Shinta, Gadis Ceria, Ramah, dan Menjunjung Nilai Toleransi

Rabu, 15 Agustus 2018 - 18:49 WIB
Shinta, Gadis Ceria, Ramah, dan Menjunjung Nilai Toleransi
Agus Salim (Merah), dan Umi Salamah (Kerudung Putih), orang tua almarhumah Shinta Putri Diana Pertiwi, mahasiswa kedokteran Universitas Bayreuth, Jerman, selalu tegar dan ikhlas. Foto/SINDONews/Yuswantoro
A A A
MALANG - "Gadis cantik, senyummu yang terindah. Kamu yang selalu ramah kepada kami. Kamu yang selalu mendengarkan kami. Kamu adalah teman kami yang terindah".

Sebait kata duka cita, tertulis dalam Bahasa Jerman, dituliskan para sahabat almarhumah Shinta Putri Diana Pertiwi di berbagai akun media sosial.

Tanda duka cita mendalam dari para sahabatnya. Rasa sangat kehilangan, tertuang dalam bait-bait kata yang mengharu biru.

Mahasiswa pasca sarjana Universitas Beyreuth, Jerman tersebut, ditemukan meninggal dunia pada Kamis (9/8/2018) petang waktu Jerman, di Danau Trebgaster, Jerman.

Duka cita mendalam, juga sangat terasa di rumah duka yang beralamat di Jalan Bandulan 12, Kelurahan Bandulan, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Jawa Timur (Jatim).

Beberapa papan duka cita, tertata rapi di depan rumah duka. Sejumlah pelayat, juga masih hilir mudik mendatangi rumah duka, untuk mengucapkan rasa duka cita mendalam.

Gadis ceria yang sangat ramah, anak kedua dari pasangan Agus Salim dan Umi Salamah itu, begitu banyak dicintai teman-temannya, serta orang disekitarnya.

"Dia anaknya memang ceria, ramah, pandai bergaul. Makanya banyak sekali temannya, tidak memandang golongan apapun, serta usianya. Semua diajaknya berteman," ujar Umi Salamah, sang ibunda almarhumah.

Karamahan, dan ketulusan hati Shinta, tergambar dari banyaknya sahabat yang dimilikinya di Jerman. Sejak tahun 2013, anak gadis nomor dua dari tiga bersaudara ini, sudah memilih tinggal jauh dari orang tua, untuk menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Leipzig.

Pilihan berangkat ke Jerman, dilakukannya setelah lulus dari SMA Negeri 7 Kota Malang. "Dia awalnya disarankan oleh gurunya untuk masuk ke Politeknik Negeri Malang (Polinema). Saya sudah bayar semua uang kuliahnya, tetapi dia memilih untuk ikut ujian masuk fakultas kedokteran, dan diterima di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang," tutur Umi.

Tetapi, gadis mungil yang penuh semangat ini, tidak jadi masuk ke fakultas kedokteran Undip. Dia merasa kurang tertantang, dan akhirnya mencari sendiri sekolah kedokteran lewat kedutaan besar Jerman, di Jakarta.

Setelah mengikuti serangkaian tes, dia akhirnya bisa berangkat ke Jerman. Di sana, tidak bisa langsung kuliah, karena harus menempuh pendidikan Bahasa Jerman. "Pendidikan bahasa yang harusnya ditempuh minimal satu tahun, mampu diselesaikannya hanya dalam waktu enam bulan," kenang Umi.

Dari sinilah, dia akhirnya bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah di fakultas kedokteran Universitas Leipzig. Beasiswa itupun, tidak terlalu lama diambilnya. Bahkan, dia memilih untuk bekerja paruh waktu sebagai petugas kebersihan hotel, dan di hari Minggu, bekerja loper koran.

"Alasannya memilih kerja paruh waktu sangat sederhana. Dia ingin lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya," ujar Umi, yang sehari-hari berprofesi sebagai dosen Bahasa Indonesia, di Universitas Brawijaya (UB) Malang.

Banyak yang bercerita kepadanya, kalau puterinya satu-satunya itu dikenal sangat ramah. Selalu mengajak ngobrol banyak orang. Makanya, ditempatnya bekerja paruh waktu, sangat disenangi oleh karyawan lain, dan para tamu hotel.

