Eksis 30 Tahun, Berharap Kerajinan Wayang Kulit Tetap Lestari

Senin, 18 Februari 2019 - 19:06 WIB
Eksis 30 Tahun, Berharap Kerajinan Wayang Kulit Tetap Lestari
Hartono dengan telaten memahat pola tokoh wayang di atas kulit kerbau. Foto/SINDOnews/Tritus Julan
A A A
MOJOKERTO - Ketuk palu Hartono memecah gemuruh pohon bambu yang diterpa angin, siang itu. Dengan penuh ketelaten, perajin wayang kulit ini memahat lembaran kulit sapi.

Pria asal Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur itu terus memahat. Menyelesaikan pahatan di atas pola demi pola yang sudah ia buat sebelumnya.

Dalam keseharian, pria berkumis tebal berumur 52 tahun ini masih setia menjadi perajin wayang kulit dari sejumlah tokoh dalam pewayangan. Di antaranya, Gatotkaca, Kresna, Arjuna, dan tokoh Pandawa Lima lainnya.

Siang itu, ia sedang memahat pola tokoh pewayangan berkarakter Ramayana. Dalam usia Hartono tak mudah lagi, ia masih terlihat lihai dalam memahat pola di atas kulit sapi yang sudah dikeringkan.

Sorotan matanya begitu tajam, tangannya lihai, seakan tak ingin pahatan karakter Ramayana itu menggores pola lain yang sudah ia buat.

Sudah berjam-jam ia memahat, dan akhirnya hasil pahatannya terselesaikan. Hasil pahatannya begitu indah dan rapi. "Saya tadi sedang memahat dan membentuk pola karakter Ramayana," katanya.

Menjalani usaha sekaligus sebagai perajin wayang kulit ini, sudah ia geluti sejak tahun 1988 silam. Lebih dari 30 tahun berjalan, ia terus berupaya bertahan hidup dari hasil seni tradisi itu. Selama itu pula, Hartono terus menghasilkan karya yang tak sedikit.

Menjadi perajin wayang kulit, Hartono memulainya sejak ia tinggal di duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) di Solo. Keahlian itu ia dapat dari tetangganya yang juga berprofesi sebagai perajin wayang kulit.

"Waktu itu saya masih tahap belajar dan hasilnya belum begitu bagus. Saya terus belajar dan mulai menyukainya," papar Hartono.

Tak putus semangat. Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), pria paruh baya ini sudah mahir membuat wayang kulit. Terbukti, hasil wayang ia buat mulai laku terjual. Hasilnya digunakan membeli bahan baku dan memenuhi kebutuhan sekolah.

"Wayang yang sudah jadi itu saya titipkan ke toko-toko. Dan kini saya bisa membuat wayang sendiri tanpa bantuan tetangga saya," katanya.

Dari proses belajar yang cukup lama, akhirnya ia memilih untuk merantau dari daerah ke daerah lain. Di tahun 2003, ia mengadu nasib dan membuka usaha membuat karya wayang kulit di Jakarta. Akan tetapi, di Jakarta hanya bertahan selama 2 tahun.

"Di Jakarta masih minim yang suka seni budaya, jadi saya pindah-pindah ke daerah lain seperti, Batam, Malang, dan Sidoarjo. Dan akhirnya saya terakhir ini di Mojokerto," kenangnya.

Perjalanan yang cukup panjang. Di saat sudah menetap di Desa Bejijong, ia merasakan pasang surut usaha wayang kulit dan berbagai usaha agar usaha tetap bertahan. Dari hasil kerja kerasnya, pria yang sudah mempunyai satu cucu tersebut menuai hasilnya.

"Hasil usaha wayang kulit, saya bisa membeli rumah, menyekolahkan anak, membeli sepeda motor dan untuk kebutuhan rumah tangga," ucap Hartono sambil bergurau dengan cucunya.

Tetap eksis, Hartono sebagai pengrajin wayang kulit juga tak lepas dari pesanan yang terus mengalir. Bahkan, ia mengaku kesulitan mencari tenaga pengrajin sehingga kewalahan memenuhi pesanan para dalang.

"Pesanan dari Mojokerto, dan juga para dalang seluruh Jawa Timur. Karena perajin wayang jumlahnya terus berkurang," ucapnya.

Dalam sehari, Hartono mampu membuat enam hingga tujuh buah wayang kulit. Sementara untuk menyelesaikan satu set wayang kulit, butuh waktu sekitar satu minggu lebih.

"Proses membuat wayang ini saya lakukan secara manual dengan alat petik, kerok kulit, bentangan kulit dari kayu. Sehingga jadinya lama," paparnya.

Membuat wayang kulit, prosesnya memang tak sederhana. Bahan baku kulit kerbau atau sapi harus lebih dulu dibersihkan bulunya, lalu potongan kulit itu direndam dengan air tawar selama 12 jam. "Setelah direndam, lalu dijemur di bawah matahari sambil dibentang." katanya.

Setelah kering, barulah kulit digambar dan dipotong sesuai dengan pola wayang. Goresan pola wayang lantas diukir hingga berwujud lebih artistik.

Selanjutnya, kulit wayang tersebut dihaluskan dan diberi warna dengan cat. Sebelum dicat, permukaan wayang harus dilapisi dengan lem khusus agar kuat dan awet.

"Setelah itu dipasang tangan dan pegangan dari kayu. Rangka tengah wayang saya gunakan rotan supaya lentur saat digunakan untuk pertunjukan," terangnya.

Soal harga, wayang kulit berukuran setinggi 50 cm dijual dengan harga Rp300.000. Sedangkan wayang setinggi sekitar 90-100 cm itu dijual seharga Rp2 juta hingga Rp2,5 juta.

Dalam sebulan, ia bisa meraup untung mencapai sampai Rp6 juta lebih. "Terpenting, saya bisa mewarisi budaya nenek moyang. Semoga ini bisa turun-temurun nantinya," harapnya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.4491 seconds (0.1#10.140)