dan gladiator adalah contoh permainan tradisional yang mampu melatih kepekaan sensoris proprioseptif. Permainan tradisonal itu dapat melatih otot dan daya berfikir anak secara bersamaan, dan merangsang skill sosialnya. Seperti kepekaan terhadap orang lain, dan melatih merancang strategi.

Permainan bola bekel juga memiliki hal positif yang mampu mengasah kemampuan anak, dalam permainan ini kita ditantang untuk merapihkan biji bekel di posisi yang sama sambil melempar bola. "Permainan ini bisa melatih konsentrasi, ketelitian, serta kemampuan motorik halus anak. Permainan ini memiliki manfaat yang sama dengan permainan congklak.

Najela menambahkan, salah satu pengaruh yang besar dari permainan tradisional adalah mengajarkan anak bersikap jujur. "Karena permainan tradisional selalu di mainkan ramai-ramai jadi siapa yang berbuat jurang akan mendapatkan sanksi sosial, seperti diprotes oleh temannya," tambahnya.

Usia dini adalah masa perkembangan karakter fisik, mental dan spiritual anak mulai terbentuk. Pada usia dini inilah, karakter anak akan terbentuk dari hasil belajar dan menyerap dari perilaku sebagai orang tua dan dari lingkungan sekitarnya terutama keluarga.

Pada usia ini perkembang mental berlangsung sangat cepat. Pada usia itu pula anak menjadi sangat sensitif dan peka mempelajari dan berlatih sesuatu yang dilihatnya, dirasakannya dan didengarkannya dari lingkungannya. Oleh karena itu, lingkungan yang positif akan membentuk karakter yang positif dan sukses.

Membangun pendidikan karakter anak sejak usia dini, karena usia dini adalah usia emas. Melalui pendidikan karakter bukan saja dapat membuat seorang anak mempunyai akhlak yang mulia, tetapi juga dapat meningkatkan keberhasilan akademiknya.

Psikolog anak Abubakar Baraja dari lembaga Psikologi Kita menegaskan, anak dibawah lima tahun tidak benar dikenalkan gadget apalagi diberikan terus menerus. Sesekali saja saat di waktu tertentu tidak masalah, jangan dibuat menjadi kebiasaan.

"Sekalipun untuk belajar anak itu tidak benar, mengenalkan warna, binatang bukan melalui gadget. Untuk yang masih Balita beri contoh langsung yang nyata. Mengenalkan benda langsung kepada benda agar bisa disentuh bahkan dirasakan anak," jelasnya.

Kalaupun terpaksa memberi gadget misalnya saat sedang menunggu dan anak bosan sehingga khawatir mengganggu orang lain. Sebaiknya balita tetap merasakan sentuhan atau disadari bahwa di sekeliling dia ada orang atau benda. Abubakar mengingatkan, jangan sampai anak terbawa imajinasi dengan apa yang dilihat di gadget.

Ketika selesai bermain atau menonton video di gadget ajak anak berbicara, minta anak mengingat apa yang baru saja dilakukannya. Ini bertujuan untuk mengingat yang baru saja dia kerjakan. Sehingga tidak ada tuntutan di pikiran anak untuk menggunakan lagi atau main gadget lagi.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Dirjen PAUD dan Dikmas) Harris Iskandar dalam seminar nasional PAUD bertema “Menuju PAUD Berkualitas“ beberapa waktu lalu menilai, diperlukan usaha bersama dari seluruh lapisan masyarakat dan lembaga terkait serta pemerintah sebagai agent of development untuk mempersiapkan anak sedini mungkin sebagai periode emas.

Karena anak usia 0-6 tahun akan berusia produktif saat bonus demografi Indonesia terjadi sekitar tahun 2035-2045. “Kita siapkan kematangan mental dan unsur motorik mereka. Menjadi tantangan bagi guru PAUD dalam mengawal tumbuh kembang mereka? sehingga menjadi berkah pada saat bonus demografi nanti,” ujar Harris.

Harris juga menjabarkan stunting yang jadi persoalan dunia, pendidikan keluarga serta arah dan kebijakan Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas. “Sesuai Perpres 59 tahun 2017 tentang tujuan pembangunan berkelanjutan. Kita tengah menggalang pemerintah daerah untuk menyediakan dan melayani pendidikan anak usia dini?dengan gerakan PAUD wajib 1 tahun pra SD,’’paparnya.

Sementara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy berpesan kepada para guru, supaya anak-anak harus berolahraga setiap hari walaupun tidak lama, terutama dianjurkan kepada anak-anak agar ketika berangkat ke sekolah dan pulang dari sekolah jalan kaki.

“Jalan kaki adalah olahraga yang paling murah dan bisa sambil lalu. Kalau anak itu berasal dari keluarga yang dekat dengan sekolah, maka tidak perlu diantar pakai mobil, tidak perlu diantar pakai kendaraan pribadi, tetapi cukup dengan jalan kaki,”tegas Mendikbud belum lama ini.

Praktisi pendidikan Yetti Nurhayati, menilai, pendidikan karakter hendaknya dilakukan sejak usia dini, karena usia dini merupakan masa emas perkembangan (golden age) yang keberhasilannya sangat menentukan kualitas anak di masa dewasanya. Dalam masa emas ini, seluruh aspek perkembangan pada anak usia dini, memang memasuki tahap atau periode yang sangat peka.

Artinya, jika tahap ini mampu dioptimalkan dengan memberikan berbagai stimulasi yang produktif, maka perkembangan anak di masa dewasa, juga akan berlangsung secara produktif.

Keluarga adalah faktor penting dalam pendidikan seorang anak. Karakter seorang anak berasal dari keluarga. Dimana sebagian sampai usia 18 tahun anak-anak di Indonesia menghabiskan waktunya 60-80 % bersama keluarga. Sampai usia 18 tahun, mereka masih membutuhkan orangtua dan kehangatan dalam keluarga.

‘’Perkembangan otak di masa anak-anak berjalan sangat efektif. Pada masa ini bakat serta potensi akademis dan nonakademis anak bermunculan dan sangat potensial. Usia anak dari umur satu sampai tiga tahun adalah masa paling penting bagi tumbuh kembang mereka. Indikator tumbuh kembang anak tidak hanya diukur dari pertumbuhan fisik, namun juga perkembangan otak yang dapat dilihat dari responnya terhadap lingkungan,’’ujarnya.

Untuk melihat kecerdasan otak seorang anak, orang tua perlu memahami perubahan apa saja yang penting bagi anak. Jika orang tua tidak tanggap dengan perkembangan anak, masalah akan datang saat anak sudah dewasa nanti. Pada otak anak usia 3 tahun, terbentuk miliaran sel disebut neuron, yang mengirim dan menerima informasi.

Karakter seorang anak terbentuk terutama pada saat anak berusia 3 hingga 10 tahun. ‘’Tugas kita sebagai orang tua untuk menentukan input seperti apa yang masuk ke dalam pikirannya, sehingga bisa membentuk karakter anak yang berkualitas. Anak itu ibarat kanvas putih bersih. Diberi goresan hitam, ia akan menjadi hitam. Diberi goresan kuning, ia akan menjadi kuning jadi tergantung pada orang tua yang membentuknya,’’tegasnya.

Dia menilai, beragam karakter yang dapat ditanamkan dalam kehidupan anak-anak diantaranya religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.9141 seconds (0.1#10.140)