"Kalau di hotel, sering ada tamu yang tanya. Itu siapa ya, anaknya kecil tapi gesit dan ramah sekali?. Demikian juga saat meloper koran, Shinta selalu mengajak berbincang orang-orang tua yang dikiriminya koran," tutur Umi.

Para orang tua yang dikirimi koran itu, akhirnya banyak yang menjadi sahabat Shinta. Mereka senang selalu dimanusiakan oleh Shinta. Bahkan, banyak teman-teman Shinta, yang menyebutkan kalau temannya Shinta banyak sekali, mulai dari gelandangan sampai petinggi.

Dalam berkawan, dia tidak pernah pilih-pilih. Baik suku, golongan, maupun RAS. Bahkan, meskipun dia berhijab, tetapi banyak berkawan dengan orang Yahudi, Kritesn, Katolik, bahkan mereka yang ateis juga diajaknya berkawan.

Suatu hari diakhir pekan, dia pernah menolong teman kuliahnya yang terlalu mabuk karena berpesta. Keluarga temannya ini ternyata ateis. Saat mengantarkan pulang ke rumah temannya, orang tua temannya sempat menolak kehadirannya.

Shinta tidak marah dengan penolakan itu. Dia memberikan banyak penjelasan tentang Islam yang dianutnya, adalah Islam Rahmatan Lilalamin. Bahkan, dia akan selalu mengamalkan ajaran agamanya, untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang lemah, termasuk kepada teman ateisnya yang sedang mabuk itu.

"Awalnya, orang tua temannya sempat menyebutkan kalau Shinta muslim, berhijab, dan identik dengan teroris. Tapi sinta tidak membalasnya dengan kasar. Dijelaskannya dengan baik-baik. Bahkan, akhirnya Shinta diterima sangat baik dikeluarga tersebut," ungkap Umi.

Rasa toleransi terhadap sesama ini, tidak lahir secara instan di diri Shinta. Semua dipupuk sejak usia dini di keluarganya yang sangat harmonis. Orang tua Shinta, selalu mengajarkan rasa saling menghormati, dan saling membantu.

"Suatu hari, Shinta pernah mengungkapkan kekesalannya saat banyak berita tentang aksi kekerasan dan unjuk rasa yang mengatasnamakan agama di Indonesia. Ibu, saya kecewa. Di sini (Jerman) saya mengkampanyekan tentang Islam yang damai, tapi kenapa di Indonesia banyak berita ujaran kebencian atas nama agama," kenang Umi, saat ditelepon putrinya itu.

Gadis kelahiran November 1993 tersebut, sudah lima tahun ini bermukim di Jerman. Dia belum pernah pulang selama menjalani pendidikan di negeri orang. Rencananya, dia akan pulang di bulan Desember mendatang untuk menikah.

Calon suaminya, diketahui bernama Dwiki. Asli anak Kota Malang, dan sedang menempuh pendidikan pasca sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB). Pertemuan dua sejoli ini, juga sangat singkat. Yakni, pada bulan puasa Ramadhan yang lalu di Jerman.

Umi menurutkan, Shinta dan Dwiki tanpa sengaja bertemu di Jerman, saat Dwiki dan rombongannya berkunjung ke Jerman, melakukan study untuk mencari sekolah guna menempuh pendidikan doktoral.

"Shinta, yang aktif di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), bertugas menyambut rombongan tersebut. Tanpa disangka bertemu Dwiki, yang juga Arek Malang. Ternyata, Dwiki teman Shinta waktu duduk di SD Negeri Percobaan, di Jalan Magelang," kenangnya.

Pertemuan itu, menumbuhkan cinta di antara mereka. Bahkan, sejoli ini bersepakat akan menempuh pendidikan doktoral di Jerman, setelah menikah di bulan Desember mendatang.

Tetapi, rencana itu dikehendaki lain oleh sang maha pencipta. Jumat (10/8/2018) pagi, sekitar pukul 08.00 WIB, Umi mendapatkan telepon dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jerman, yang mengabarkan Shinta telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia tenggelam di Danau Trebgaster, dekat kampusnya.

