PBB Prihatin Myanmar Bangun Pangkalan Baru di Rakhine

Minggu, 10 Februari 2019 - 06:01 WIB
PBB Prihatin Myanmar Bangun Pangkalan Baru di Rakhine
Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, menyatakan keprihatinannya terkait pembangunan pangkalan baru militer Myanmar di negara bagian Rakhine. Foto/Istimewa
A A A
NEW YORK - Yanghee Lee selaku pelapor Khusus PBB untuk Myanmar menyatakan keprihatinannya terkait pembangunan pangkalan baru militer Myanmar di negara bagian Rakhine.

Yanghee Lee mengatakan dia diberi tahu bahwa militer Myanmar sedang membangun pangkalan baru di seluruh area. Ia juga menerima informasi bahwa warga sipil di Myanmar telah melihat pasukan bergerak melalui desa-desa di Rakhine dan mendengar suara tembakan di dekatnya.

Pernyataannya datang melalui video di sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Koalisi Rohingya Merdeka (FRC) di New York, di mana ia mencatat situasi hak asasi manusia bagi Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine terus memburuk.

"Penganiayaan terhadap Rohingya harus dihentikan sekarang," kata Lee ketika dia menyampaikan kekhawatiran bahwa pertempuran akan segera pecah di daerah itu, yang saat ini menampung 162.000 orang yang terlantar secara internal.

"Ruang demokrasi, termasuk kebebasan berbicara dan berserikat, masih rapuh, dan komunitas di seluruh negeri tetap terbagi berdasarkan garis agama dan etnis," ujarnya.

"Anggota etnis minoritas menghadapi marginalisasi, dan diskriminasi," imbuhnya seperti disitir dari Anadolu, Sabtu (9/2/2019).

Konferensi dua hari yang diselenggarakan oleh FRC menghadirkan para cendekiawan dan aktivis dari seluruh dunia untuk mengeksplorasi cara-cara meminta pertanggungjawaban Myanmar atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

FRC bekerja untuk membangun gerakan akar rumput guna meminta pertanggungjawaban Myanmar atas kampanye genosida terhadap Rohingya.

Lee mengatakan bahwa pemerintah Myanmar harus bertanggung jawab atas kampanye pembersihan etnis terhadap minoritas Muslim, dan masalah pemulangan pengungsi Rohingya yang telah melarikan diri ke negara lain telah mengubah krisis menjadi masalah global.

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai kelompok yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat akan serangan sejak belasan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012.

Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan wanita dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan penumpasan pada komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.

Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya telah terbunuh oleh pasukan Myanmar, menurut laporan oleh Ontario International Development Agency (OIDA).

PBB juga telah mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan - termasuk bayi dan anak kecil - pemukulan brutal serta penghilangan paksa yang dilakukan oleh pasukan Myanmar.

Dalam sebuah laporan, penyelidik PBB mengatakan pelanggaran seperti itu mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.7276 seconds (0.1#10.140)