"Dia ditemukan dalam kondisi masih mengenakan pakaian renang syariah. Berjarak sekitar 3 km dari lokasi awal dia berenang. Proses pencariannya memakan waktu lebih dari 24 jam, dengan peralatan serba canggih, dan dipimpin wali kota setempat," ungkap Umi.

Sebelum ditemukan meninggal dunia tenggelam di danau. Shinta sempat menelepon Umi, pada Rabu (8/8/2018) siang, pukul 13.00 waktu Jerman, atau sekitar Rabu petang di Indonesia. Dia menelepon menanyakan tentang gempa yang terjadi di Malang.

Umi mengaku, sempat menjelaskan kalau gempa di Malang, tidak terlalu besar. Yang parah terjadi di Lombok, NTB.

Saat itu, Umi tidak bisa berlama-lama berbincang dengan puterinya tersebut lewat telepon, karena akan menjalankan sholat Maghrib. "Sebentar ya nduk, habis sholat telepon lagi ya," ujar Umi, kala itu.

Dia tidak pernah menyangka, bahwa itu merupakan komunikasinya yang terakhir kali dengan sang puteri kesayangan. Selepas sholat, Umi mencoba menghubungi kembali Shinta, ternyata tidak pernah terbalas lagi sampai Kamis (9/8/2018) malam.

Saat tidak bisa menghubungi sang puteri, Umi sempat memasang foto puteri satu-satunya itu di akun Facebooknya. Dalam foto itu, Umi menuliskan "Bidadari kecilku tetaplah sederhana".

Pada Kamis (9/8/2018) malam, Umi merasakan sakit yang luar biasa di area jantungnya. Padahal, dia tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Sakit itu dirasakan hingga Jumat (10/8/2018) pagi. Semalaman dia tidak bisa tidur, karena menahan rasa sakit.

Rasa sakit itu, mereda dengan sendirinya di saat Umi berada di tempat kerjanya, dan mendapatkan kabar duka cita dari Jerman. "Shinta...Shinta...Shinta.... Hanya itu yang bisa saya ucapkan saat menerima telepon. Saya seperti tidak percaya," ujarnya.

Sejak kuliah di Jerman, Umi baru sekali menjenguk Shinta. Setahun sebelum berangkat ke Jerman, Shinta yang awalnya sangat manja, langsung banyak berubah menjadi anak mandiri. Selama satu tahun menjelang keberangkatan ke Jerman, Shinta juga memilih tidur bersama sang ibu.

Shinta, si gadis ramah itu memang penghobi renang sejak kecil. Selain itu dia juga sangat senang memainkan berbagai alat musik. "Renang dan main musiknya hanya dijadikannya hobi," ujar Agus Salim, ayah almarhumah.

Selama menempuh pendidikan di Jerman, Shinta tidak berhenti melakoni hobinya itu. Dia sering berenang ke danau-danau dan sungai-sungai di beberapa negara. Pernah ke Italia, Swiss, hingga Polandia, hanya untuk berenang di danau dan sungai.

Alumni SMP Negeri 8 Kota Malang, dan SMA Negeri 7 Kota Malang tersebut, diakui sang ayah memang sangat senang dengan air. Sejak duduk di bangku SMA, dia selalu mengkampanyekan tentang kelestarian air sungai.

Bahkan, tahun 2011 silam, Shinta pernah meraih juara ketiga dalam lomba desain website di Jakarta, yang berisi tentang pelestarian air. "Dapat hadiah banyak, tetapi dia bagikan ke teman-temannya yang tidak mendapatkan juara," ungkap Agus.

Guru di SMA Negeri 1 Kota Malang tersebut, mengaku telah mengikhlaskan puterinya pergi untuk selamanya. "Seperti mimpi pernah memiliki anak bernama Shinta. Lima tahun saya tidak bertemu dengannya. Dia mencintai air, dan kini dia pergi dalam damai bersam air jernih yang diidolakannya selama ini," ujar Agus, penuh keikhlasan.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.4213 seconds (0.1#10.140)